Aletha merasa bosan, papanya maksa mengajaknya untuk makan malam bersama wanita yang tidak jauh umurnya dengan papa Aletha. Aletha sama sekali tidak menginginkan mama baru, yang ia inginkan itu adalah tahu keberadaan mamanya.
"Kenapa gak di makan, nak?" tanya Shofia atau calon mama baru Aletha.
"Gak selera!" balas Aletha sinis lalu ia bangkit dari tempat duduknya dan memutuskan pergi.
"Aletha! Mau kemana?" tanya Andre yang hendak mengejar tetapi di tahan oleh Shofia.
"Mas, biarin dulu, mungkin anakmu itu belum bisa menerima aku," kata Shofia dengan nada lembut.
Aletha memilih pergi ke cafe, ia jadi malas untuk diam di rumah. Apalagi wanita itu sering datang ke rumahnya. Papanya bilang, rencana pernikahannya itu akan dilaksanakan dua hari lagi. Aletha sangat tidak ingin menghadirinya.
Aletha melihat Afkar duduk sendirian dan sibuk dengan laptopnya. Jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Ia memutuskan untuk menghampiri Afkar.
"Hai," sapa Aletha sambil mendudukan bokongnya di kursi.
Afkar mengalihkan pandangannya dari laptop ke cewek di hadapannya ini. "Eh? Aletha? Kenapa pakai dress?"
"Gue tadi abis makan malam sama papa," jawab Aletha.
"Lo ngapain di sini?" tanya Aletha.
"Gue lagi ngerjain makalah." Afkar kembali fokus pada laptopnya.
"Anak IPA pada rajin-rajin ya," kekeh Aletha.
Afkar tersenyum tipis lalu menutup laptopnya karena ini kesempatan untuk berbicara lama dengan Aletha.
"Lo kenapa masuk IPS, sih?" tanya Afkar penasaran.
"Gak tahu, yang intinya gue senang aja di kelas IPS. Gak terlalu berat juga soalnya," jawab Aletha.
"Oh iya, denger-denger pas lo baru pindah, lo langsung ikut olimpiade geografi?" Afkar tahu betul saat Aletha baru saja pindah, soalnya Afkar yang waktu itu di suruh oleh guru untuk membimbing Aletha, mengenalkan lingkungan sekolah.
"Iya, Af. Itu pelajaran favorit gue."
"Gue jadi inget, lo antusias banget saat ngomongin soal komunitas gunung," kekeh Afkar.
"Iya, impian gue dari kecil," kata Aletha mengingat waktu kecil selalu ingin pergi ke gunung, apalagi sepupunya laki-laki yang sekarang di Jerman itu dulu sering naik gunung. Saat itulah Aletha jadi tergoda ingin muncak.
Percakapan mereka terus berlanjut. Afkar pikir, Aletha orangnya seru di ajak bicara. Tak salah jika Afkar selalu senang bila bertemu Aletha.
***
"Alet! Itu ... emm ... Abyan! Abyan berantem!" kata Belva yang baru saja masuk kalam kelas Aletha dengan napas tersengal-sengal.
Aletha melebarkan matanya tidak percaya. "What? Lo gak salah?"
"Iya, cepetan di lapang basket!"
Aletha berlari menuju lapang basket dan ternyata memang ramai. Di sana ada Abyan yang sedang saling pukul, entah dengan siapa.
Gue baru kali ini liat Abyan berantem, batin Aletha.
"Bima! Kenapa lo gak bantu?" tanya Aletha sambil menepuk bahu Bima.
"Udah, mereka susah di pisahin, gue juga bingung," kata Bima dengan nada khawatir.
Aletha berdecak kesal, ia memberanikan diri melangkah ke dekat kedua cowok itu. "Stop!"
"Di sini bukan tempatnya berantem!" kata Aletha pada kedua cowok itu.
"Siapa lo? Jangan ikut campur!" sinis cowok yang tidak di ketahui namanya.
Aletha tertawa sengaja memancing emosi cowok itu. "Siapa juga yang mau es campur, gue mau bantu temen gue si Abyan. Atau lo jual es campur?"
Orang yang berada di sekitar ikut tertawa, tidak menyangka seorang Aletha seberani itu. Memang benar, urat malu Aletha sudah putus.
