Audy - Sepotong Pizza Yang Malang

10.5K 1.7K 105
                                    

Bagian favoritku setelah melepeh laki-laki dari hidupku adalah: pilah-pilih pria yang akan kukencani berikut. Aku selalu excited melaluinya. Sama seperti memilih baju terbaik yang kukenakan demi tampil cantik.

Omong-omong, aku punya satu nomor khusus yang kugunakan untuk terhubung dengan kelinci-kelinci ini. Anggap saja nomor sampah. Jadi, setiap kali selesai, nomor mereka otomatis masuk dalam blacklist. Hidupku kembali damai sentosa.

Beberapa jam setelah melepas Si Prancis, akhirnya aku berkesempatan lakukan hal favorit itu. Sambil berendam, dibaluti busa-busa lembut, dan wewangian yang kuramu dari irisan lemon dan rosemary.

Hai, Dy. Malam ini ada waktu?

Itu chat dari jejaka pertama. Varel namanya. Sama seperti calon-pacar-kilat lainnya, aku kenal dia di kelab milikku. Tampang bisa diandalkan lah. Hanya saja, terlalu melankolis. Kapan hari, dia nangis nonton video kucing dianiaya. Bagi perempuan lain mungkin nggak masalah punya pacar berhati lembut. Bagiku, aneh. Lihat pria yang sedang menangis dan mabuk bersamaan. Pria jenis ini rawan. Kuramal, saat kita jadian dan jalan, kalau ada insiden aku lihat kecoak, dia yang jejeritan minta gendong.

Beri sekali iewh dan tiga kali putaran mata untuk cowok-cowok begini. Varel mungkin akan berjodoh dengan tipe perempuan yang diam-diam suka angkat tangan dan berdoa untuk suami yang ribuan kali bikin mukanya babak belur. Cocok!

Kublock nomor Varel.

Si jejaka kedua. Namanya ... Damn! Radit. Itu kan nama Papa. Nggak leluasa dan aneh banget kalau aku jalan sama dia. Berasa durhaka kalau jalan dengan dia. Sayonara!

Hi, Dy. Lagi apa?

Cowok ketiga... Khalid. Dia kenal aku lewat Instastory-nya Brama, Barista di kelabku, lalu minta dihubungkan. Beberapa kali ketemu, masih kugantung demi menyimpan stok teman kencan berikut. Sepertinya, minggu ini jadi miliknya.

Kubalas, Hai, Lid. Nge-gym. Kamu?

Balasannya tanpa basa basi. Mengajak bertemu malam nanti. Kuiyakan.

Selamat masuk perangkap. Sayang.

***

Setengah lima sore. Apartemen Vanesha Jennardena dalam rangka numpang makan dan mungkin juga berapa menit tidur berkualitas.

Si empunya tengah ber-jumping jacks. Lagu Taki Taki berisiki ruang. Berlenggang masuk, indraku ditubruk wangi kayu-kayuan. Aku langsung merasa nyaman seperti di hutan.

"Loh, Nes? Kamu di sini? Aku kira lagi menjemput rejeki di Surabaya," ledekku.

Vanesha memaki dalam napas putus-putus efek workout. Dia bertanya kenapa aku di sini bukannya kencan dengan Peter. Kuberi tanda tebas leher, dia langsung menangkap kodeku.

"Put-hus La--hagi?" Henti sejenak, seka keringat dan kecilkan volume musik.

"Yup."

"Alasannya?"

"Warna matanya aneh." Kusambar jus buah naga di meja makan. Meneguknya hingga tandas. "Abu-abu tanggung. Setiap mau ciuman, gue brasa mau ciuman sama Tupai."

Dari belakang, Vanesa menirukan suara cicak. Respons yang sama setiap kali aku laporan tentang hobiku melepeh laki-laki.

"Itu si ... siapa dah?" Dia pasti sedang mengingat-ingat mantanku minggu lalu. "Ah, Nolan, ya? Dia yang bermata hitam. Berdagu panjang, kamu bilang mirip kuda. Jadi setiap ciuman kayak ditabrak delman. Yang ini Tupai. Astaga, kamu manusia apa penangkaran satwa, sih. Suka banget kencan sama hewan."

Aku terkekeh.

Vanesha duduk di kursi makan seberang. Mengintaiku lewat sorot tajam bagai kaum barbarian yang siap menyantap buruannya. "Dy, lama-lama kamu kena azab loh!"

Kekehanku naik selevel menjadi tawa.

"Azab wanita tukang lepeh laki-laki, tubuhnya sekarat diseruduk delman, dibawa ke Bikini Bottom bersama Shandy Si Tupai, jadi budak seks Plankton dan Tuan Krap."

"Hiperbol!" Aku ngakak sampai mataku berkolam.

Vanesha membuka kaos. Sisakan bra sport warna hitam. "Usia kita udah nggak pantas ''ciptakan' hubungan baru, Dy. Tapi merawat yang sudah ada. Dan bawa ke tahap yang lebih serius."

Aku sedang dinasihati oleh gadis 27 tahun yang seumur hidupnya hanya pacaran dengan satu orang sejak masa kuliah. Sampai sekarang. Dan mungkin akan menikah beberapa bulan lagi.

"Nggak semua orang seterstruktur kamu," tepisku santai. "Ada yang usia 35 baru move on dan cari pasangan baru. Kalau gue cepat bosan sih. Sama satu orang bertahun-tahun."

"Terserah." Vanesh tinggalkan aku menuju kamar mandi. "Kenapa sih aku harus dikeliling orang kayak kalian?"

kepalanya menyembul dari bingkai pintu. Kalau sudah begini, aku tahu apa next episode omelannya.

Do-do-do. Manusia-manusia yang habiskan umur untuk mengeksploitasi diri untuk hal nggak berguna. Re-re-re rasa ini, rasa itu. Lompat sana-sini. Mi mi mi, sepelekan hubungan serius demi jalani kencan payah dengan si A, B, C. Fa-fa-fa terancam nggak menikah seumur hidup. So-la-si-do, calon sebatang kara sampai akhirat.

"Tahu nggak sih." Tiba-tiba dia keluar. Kali ini celananya sudah tanggal sisakan underwear totol totol. "Aku khawatir, lima-enam tahun ke depan, nggak ada manusia baik-baik yang ngedeketin kalian."

Kenapa ya, orang-orang yang awet sama pasangannya selalu merasa punya hak untuk menasihati manusia pelaku hubungan singkat? Apa salahnya, sih pacaran kilat? Toh, aku senang. Vanesh nggak ingat penelitian di luar sana, yang bilang bahwa bahagia bisa bikin manusia panjang umur. 7,5 hingga 10 tahun. Awet muda juga.

Daripada berdebat, kutulikan diri. Sedang sibuk memblock nomor Peter agar dia berhenti mengirimiku chat sumpahan.

"Dy!"

"Hmm."

"DY!"

"Apa, Sayang?"

"Kamu dengar aku nggak, sih?"

"Dengar dong. Kamu teriak gitu."

Deru napasnya terdengar kasar. "Bilang aku gila tapi aku hitungin jumlah mantan kamu tahun lalu. 41 orang!"

"Menurun dong? Dua tahun lalu 53."

"Dy..." Nadanya memelas. "Cari yang serius aja kenapa sih? Biar cepat merit. Aku kan pengin jodohin anak kita."

Tawaku melengking untuk ide klasiknya. Kalau nggak kupotong, Ini akan terbawa sampai ancang-ancang membangun rumah berdekatan, liburan bareng dan mengurus cucu di hari tua.

Ingin beranjak ke dapur dalam rangka merampok makanan apapun dari lemari es, bunyi pintu apartemen yang terbuka menahanku. Ganesha Jannardana muncul. Terkejut dapati kembarannya setegah bugil. "Kebiasaan," gumamnya sambil melepas sepatu. "Pakai baju sana!"

"Hai Twins," sapa Vanesha sebelum kabur ke kamar mandi. Tinggalkan aku bersama Jannar. Laki-laki itu menyusulku ke dapur. Bersebelahan kami di depan kabinet. Dia menyeduh kopi sachet, aku mencuri potongan pizza.

"Kita selalu ketemu di sini yah, Dy? Seperti sudah diatur sama yang di Atas." Cara bicaranya supersantai. Lalu membalik posisi jadikan table top sebagai tumpuan pinggang. Dari ekor mata, kulihat matanya berfokus padaku. "Kamu pernah kepikiran nggak, Dy? Siapa tahu ini cara Tuhan menunjukkan tanda-tanda kalau kita jodoh."

Aku tunggu tawanya meledak seperti biasa saat dia akhiri godaannya padaku. Namun kali ini kekehan menyebalkan itu nggak muncul. Kuberanikan diri menyeret mataku padanya. Pandangan kami bertubrukan di udara.

"Nikah yuk, Dy?"

Sepotong pizza yang kutelan macet di perempatan menuju lambung.




JodohpediaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang