Audy - Omong Kosong Terbaik

17.5K 1.9K 223
                                    

"Uhuk uhuk uhuk."

Aku tersedak pizza. Hingga air mataku menggenang. Jannar harus dicekik atas percobaannya lakukan jumpscare.

"Dy?" Dia terbahak. Puas sekali nadanya. Fyi, itu bukan jenis tawa gemas pria sehabis membuat cewek grogi karena lamaran, tapi tawa syukur dapati aku hampir mampus tersedak.

Atas asas membantu, Jannar layangkan rentetan tinju ke punggung hingga badanku ikutan terhuyung-huyung ke depan. Aku rasa motiv sebenarnya si sialan ini pasti ingin hancurkan tulang punggungku. Di akhir, dia memberiku segelas air, diambil langsung dari keran cuci piring. Gelasnya entah bekas siapa. Aku menolak, dia paksa hingga aku meneguknya sampai habis. Bonus tumpahan di leher sampai dada. Kaosku basah. Hatiku apalagi, basah karena disiram bensin.

"Udah gila ya, kamu?!" bentakku.

"Astaga, sori Dy, aku panik. Kamu nggak apa-apa?" Suaranya pura-pura simpati sementara ekspresinya menunjuk keadaan terbalik. Jenis-jenis tawa seperti HAHAHA. WKWKWK. ROTFL. NGAKAK SEKEBON berlarian di mukanya.

Sialan. Seharusnya aku nggak ciptakan peluang bertemu. Si bajingan ini selalu mencelakaiku setiap ada kesempatan. Minggu lalu, berdalih membantu, ban mobilku dibuat kempes.

Campurkan gula ke dalam ramen saat kutinggal pup. Dan banyak adegan menyebalkan lain setiap ketemu di apartemen Vanesha.

"Kamu grogi gitu. Jadi, aku yang pertama nih, Dy?"

"Apa?" sambarku galak.

Dia menyeringai. "Ketahuan nih pacarmu yang ratusan itu, nggak ada satu pun yang ajak nikah yah?"

Mendadak, kupaksa luruhkan amarah. Hadapi Jannar harus dengan ketenangan. Semakin emosi, dia akan menyulapmu jadi permen karet yang digigit-gigit dan ditiup sampai pecah.

"Kenapa?" Berpangku tangan, menghadangnya. "Ini juga pertama kali untuk kamu ya, lamar cewek?" balasku tenang. "Kok nggak ngelakuin itu ke ratusan pacar-pacarmu? Jadi, apa aku sespesial itu?"

Aku begitu menikmati tingkah laku Jannar saat dia mulai main-mainkan lidah mendorong pipi dalam. Jangan lupakan kulit wajahnya yang terpanggang.

Kudempetkan tubuh kami. Memberinya siksaan berupa embusan napas di lehernya. Jannar harus mencium aroma parfumku yang mengandung feromon tingkat tinggi ini. Bonus, kecupan di rahang yang membuatnya menutup mata dengan otot wajah mengetat.

Laki-laki boleh saja menghakimi wanita dengan kekuatan fisik. Tapi, untuk menyiksa balik, perempuan hanya perlu embukan napas ke leher mereka. Efeknya? Melata sampai area bawah perut mereka. Rasakan itu! Rontaan rudal balistik di balik gesper.

"Makasih ya, untuk omong kosong sore ini. Aku cukup terhibur." Kuberikan kecupan kilat nan ringan di sudut bibir Jannar. Di atas kulitku---yang bersentuhan langsung dengannya---merasakan setruman luar biasa. Sial! Harusnya bagian ini cuma dia yang rasakan. Bukan aku.

"Terus, Dy," bisik Jannar, parau. "Aku akan apresiasi kalau semua ini berlanjut sampai ke sana." Mataku mengikuti telunjuknya, yang mengarah ke area menuju kamar tamu.

Tak sempat memprotes, Jannar menarik pinggulku. Bagian bawah tubuh kami resmi tabrakan. Aku mendesir aneh. Apalagi, bola mata Jannar menyendu. Pertanda bahwa desiran ini tak hanya milikku.

Sial kuadrat! Aku yang ciptakan permainan, tapi aku yang dipermainkan balik.

"KALIAN NGAPAIN?" teriakan Vanesha memutus keteganganku. Segera aku mundur. Mungkin, warna wajah ini seperti strawbery.