Cowok berbadan jangkung itu menatap tajam ke arah Aletha. Bukannya takut, Aletha tertawa lagi. Jujurlah, Aletha sama sekali tidak takut dengan tatapannya. Sedangkan Abyan yang melihatnya hanya pasrah, ingin mencegah tetapi sedikit ragu.
"Lo budek ya? Gak punya telinga!" sentak cowok itu sambil telunjuknya menunjuk tepat di depan wajah Aletha.
"Jangan bentak cewek!" bela Abyan.
Aletha menoleh ke arah Abyan. "Kenapa? Bukannya lo juga suka bentak gue?"
Skakmat! Abyan lagi-lagi bingung harus berkata apa. Sial, Abyan selalu kalah di hadapan Aletha.
Baru saja cowok itu akan menampar Aletha, guru datang memberhentikan kerusuhan itu. Abyan langsung menarik Aletha jauh dari kerumunan.
"Puas lo udah bikin gue malu? Gue malu saat lo datang! Lo udah jatuhin harga diri gue di depan cowok brengsek itu!" Abyan mengeluarkan unek-uneknya.
"Apa salahnya gue bantu lo?" tanya Aletha sambil menatap Abyan.
"Harusnya lo gak usah bantu gue! Semenjak lo datang, kehidupan gue gak tenang! Lo harus--" Ucapan Abyan terhenti karena ujung bibirnya yang berdarah, Abyan meringis kesakitan.
Aletha tersenyum lebar lalu menarik Abyan ke UKS. Entah kenapa, Abyan tidak menolak kali ini. Aletha mengeluarkan kotak P3K dari lemari. Aletha mulai mengobati luka-luka Abyan. Sedangkan Abyan hanya bisa diam dan menatap Aletha.
Kenapa setelah gue berkata kasar sama Aletha, dia masih baik sama gue? Batin Abyan.
"Udah liatin guenya?" tanya Aletha sambil tersenyum tipis.
Abyan membuang muka. "Najis!"
Aletha terkekeh. "Lo gak tahu berterimakasih ya, udah untung ada yang mau obatin lo."
Abyan berdecih pelan. "Lagian siapa suruh obatin gue, kalau gak ikhlas mendingan jangan dari awal."
Abyan bangkit dari tempat duduknya dan pergi dari UKS menuju kelasnya. Aletha hanya bisa tersenyum sambil menatap punggung Abyan yang semakin menjauh.
"Aletha, dari mana aja?" tanya Vega khawatir.
"Gue abis dari UKS," jawab Aletha.
"Lo sakit?" tanya Vega semakin khawatir.
"Gak, gue abis obatin Abyan."
Vega melotot tidak percaya dengan jawaban Aletha. "Bohong ya?"
Aletha terkekeh. "Lo gak percaya? Ya udah."
"Let, lo tahu gak yang tadi berantem sama Abyan siapa?" tanya Vega sambil membenarkan rambutnya.
"Mana gue tahu!" jawab Aletha sambil mengeluarkan ponselnya dari tas.
"Nih ya, cowok tadi itu murid baru. Katanya mereka berantem gara-gara cowok itu lihat Abyan yang duduk di kantin kayak yang songong. Cowok baru itu pengen gantiin posisi Abyan sebagai cowok famous di sekolah ini," jelas Vega mengingat Belva tadi bercerita tentang itu.
"Cuma gara-gara itu? Gak cowok banget," ledek Aletha sambil terkekeh.
"Jangan sembarangan kalau ngomong, nanti ada orangnya marah, loh," ucap Vega memberitahu karena ucapan Aletha yang suka tidak di saring dulu.
"Bodo amat, emangnya gue takut," kata Aletha menjulurkan lidahnya ke arah Vega.
Vega hanya menggelengkan kepalanya. "Dasar keras kepala," gumam Vega.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABTHA [Sudah Terbit]
Teen FictionCover by Obi Art Aletha Tanisha, cewek hiperaktif dan pecicilan yang mengejar hati seseorang. Tidak ada kata sedih dan menyerah di kamusnya. Memang terkadang sakit hati namun selalu ada motivasinya untuk terus berjuang. Di kala hatinya senang, berbu...