Asa POV
Aku tidak mengerti dengan dirinya. Sosoknya yang misterius ternyata orang yang cukup humoris. Siapa lagi kalau bukan dia, Araska.
Dia sosok yang berbeda. Entah mengapa, saat pertemuan pertama di Bandara itu, aku benar-benar ingin kenal dengannya.
Sebelum akhirnya dekat dengannya, aku tidak tahu bahwa Araska memiliki sebuah perusahaan yang cukup besar dikancah Nasional. Araska pernah bercerita padaku, ia ingin segera terwujud untuk bisa membawa perusahaannya menuju kancah Internasional.
Aku merasa bahwa Araska masih belum benar-benar melupakan sosok gadis bernama Rindu. Aku sudah mengenalnya saat Rindu datang ke rumah Araska. Dan aku mendengarkan semua itu.
Tapi, Araska benar-benar membuatku bingung. Beberapa minggu yang lalu, ia mengenalkanku pada kedua orang tuanya. Siapa yang tidak senang dengan itu?
Meskipun aku benci dengan fakta bahwa ia sering pergi ke bar dengan teman gilanya, Mario. Aku tidak suka ketika Araska sedang mabuk. Ia benar-benar lucu dan bisa tak terkendali dalam satu waktu, entah mengapa aku tak mau dia bertemu dengan wanita mana pun di tempat seperti itu.
Saat ini, aku sedang bersamanya di kantornya. Membawakannya makan siang, seperti biasa. Araska sudah tidak lagi menolakku di kehidupannya.
"Enak gak?" tanyaku padanya yang sedang asik melahap makanan buatanku dan bi Lala.
"Enaklah buatan bi Lala gak pernah gak enak"
Aku terkekeh. "Aku yang buat tau." ia sedikit tersendak dan buru-buru aku berikan ia air.
"Hmm kok tiba-tiba aku gak nafsu ya?"
"Ar!!!!!" aku menepuk bahunya agak kencang.
Dia tertawa. Aku senang melihatnya tertawa. Entah mengapa rasanya seperti menyejukkan untukku.
Aku senang bisa menemaninya bekerja seperti ini. Araska pernah bertanya mengapa aku selalu ada waktu untuknya? Aku menjawab bahwa aku memang untuknya.
Itulah jawaban asalku, karena aku sepertinya telah jatuh padanya.
"Besok aku ke Bandung, mau nengokin adikku. Sekaligus jemput dia pulang buat liburan"
Aku sudah bersama dengan Araska selama beberapa bulan ini. Bisa dibilang kami sudah bersama selama hampir 5 bulan.
Tapi memang Araska tidak pernah sedikit pun membahas soal perasaan padaku. Aku pun tidak mempermasalahkan itu, karena aku ingin selalu didekatnya, itu membuatku nyaman. Kenyataan bahwa aku dekat dengan bos, itu sebagai bonus.
"Aku ikut boleh gak?" aku menawarkan diriku untuk ikut bersamanya. Aku belum dekat dengan adiknya itu, Noella. Tapi Araska pernah bercerita denganku.
"Kamu di rumah aja lah"
"Gak mau. Aku mau ikut!" kekeuhku padanya. Namun Araska adalah Araska. Aku tidak diperbolehkan ikut menjemput adik satu-satunya itu.
Selesai makan siang, Araska menuju toilet ruangannya untuk membersihkan mulutnya sebelum kembali ke meja kerjanya untuk melanjutkan kembali aktivitasnya.
Aku merapihkan rantang makanan bekas Araska. Aku akan segera pulang ke rumahnya. Aku sekarang ini lebih sering untuk tinggal di rumah Araska.
Meskipun begitu, aku tetap pulang ke rumah jika aku mau. Araska sempat bertanya, tapi aku lagi-lagi memberikan jawaban asal untuknya.
Mungkin saat ini aku tidak bisa menceritakan padanya tentang bagaimana aku. Aku hanya bisa terus berada di samping Araska tanpa perlu ia tanya kenapa.