"Sahabatmu mau nyium aku, Twins," jawab Jannar, sambil melangkah dengan santai ke area meja makan.

"Heh, jangan ngaco!" Suaraku melengking berlebihan. Ini sungguh aneh, Jannar keparat mampu menggaruk sisi kampunganku. Jadi cewek norak yang berteriak-teriak lebay saat dicandai.

Tok tok. Permisi? Di mana sisi femme fatale-ku?

Kutata rambutku lagi. Tarik napas, hempas. Kembali jadi cewek misterius.

"Hello?" Vanesha melambai-lambai di depan Jannar. "Ada yang mau jelasin apa yang terjadi di dapurku barusan? Kenapa kalian main gosok-gosokkan? Ada sesuatu yang aku lewatkan selama ini?"

Nggak ada satu pun dari kami yang menjawab. Aku juga nggak ingin soreku yang indah ini berubah menjadi sesi interogasi. Dan soal lamaran tadi, nggak perlu diambil hati.

Kalau ada 20 janji yang Jannar ucapkan, ke-20-nya nggak layak dipercaya sama sekali. Iya, nggak ada yang bisa kalian pegang dari laki-laki yang setiap hari gonta-ganti teman kencan. Jannar adalah omong kosong terbaik yang Tuhan munculkan dalam hidupku.

***

Kami bertiga berada dalam lift. Vanesh rencananya akan memjemput temannya di Bandara. Karena nggak mau aku berdiam diri bareng Jannar di apartemen, dia melibatkan kami ke acara penjemputan.

"Twins, temenmu cakep, nggak?"

Nggak usah ditanya itu pertanyaan siapa. Mataku menggelinding, malas.

"Kalau ibarat alat musik, dia itu gendang. Dan selera kamu itu drum. Jadi nggak usah sok kecakepan godain teman aku," ancam Vanesha. Kembarannya yang nggak tau diri itu terkekeh.

"Kalau dia yang tertarik sama kembaranmu ini gimana?"

Cuih. Sok ganteng! Aku berharap, lampu lift ini jatuh dan menghantam kepala Jannar.

"Eh, Jan! Fokus aja ke pacar lo yang minggu lalu itu. Siapa namanya?" Vanesha mengumpat. Dan menggumam betapa banyak mantan pacar kembarannya yang dikenalkan sampai-sampai, tak ada satu pun nama yang mampir di ingatan. "Jangan ganggu temenku yah. Dia anak kampung baek-baek."

"Aku nggak ganggu dia kok. Tapi aku berubah pikiran kalau dia duluan ngirim sinyal suka ke aku."

Sepasang muka ganda ini terus berdebat. Sementara aku berpangku tangan tak tertarik masuk dalam obrolan mereka.

Pintu lift terbuka, Vanesh jalan lebih dulu sementara Jannar berlama-lama di pintu. Sengaja membuat aku terjebak di belakangnya.

"Eh, bisa minggir nggak?"

"Huh? Apa, Sayang?"

Dia berbalik. Membungkuk sampai wajahnya nyaris menabrak wajahku kalau aku nggak menghindar di tiga detik sebelumnya, kujamin hidung kami akan berbenturan.

Jannar memang minta dimaki pakai seluruh makian se-Bima Sakti.

"Jan, kalau nggak mau aku tampar, tolong minggir."

Didekatkan telinganya. "Gimana-gimana? Nggak deng---" Tawanya pecah karena tamparan yang kulayangkan ke mukanya gagal mendarat.

Sebagai gantinya, kutendang Jannar. Dengan sigap dia menahan kakiku. Lalu melepas si manis Louis Vuitton dan membuangnya ke dalam lift. Dia tarik aku keluar. Dengan cepat menekan tombol close, lalu arah panah atas dan nomor lantai yang dia inginkan. Pintu tertutup. Aku meronta dalam percobaan selamatkan sepatuku dari acara jalan-jalan ke lantai 11. Jelas pergerakanku diblok pria sinting itu.

"Eh, lepasin nggak lo?" teriakku.

Nggak peduli kami jadi bahan tontonan, kumaki dia berkali-kali.

Sebelah sepatuku resmi sampai di lantai 11. Jannar melepasku. Tertawa, lalu melimbai pergi. Tinggalkan aku yang panik di depan pintu lift. Nggak mungkin ke Bandara dalam keadaan seperti ini.

"JANNAR BANGSAAAT!!!"





***

ekwk sante2 dulu, Kawan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JodohpediaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang