Asa POV
Kepulangan Araska menjadi tanda tanya besar untukku. Apa lagi yang terjadi? Apakah aku harus mengungkap kepada Araska?
Apakah ini tidak terlalu cepat? Bahkan aku bukan siapa-siapanya. Aku hanya seseorang yang kebetulan selalu ada di dekatnya dan aku merasa nyaman berada di dekatnya.
Araska tidak boleh tahu soal hal ini. Aku akan selalu melindunginya dari ancaman-ancaman tidak jelas.
Aku memutuskan untuk menelpon Araska.
"Halo, Ar?"
"Apa?" dari sebrang sana terdengar dia seperti sedang sibuk.
"Kamu sibuk?"
"Iya, abis ini aku ada meeting sama semua pimpinan"
Aku menghela nafasku. Mengurungkan niatku untuk mengajaknya bertemu denganku.
"Yaudah dilanjut, semangat"
"Maaf ya, nanti aku telpon lagi. Dahh"
Araska memang selalu berhasil membuatku merasa senang. Di sela-sela kesibukannya menjadi pemilik perusahaan, ia selalu menyempatkan untuk memberikan kabar padaku dan bahkan ia pernah menelponku disaat ia mau memulai rapat.
Aku bersiap-siap untuk pergi hari ini. Ke tempat yang tidak akan Araska ketahui. Dan aku sejujurnya benci tempat ini.
Aku hanya mendatangi seseorang, karena aku merasa aku tidak ingin lagi dia masuk ke dalam kehidupanku.
Araska POV
Hari ini aku akan pulang larut malam. Karena pekerjaanku sepertinya ada beberapa masalah terlebih aku harus siap dengan kesibukan yang lebih parah mengingat launching produk terbaru tinggal menghitung hari.
Hari ini juga Asa tidak menemuiku di kantor. Entah mengapa. Mungkin dia marah karena aku tidak bisa menemaninya mengobrol di telepon. Tapi ku pikir, Asa adalah perempuan yang sangat pengertian, dia tidak akan marah dalam hal ini.
Aku melanjutkan pekerjaanku di depan komputer. Sambil beberapa kali ku lihat ponselku, Asa tak kunjung menghubungiku.
Author POV
Asa sedang berada disebuah tempat dengan seorang laki-laki yang lebih tinggi darinya. Mereka sedang membicarakan sesuatu di tempat tersebut.
"Jangan pernah ikut campur urusanku!" kata laki-laki tersebut sambil menunjuk-nunjuk ke wajah Asa.
Asa yang melihat itu langsung beridiri.
"Aku harus bilang berapa kali? Aku bisa lunasin, tanpa harus jadi milikmu." Ucap Asa dengan penuh penekanan.
"Aku gak butuh uang itu. Aku butuh kamu!"
Asa tidak mau mendengarkan lagi. Ia berlalu meninggalkan laki-laki tersebut yang terus berbicara pada Asa.
Ada sesuatu yang tidak beres di sana. Laki-laki tersebut tertawa setelah ditinggal pergi oleh Asa.
Asa pulang ke rumah Araska seorang diri. Pikirannya saat ini adalah ibunya. Bagaimana cara agar ibunya bisa dibawa pergi olehnya.
"Maaf mbak, mau kemana?" tanya supir taksi yang Asa tumpangi.
Asa memberitahu alamat rumah Araska sebelum akhirnya ia menangis di dalam taksi karena sudah tak dapat membendung lagi emosinya.
Sesampainya di rumah Araska. Ia membuka pintu gerbang Araska dan mendapati bi Lala menunggunya di depan pintu karena sebelum ke rumah Araska, Asa mengirimkan pesan pada bi Lala.