[21] •Tenang, Aku Disisimu•

1.1K 68 70
                                    

⚠️
Mengandung romance, tidak untuk ditiru jika belum menikah.
Dan tidak cocok dibaca untuk anak kecil.
-
-
-
Jangan lupa tinggalkan jejak. ♥️

🍃🍃🍃

     Dua pekan telah berlalu, Isla sudah kembali kuliah, dan belajar seperti biasanya, bedanya kini ada seseorang yang spesial mengantar, menjemput, juga selalu menjaganya. Semakin lama sifat Abri juga berubah lebih dingin, apalagi ketika Abri sedang bekerja atau belajar untuk mengajar, susah sekali untuk diganggu gugat.

Benar kata Abri saat itu bahwa ia bisa berubah menjadi dingin dan tidak, Isla tak mempermasalahkan hal itu, karena rumah tangga tak selalu harus romantis, sebab bisa jadi membosankan. Itu hanya menurut Isla. Lagipula ia masih sering malu meskipun hanya bertatap wajah, tak ada perubahan tetap membuat deg-degan. Entah sampai kapan Isla bisa terbiasa dengan Abri, andai Abri lebih sering menghabiskan waktu bersamanya, mungkin itu bisa membuat hubungan mereka semakin erat. Namun tidak, Abri lebih sering sibuk dengan pekerjaannya. Pagi ia akan pergi mengajar, pulang hampir dhuhur, disambung lagi habis dhuhur mengajar anak-anak yang les, Isla pun juga sibuk dengan pendidikannya.

🍃🍃🍃

"Kak Isla." Ada yang memanggil Isla ketika Isla sedang mencuci wajahnya di kamar mandi kampus, Isla mengeringkan wajahnya dengan handuk, kemudian menoleh kepada perempuan yang sudah disampingnya mencuci tangan.

"Aileen?" Isla melihat wajah Aileen, lalu tersenyum.

"Masih ingat ya?" Aileen membuka tasnya, mengeluarkan  liptint, Isla mengiyakan, bagaimana ia bisa melupakan seseorang yang sering sekali kegap sedang memperhatikannya? Aneh memang, namun Isla tak ingin berburuk sangka, dilihat-lihat sepertinya gadis ini baik juga.

"Oh ya ini ada titipan." Aileen mengeluarkan cream wajah dan memberikan kepada Isla.

"Dari siapa?" Isla mengernyit.

"Teman Kakak, suruh titipin aja gitu. Duluan ya!" Aileen pun merapikan liptint di bibirnya, membenarkan kerudung, kemudian pamit pergi. Isla menatap cream wajah itu dan langsung tersenyum karena itu cream wajah yang ia pesan dari salah satu teman dekatnya. Yang membuat Isla senang adalah karena pesanannya cepat sekali sampai, tak seperti dugaannya. Mumpung sedang di situ, Isla segera saja memakai cream itu, kemudian keluar menuju kelas.

Sampai di kelas, sudah sepi, hanya terlihat Yeri dan temannya yang sedang merevisi tugas. Yeri langsung membuang muka ketika Isla masuk, Isla diam saja, mereka memang belum saling meminta maaf karena Isla juga baru beberapa hari masuk kuliah setelah menikah.

Daripada berulah, Isla lebih memilih diam berjalan santai melewati tempat duduk Yeri. Ini sudah sore, Isla hanya akan mengambil buku yang tertinggal, kemudian pulang.

"Iya-iya yang mukanya mulus, belagu banget." Yeri mengucapkan itu dengan suara pelan namun sangat jelas. Isla diam mengingat-ingat nasihat Abri dua pekan lalu untuk duluan meminta maaf. Isla pun segera mengambil bukunya dan mendekati meja Yeri.

"Sok nyacatin orang, nggak ngaca, emang lo sebaik apa? Liat aja nanti muka Lo juga bisa bulukan, baru mampus." Baru saja Isla akan mengulurkan tangan meminta maaf, Yeri malah berbicara dengan kata-kata yang tak disaring, bahkan teman disamping Yeri sampai terkejut.

"Aku tau kamu orang berpendidikan, itu masalah sudah lama berlalu, kamu masih semarah ini? Kamu bukan anak kecil Yeri."

"Kayak ada yang ngomong tapi siapa ya?" Yeri memalingkan wajahnya, Isla benar-benar kesal, daripada membuat masalah lebih baik ia segera pergi. Pusing juga dengan dunia pendidikannya. Ia harus berangkat pagi sekolah di pondok, kemudian siang hari lanjut kuliah, tugas-tugasnya sering menumpuk, ditambah ia harus beradaptasi dengan dunia perkuliahan yang berisi macam-macam orang. Banyak yang menggunakan bahasa gaul, sangat sinkron dengan murid-murid dipondoknya yang sangat mementingkan sopan santun walaupun pasti ada masalah juga. Isla menggunakan maskernya kemudian keluar. Entah mengapa Isla merasa sangat resah, wajahnya juga sedikit panas. Aneh. Sampai ditempat parkiran, Isla tak menemukan sosok Abri, segera saja ia meneleponnya.

Ada Cinta di Jalan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang