Arunya - Hatiku yang ingin jalan-jalan

18.2K 2.2K 99
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

"La, tutup dulu ya. Nanti, balik dari kostan Nyanya, kamu boleh curhat lagi."

Gaga akhiri hubungan telepon. Menyimpan ponsel. "Apa ini?" tunjuknya pada tumpukan barang dalam gendonganku.

Percuma kujawab. Lobus Temporalis pria itu harusnya masih berdaya guna baik hafali barang-barang memorial sepanjang empat tahun berstatus sebagai pacarku.

Akulele, hadiah pertama yang Gaga beri saat tahu aku mengandrungi Jake Shimamubura. Benda itu kerap kali dijadikan 'alat' untuk menyadarkanku soal perasaannya. Lewat sindiran lagu cinta.

Lalu, perlengkapan memanah. Dua busur berjenis recurve, dan horse bow. Lengkap dengan anak panah beserta atribut keamanan seperti finger tab dan arm guard. Kuingat, itu kado setelah ciuman pertama, di delapan bulan pacaran.

Dua hari menjelang anniversary, aku dan Gaga sempat bertengkar hebat. Usai baikan, dia memberiku bantalan target unik. Dibuat sendiri. Dengan target face adalah fotonya. Gaga bilang, kalau sedang kesal, aku boleh arahkan busurku dan memanah wajahnya sepuas mungkin. Lampiaskan emosi. Asal, saat bertemu, aku kembali menjadi pacar manisnya. Sayang, sampai nyaris kukembalikan, benda ini masih mulus. Belum pernah tersentuh anak panahku walau sekali.

Kuletakkan semua alat memanah ke meja teras kontrakan. Sementara hadiah-hadiah kecil tiap moment penting kami seperti boneka, baju, dan barang-barang rawan kotor lainnya, terkumpul dalam kantong plastik besar.

"Kamarmu penuh, ya? Nanti aku beres---"

"Ga kita putus, ya. Tolong ambil semua barang-barang pemberianmu lagi."

Seperti tebakanku, reaksi Gaga hanya berdecak. Kami memang sering bercanda soal putus. Misalnya, saat dia lagi pilek dan kedapatan menarik ingus, aku akan minta putus semena-mena karena ilfeel. Atau, kalau Gaga menemukan serpihan cabe di gigiku, maka gilirannya untuk akhiri hubungan.

"Kamu bau kaos kaki, Ga. Kita putus!"

"Nya, kita udahan, yuk. Kamu nggak keramas."

"Hoodie kamu nggak ganti seminggu. Kita nggak usah kenal aja!"

"Ya ampun, Arunya! Lipstikmu keluar jalur. Tolong cabut dari hidupku!"

"Garandra, kamu habisin es krim aku?! Astaga! Kita selesai sampai di sini!"

Sebercanda itu.

Tapi sayang, aku serius kali ini....

Sambil memijat pundak tempat tas salempangnya tersampir, Gaga beri saran, "Kamu butuh rak inventori. Besok pulang kantor, kita cari."

Dia pikir, aku butuh menataulang kamar. Nyatanya, yang ingin aku benahi adalah isi hatiku.

Kupajang roman tegas. "Ga, aku serius ingin putus."

Lelaki itu menoleh pelan. Air mukanya segera berubah. Mungkin sadar ekspresi seperti ini hanya dia jumpai saat kita sedang bertengkar pelik. Nada bicara sedingin tadi, baru muncul dalam situasi serius. Itu artinya, aku enggak main-main kali ini.

"Apa masalah kita, Nya?"

"Sudah nggak coc--"

"Mainstream!" hardiknya. Membungkamku telak.

Celaka! Seharusnya kusiapkan alasan anti-mainstream tapi tetap logis. Apa pun jawabannya nanti, enggak boleh terkesan mengarang bebas dan mengada-ada (meskipun konteksnya masih berbohong).

"Hmm..." lanjutku masih berpikir. "Hmmm---"

"--Killa hadzil ard." Kan! Gaga langsung menyingkronkannya dengan lagu. "Mataqfii masahah...."

Sebelum senda guraunya makin menjadi-jadi. Sebelum ini akan menjadi sia-sia. Kuutarakan apa saja yang melintas di kepala, "Ga, sejujurnya, setahun ini aku hilang rasa ke kamu. Sudah kerja keras supaya hati normal lagi. Tapi, setiap hari malah makin pudar. sampai akhirnya...."

Kami betukar kerlingan. Aku lega karena prolog alasanku lenyapkan bintang-bintang jail di mata Gaga. Mood bercandanya hilang.

Kukeraskan suaraku untuk kalimat pamungkas, "Aku udah nggak cinta lagi. Maaf."

Bibir Gaga mengatup. "Kamu ... ngomong apa, Nya? Itu kedengarannya cuma wik wik wik wik wik di kupingku." Gaga bangkit. Segera meraup kunci motor di atas meja. "Besok, saat aku jemput, pastikan otak kamu udah pulang yah, Nya. Jangan kejauhan jalan-jalannya."

Gaga pergi setelah merusak cepolan rambutku hingga terurai kembali. Dia beruntung karena aku kehilangan hasrat untuk memuntir jari jailnya. Kubuntuti punggung itu. Area favorit yang--entah berapa ratus kali siap sedia kutempeli--sampai hilang dari pelupuk.

Otakku masih di tempat yang sama, Ga. Yang ingin jalan-jalan justru hatiku. Gimana, dong? 

JodohpediaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang