18. Semua Hanya Mimpi

625 53 6
                                    

Naruto mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dari awal, ia tahu pasti akan terjadi hal seperti ini. Kali ini pun, dia tak bisa melindungi keluarganya lagi.

Naruto bangkit dari duduknya. "Shikamaru, apa persiapannya sudah selesai?" tanya sang hokage kepada Shikamaru. "Sudah. Sasuke baru saja mengatakannya padaku. Dia juga berpesan agar kita secepatnya melakukan hal ini, Naruto."
Helaan napas keluar dari bibirnya. "Baiklah, bilang padanya bahwa kami sudah siap." Shikamaru mengangguk,  lantas menitipkan pesan Naruto pada shinobi yang berjaga di depan ruangan. Mereka berdua lalu melangkah keluar dari ruangan itu.

Naruto dan Shikamaru segera menuju ruang perawatan. Di sana Naruto melihat putra sulungnya berdiri di sebelah Kirei yang terbaring di atas kasur dari celah pintu yang terbuka. Samar-samar dia mendengar Boruto berbisik ke telinga Kirei, "Maafkan aku, Kirei... kakak tidak bisa melindungimu," Naruto terkesiap mendengar hal itu. Langkah kakinya terhenti di depan pintu yang terbuka sedikit. Boruto tampak menggigit bibir bawahnya sebelum kemudian berkata, "Kali ini, Kakak akan menjemputmu pulang. Kakak janji."

Naruto membuka pintu itu perlahan. Boruto yang menggenggam tangan adiknya itu hanya terdiam.

"Sudah waktunya, Boruto." Naruto menepuk pundak Boruto pelan, memberi semangat pada anaknya yang tampaknya sedang terpukul itu. "Mari kita antar Kirei pergi."

Naruto menggendong putrinya dalam satu hentakan. Satu hal yang dia baru tahu sekarang, tubuh putrinya begitu ringan seakan-akan dia sedang mengangkat bulu yang tidak memiliki berat sama sekali. Ini membuat hatinya semakin sedih. Tiba-tiba saja, Boruto menahan tangan ayahnya yang menopang Kirei. Dengan suara yang gemetar, Boruto mengatakan hal yang sama sekali tidak Nartuo duga, "Tidak bisakah kita menunggu saja, Yah? Kenapa kita membiarkan Kirei kembali lagi ke tempat yang bukan miliknya? Tidak, kenapa Ayah membiarkannya pergi sekali lagi?!"

Keadaan menjadi hening. Naruto dan Shikamaru yang tidak mengira Boruto akan mengatakan hal seperti itu terhenti. "Bagaimana jika dia tak bisa kembali lagi, Yah? Apa kita harus menunggunya lagi?"

Naruto menarik napas pelan. Dadanya terasa sesak ketika ia mengucapkan kata-kata ini, "Kita tak punya pilihan lain."

Langkah kaki yang terhenti kembali berjalan. Boruto berlinang air mata. Benarkah seperti itu? Apa mereka benar-benar tak punya pilihan lain? Lewat matanya, sosok ayah dan penasihat ayahnya terlihat semakin jauh dari pandangan. Dengan suara tertahan, Boruto berteriak, "Touchan!"  Tak dibalas oleh ayahnya, dia memutuskan untuk ikut pergi mengantar adiknya. Pilihan yang tersisa satu-satunya.

Boruto berlari mengejar dengan kekecewaan yang amat dalam.

***
"Naruto-san, perisapannya sudah selesai," salah satu jonin berkata pada Naruto.

Kerumunan orang yang tersedu sedan tersibak. Naruto membaringkan tubuh kecil Kirei di atas portal yang siap terbuka. Air mata mneggenang di sudut matanya. "Nak... kali ini hiduplah dengan baik," Naruto berucap dengan lirih, nyaris tak terdengar.

Hinata yang berlutut di samping Naruto tak bisa menahan air matanya. Himawari hanya terdiam sambil menangis, mencengkeram baju ibunya.

Pemuda berahoge menggertakkan gigi nya kuat-kuat. Tangannya menggenggam, seakan tak peduli bila darah keluar dari tangannya. Ia hanya peduli dengan adik perempuannya. "Ki-chan...."

Sasuke berjalan mendekati keluarga Uzumaki yang tengah bersedih. Sadar akan waktu yang kian menipis, Sasuke segera berkata pada Naruto. "Naruto, waktu tidak bisa menunggu lagi," nada penyesalan terdengar dari suara baritonnya.

"Kami mengerti." Naruto mencium kening Kirei-nya untuk yang terakhir kali. Himawari menangis kian kencang, "Neechan, Neechan! Bangun, Neechan!"

Hinata mencium dahi Kirei juga. Ia sangat menyayangi anak-anaknya. Hinata lalu mendekap Himawari yang histeris dalam pelukannya. Boruto yang berdiri di sisinya tak bisa membendung air mata kesedihannya lagi.

Portal bercahaya terang, menyilaukan mata yang melihatnya. Sosok Kirei yang terbaring tak berdaya di atas portal itu mebghilang dengan sinar biru keunguan. Cahaya itu kemudian meredup, meninggalkan jejak kesedihan yang terasa nyata di udara. Kirei sudah pergi.

Sosok pemuda berambut hitam jatuh berlutut. Tangannya yang membawa headband milik Kirei menggantung lemas. "Aku... terlambat."

***
Jendela kaca terbuka lebar. Seorang gadis cantik tampak memandang langit malam penuh hitam dengan sorot kosong. "Mimpi itu lagi," desahnya lelah.

Sosok-sosok familiar bersurai kuning tampak berseliweran dalam mimpinya, begitu pula dengan hal-hal aneh lainnya yang ia tak mengerti.

"Kenapa mimpiku selalu begitu aneh? Memang aku dulu seorang otaku yang aneh, tapi sekarang 'kan tidak lagi," bibir ranum merah mudanya mendumel kesal.

"Seharusnya aku tidur lagi. Lagipula, besok sekolah mengadakan kunjungan dari sekolah lain. Aku harus bersiap-siap."

Gadis cantik itu memilih melupakan mimpi aneh yang sering ia alami. Dia berharap ketika ia terlelap kali ini, hanya ada kegelapan kosong yang menantinya.










***

A.N

Hola! Konnichiwa, issashiburi! Gomen untuk menghilang selama dua tahun dan nggantungin kalian selama inii, aku bener2 ga maksud gitu hue T_T (nangis).

Bab ini kuselesaikan di kelas saat pelajaran bahasa Indonesia, di sekolahku yang baru sekarang. Bisa kalian tebak apa? Y, aku sekarang sekolah di Smaga, yeiiii! /Tepuk tangan

Fic ini bakal kulanjutin secepat2nya, soalnya tinggal beberapa bagian lagi dan novel ini bakal tamat. Maaf baru bisa kasih segini, karena ternyata SMA itu jauh lebih sibuk drpd smp, apalagi aku di luar kota T_T

Terima kasih untuk dukungan kalian selama ini, i luv u guys!

Sincerely,
Callajose, Semarang, 21 Februari 2020

P.s:kasih tau kalo ada yg typo lewat komentar di inline ya hehe, arigatchu, adieu~

Drama Mimpi Kirei [Naruto World]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang