Arunya - Sudah, yah. Malam Ini Semuanya Selesai.

10.8K 2.4K 439
                                    

Dulu, oleh Gaga dan Lala, aku diklaim sebagai perempuan yang sangat amat pengertian terhadap kedekatan mereka. Itu alasan terkuat Gaga memilihku. Katanya, selama ini, hubungannya selalu berakhir dengan masalah yang itu-itu saja. Prediksi mereka, kalau denganku, hubungan itu akan panjang umur.

Percaya diriku mengangkasa. Dengan sombongnya aku tepuk dada. Kutunjukkan bahwa Gaga nggak salah pilih. Sebab Arunya ini bukan kaleng-kaleng. Arunya ini beda! Nggak drama, nggak pencemburu buta, superpengertian.

Enam bulan pertama, aku santai. Dan bahagia. Itu bertahan sampai satu tahun. Karena mungkin cinta masih berperan penting tumpulkan kejelian. Aku masih bisa tertawa lihat dua sahabat itu rangkul-rangkulan, gelitiki perut dan usap punggung setiap salah satu dari mereka tersendak makanan.

Satu setengah tahun, aku terganggu beberapa hal. Interaksi mereka mulai tularkan panas di hati, berujung mataku pun memerah setiap kali terabaikan tanpa mereka sadari. Jeliku menajam. Aku sadar kesukaanku, adalah bahan ledekan mereka. Sementara kesukaan mereka, adalah siksaan bagiku.

Dua tahun terlampaui, aku ditampar percaya diriku sendiri yang mengendur. Malu, dan ingin buktikan diri bahwa aku kuat. Bahwa aku bukan Arunya kaleng-kaleng. Dua stengah tahun, semakin rumit. Rasaku seperti lukisan abstrak. Banyak warna. Mengasihani diri sendiri, masih ingin bertahan untuk lihat perubahan Gaga, tapi juga ingin putus.

Setiap malam setelah Gaga pulang dari kontrakanku, aku pasti mengetikkan pesan untuknya:

Ga kita putus. Aku dijodohin Mama.

Hapus lagi.

Ga. Aku sepertinya mau hijrah. Brenti pacaran aja ya.

Hapus lagi.

Dan akhirnya pesan-pesan itu tak terkirim. Berlimpah ruah di fitur note ponsel sebagai limbah hatiku.

Setelah itu, setiap pagi sepanjang tahun, kugoblok-gobloki diri sendiri. Menjelang tiga tahun, Gaga resmi membawaku pada keluarganya. Meskipun sebelumnya aku sudah pernah bertemu tanpa sengaja, tapi tak mengurangi kebahagiaan saat kali perdana dikenalkan sebagi pacar. Semua itu berlipat ganda, aku disambut baik-baik oleh Tante Neti dan Om Alwi. Bahkan, mereka ikut menceritakan bagaimana kedekatan Lala dan Gaga supaya mencegah kasus putus yang sama.

Dengan bangga, Gaga rangkul pundakku di depan orangtuanya. "Yang ini beda, Ma, Pa. Dia dekat dengan Lala lebih dulu. Nggak mungkin cemburuan kayak yang lalu-lalu."

Di situ, aku kembali kuat. Perasaan ingin putus kukubur lagi. Karena ada alasan bagus untuk bertahan. Satu kemajuan pesat: pernikahan mulai sering muncul dalam obrolan aku dan Gaga. Walau cuma sebatas lucu-lucuan. Belum ada keseriusan dua belah pihak.

Tepat aniversary yang keempat, Gaga kembali berulah. Sebulan sebelumnya, dia janji akan menemaniku pulang ke Bukit Tinggi, ziarah ke makam papa sekaligus berkenalan dengan keluarga besarku. Tapi, di hari-hari terakhir, dia skip rencana itu demi menemani Lala terbang ke Taipei untuk urusan kerjaan.

Itu superfatal. Aku... merasa nggak berarti sama sekali. Dan, kejadian itu mempelopori keputusanku malam ini. Akhirnya.... tombol flush itu baru saja kutekan. Semua limbah-limbah dalam hatiku luruh bersama kalimat tadi.



***

Pasca dibungkam tentang masalah prioritas. Air muka Gaga terlihat rumit. Seolah tengah memikirkan bagaimana caranya lunasi utang lima miliyar dalam semalam.

"Nya..." Gaga baru bersuara. "Kamu... nggak pernah bilang."

"Dan bikin nasib aku sama kayak Ingga? Aurora, Felisha?" balasku, tercekat. "Yang kamu putusin karena menurutmu cemburu nggak masuk akal?"

JodohpediaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang