Arunya - Kooperatif, dong! Supaya Putus Lebih Gampang

10.4K 1.7K 35
                                    

Alasan lain untuk kabur siang ini adalah bertemu dengan Fritz di kantin Lux Media studio III. Sebagai informasi, aku kenal Fritz karena dia pernah pacaran dengan sepupuku. Lalu putus karena sepupuku nikah dengan orang lain.

Kami bertemu dalam agenda membahas pekerjaan. Kebetulan, Fritz bekerja di Lux Media. Salah satu stasiun TV suasta. Saat mendapatkan broadcast tentang rekrutmen karyawan di perusahaan itu, sebulan lalu, aku segera mendaftarkan diri.

Seleksi pertama terlewati. Tes Pengetahuan Umum sudah terlampaui. Namaku muncul di website resmi Lux Media sebagai peserta yang lolos. Menyingkirkan ribuat kandidat lain. Aku juga lolos dalam Psikotes. Lusa nanti tinggal ikuti tahapan akhir berupa wawancara.

"Kalau diterima, kamu yakin mau resign?" Fritz menyodorkan King Manggo Thai pesananku. Kami berjalan menuju lobi.

"Yup."

"Gajimu di LALEO mungkin dua kali lipat lebih besar, Nya."

Aku terkekeh. Memang benar. Sebagian orang yang mendengarkan rencanaku resign dari EO sekelas LALEO demi menjadi karyawan biasa di Lux Media tentu akan mencaci pilihanku. Sebut saja aku mengalami kemunduran karier.

Namun, mereka enggak tahu, di balik itu, aku sedang berusaha "naik kelas". Keluar dari zona nyaman. Menuju kebebasan.

"Kerja bukan hanya masalah gaji, Fritz. Aku ingin memuasi passion-ku. Kamu belum lupa, kan? Aku ingin jadi orang-orang yang ada di 'behind the scene-nya' sebuah acara spektakuler."

"Ya." Fritz tersenyum. Karena mempunyai latar belakang pendidikan yang sama, juga cita-cita yang mirip, kami sering tukar cerita. Fritz tahu banyak tentang impianku menjadi insan pertelevisian---walau hanya di belakang layar.

"Lagi pula," lanjutku setelah dua kali menyeruput minumanku, "setelah lulus kuliah, aku langsung bekerja di EO milik Lala. Tanpa seleksi. Tentu lewat jalur pertemanan. Kalau boleh jujur, aku rasa ijazah dan gelarku jadi nggak berfungsi sama sekali. Seenggaknya, tes ini adalah pembuktian diri."

"Benar, Nya. Seenggaknya, sekali seumur hidup, kita harus berjalan di atas kaki sendiri. Tanpa 'digendong' orang. Kamu ngerti, kan?"

Aku mengangguk paham. Setelah atur janji bertemu sebelum wawancara dua hari nanti, kami berpisah. Fritz masih ada tapping acara talkshow yang ditangani sementara aku balik ke kantor.

***

"Arunya."

Ya Tuhan. Hari kesepuluhku sebagai single nyaris saja terlewati dengan nyaman sebelum suara itu kacaukan segalanya.

Gaga melambai dari seberang jalan. Masih dengan kostum kerja. Kulihat, mobil milik Lala terparkir tidak jauh dari warung kelontong. Sepertinya, dia baru minum kopi dengan Haji Hamid karena sebelum menghampiriku, Gaga tawarkan untuk membayar biaya pesanan.

"Aku nganter Lala ke temennya. Males nunggu, jadi ke sini dulu sebelum jemput dia lagi," jelasnya tanpa ditanya. "Kok naik ojek? Kamu abis dari mana? Kenapa nggak minta kujemput aja?"

Mode muka tebal memang lagi hits.

Lihat ekspresiku, seringai penuhi wajah Gaga. "Sebentar," tukasnya. "Biar kutebak, dalam hati kamu pasti bilang, 'model muka tebal memang lagi hits'  kan, kan?"

Tenang saja. Dia enggak punya kemampuan membaca isi hati hanya lewat ekspresi mikro. Kalimat itu memang sering kulontarkan kalau dia enggak tahu diri, datang ke kontrakan malam-malam, minta dibuatkan mie instant. Padahal lagi berantem dan diam-diaman di siangnya. Tentu dia hafal.

"Pulang!" usirku.

Dia abaikan perintahku. Lalu menunjuk belanjaan. Wortel parut, kembang kol, dan tepung bumbu bakwan. "Mau bikin bakwan yah?"

"Bukan. Pepes ikan."

Garandra tertawa lepas. Aku menyesal berikan celah untuknya mencolek urat geli. Tidak salah, dia ambil alih tas belanjaan seolah sederet penolakanku adalah angin lalu. "Aku bantu yah, Nya?"

Kutarik kembali tas belanjaan. Cukup kasar sampai-sampai Gaga terkejut. "Udah deh, Ga. Berhenti basa-basi. Kita udah putus. Tolong hargai keputusan aku."

Gaga menyodorkan kuping. "Apa, Nya? Kok kedengarannya cuma skidipapapap swedikap?"

Kalau enggak berpikir suara azan Magrib, sudah kuteriaki Gaga sampai jantungnya terbang.

Sejujurnya, umur kami terlalu dewasa untuk putus dengan cara musuhan. Dua puluh delapan tahun! Harusnya segala sikapku jadi lebih terkendali. Bentakan enggak berlaku lagi untuk hadapi laki-laki seperti Gaga. Tapi kenapa, dia nggak bisa mempermudah segalanya? Responsnya otomatis menyenttingku ke mode remaja: teriak, usir, dorong, caci maki.

Aku harus keluar dari taman kanak-kanak ini.

"Ga..." desisku, menyerah. "Tolong kooperatif. Supaya putus jadi gampang. Jangan bikin aku kasar. Dewasa, dan mengerti posisi kita."

Aku merasakan ancaman air mata di pelupukku. Jangan sekarang. Tolong. Gaga nggak boleh melihatku menangis.

"Kamu capek ya, Nya?"

Kurasakan sapuan di puncak kepala. Tegasku seperti dilucuti. Seharusnya aku nggak memberi akses sentuhan, karena semua permukaan kulit Gaga mengandung komposisi obat penenang dosis tinggi. Aku takut, akan menubruk dadanya seperti biasa dan mulai berkeluh kesah soal kekacauanku.

Meskipun pusat utama kekacauanku kali adalah dia.

"Aku balik deh. Abis magrib, kamu istirahat, ya? Jam sembilan aku jemput."

Dia nggak memberiku kesempatan untuk menolak. Tapi aku tahu betul, jam sembilan nanti, kuberikan dia kesempatan bercakap-cakap panjang dengan pintu dan kontrakan kosong.









.
.
.

Belum. Hahaha. Ini masih di awal. Dikit lg masuk konflik😁

JodohpediaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang