[25] •Hati Yang Mendung•

1K 61 36
                                    

Isla diam menatap wajah Abri sebentar kemudian menunduk. Ia sedang emosi dan ternyata bisa berakibat kemarahan Abri. Dan seperti biasa jika ada yang tidak Abri sukai dari sifat Isla, ia akan berdiri dan memperhatikan Isla.

"Emang beneran kok dia kaya gitu. Eh- itu." Isla menatap Abri takut-takut lalu tidak jadi bicara. Memang ini yang seharusnya, seorang suami itu harus tegas dan berwibawa, dia seorang pemimpin. Jangan sampai martabatnya jatuh di mata perempuan, sehingga seorang istri berani dengannya.

"Ayo minta maaf. Seharusnya adik tahu jika emosi dan dendam seperti tadi tak akan selesai-selesai masalahnya, apa terus bermusuhan itu yang Adik inginkan?" Setelah lama memperhatikan, Abri pun mulai berbicara.

"Eng, nggak pingin. Tapi Isla seb– iya, Isla minta maaf."

"Minta maaf ke dia, ayo luruskan masalahnya!" Abri mengulurkan tangan, Isla menerima lalu keluar rumah. Karlin menangis. Baru kali ini sejak 4 tahun Isla melihat Karlin menangis.

Karlin yang dulu ketika SMA sangat menyebalkan, selalu memasang wajah sok berkuasa, selalu membuat masalah dan terus terkena kasus, menangis? Rasanya Isla ingin tertawa geli. Tapi tidak pantas, karena dahulu akhlak Isla tak kalah buruk dengan Karlin, bedanya Isla tak pernah mencari masalah dengan teman-teman, dan tak ada teman SMAnya yang tahu tentang kelakuannya.

Karlin menangis bukan karena perkataan kasar dari Ilyas maupun Zayyan, tak mungkin kakak-kakak Isla berani menyakiti hati perempuan, namun karena nasihat dari mereka dan mungkin Allah sudah menyusupkan secercah cahaya hidayah dalam dadanya, juga sepertinya ia mulai sadar bahwa apa yang selama ini ia lakukan itu memalukan. Seorang perempuan mengejar-ngejar laki-laki sampai diluar batas? Hey, dimana rasa malunya?

"Afwan. Ayo masuk dulu. maafkan perkataan ana tadi." Isla merangkul Karlin, lalu Zayyan dan Ilyas masuk rumah. Karlin menggeleng kuat.

🍃🍃🍃

Kepergian Karlin membuat atmosfer berubah yang tadinya berbincang-bincang sambil tertawa, kini lebih banyak diam. Benar-benar merusak suasana.

Zayyan menghela napas lalu pergi, hanya sebentar kemudian kembali membawa bola basket ditangannya.

"Abri, bisa main?" Zayyan melempar bola basket ke arah Abri, reflek Abri menangkapnya.

"Bisa" Abri berdiri.

"Ayo!" Zayyan berjalan mengisyaratkan Abri untuk mengikutinya.

"Isla ikuuut!" Isla berlari menyusul Zayyan, lalu menubruknya dan memeluk dari belakang sambil tetap berjalan, membuat Abri tersenyum gregetan karena Isla tak pernah semanja itu kepada dirinya. Iri? Lumayan.

Di depan rumah dengan halaman yang luas memang ada lapangan basket permintaan Zayyan yang memang ikut komunitas basket di kampusnya.

"Ayo semangaaaat! Nanti Isla gangguin deh, janji!" Isla tersenyum lebar, membuat Zayyan dan Abri menoleh, ekspresinya seolah mengatakan "Janji macam apa itu?"

Zayyan melipat baju lengan pendeknya hingga memperlihatkan lengannya.

"Pokoknya Kak Abri yang duluan!" Saran Isla membuat Abri tersenyum dan Zayyan pura-pura sebal.

Mereka pun mulai bermain dan Isla benar menepati janjinya untuk mengganggu mereka dengan cara berisik dan berlarian.

Abri menggiring bola dengan tangan yang terkontrol, melakukan gerakan berputar  menghindar dari jangkauan Zayyan yang berusaha merebut. Setelah melakukan Pivot ia terus mendribble lalu berlari memasukkan bola ke ring dengan rangkaian gerakan atau lay out. Dribble lalu shooting, memang mereka tak mungkin melakukan passing karena one by one.

Ada Cinta di Jalan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang