[26] •Sebuah Surat•

1K 73 26
                                    

Hampir dua jam Isla menahan diri di pondok itu, akhirnya Abri menelepon untuk pulang. Banyak anak-anak yang berpamitan dengan Isla dan mengantar Isla sampai ruang utama, tentu saja tidak sampai gerbang, karena mereka tidak diizinkan keluar.

Saat Abri melihat istrinya keluar, ia pun langsung gerak cepat keluar dari mobil menghampiri Isla.

"Afwan membuatmu menunggu lama. Apa membosankan?" Abri berdiri di hadapan Isla. Isla menggeleng pelan.

"Nggak membosankan. Banyak yang baik sama Isla." Isla tersenyum tipis dibalik cadarnya. Suaranya juga pelan.

"Hmm syukurlah. Ayo." Abri mengulurkan tangan, Isla diam menatap tangan Abri, membuat Abri mengernyit.

"Eih, kenapa?" Abri langsung menggandeng tangan Isla daripada menunggu lama. Lagi-lagi Isla menggeleng lemah.

Di mobil Isla juga diam saja, membuat Abri harus berpikir apa yang terjadi. Jika ada sesuatu yang dari Abri yang membuat Isla kesal, biasanya Isla akan langsung terus terang, tidak diam saja membuat laki-laki bingung.

"Mau ke rumah lagi?" Abri menawarkan pulang ke tempat orangtua Isla lagi.

"Nggak usah. Isla mau pulang aja, mau belajar." Abri diam menggaruk pelipisnya. Tentu saja ia tak akan langsung pulang. Abri mengajak Isla ke restaurant tempat favorit Isla. Favorit karena itu tempat makan milik teman Abri yang benar-benar nyaman. Alunan murottal terdengar di penjuru restaurant membuat hati tenang, nyaman, dan terasa damai.

"Kenapa ke sini? Tadi Isla sudah dikasih makan kok."

"Dikasih? Okay. Tapi memangnya Adik makan?"

"Sedikit."

"Nah kan."

"Kenapa peka sekali?" Isla bergumam. Lalu seperti biasa Abri menemui teman pemilik restaurant itu sambil berbincang-bincang dengan bahasa Arab. Isla memperhatikan kepribadian Abri yang berubah lebih terlihat keren. Lalu berarti benar apa yang pernah Isla baca bahwa: "orang yang bisa dua bahasa atau lebih bisa saja tanpa sadar mengubah kepribadian mereka ketika berganti bahasa."

Setelah makan, Abri mengajak Isla berjalan-jalan ke tempat yang jauh. Seleranya tempat yang unik-unik, padahal banyak tempat bagus juga di daerah situ, membuat mereka baru sampai rumah hampir jam 5. Hari ini memang bukan jadwal ngajar anak-anak yang les dengannya, alias Abri liburkan. Jadi bebas.

Sampai rumah, Isla sudah tampak ceria. Abri bersyukur namun harus tetap waspada jika tiba-tiba mood Isla berubah lagi.

"Baju kotornya taruh sini, mau langsung Isla cuci." Isla tersenyum manis sambil membawa tempat baju kotor. Abri sendiri baru saja akan membuka bajunya untuk melakukan rutinitas mandi. Abri menatap Isla.

"Mau lihat ana lepas baju?"

"Ah, nggak gitu. Bawa ini ke kamar mandi, nanti keluarin di depan pintu!" Isla memberikan tempat baju kotor yang ringan itu kepada Abri sambil menunjukkan senyum kotaknya.

"Na'am-na'am."

Setelah itu Isla mandi juga di kamar mandi yang lain, lalu mencuci baju. Menyenangkan juga, jika ada baju kotor langsung dicuci membuat pekerjaan tentang pakaian tak akan menumpuk.

Selesai mandi, Isla murojaah ditemani Abri hingga Maghrib datang, lalu sholat, kemudian murojaah lagi dan belajar. Abri menjadi tak konsentrasi mengetik pekerjaan karena memikirkan Isla yang sangat penurut dan mengikuti jadwal yang dibuat dengan kesepakatan bersama tanpa mengeluh sama sekali. Seharusnya ia senang, namun Abri merasa ada yang tidak beres.

Isla sendiri tersenyum sambil membaca arti Al-Qur'an. Ia mulai berpikir juara-juara bagus yang ia lalui dulu di sekolah, tak terlalu bermanfaat, karena tentu saja ada orang yang lebih dan sangat pintar. Menghafal arti saja ia mengeluh, apa yang harus ia banggakan? Sudah pasti Abri jauh lebih cerdas dibandingnya. Isla mulai minder sendiri. Tak nyaman rasanya.

Ada Cinta di Jalan HidayahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang