[ CHAPTER 3 ]

3.7K 278 27
                                    

Bangunan bertingkat dengan dinding dilapisi kaca. Pohon-pohon rindang, bukit, pegunungan, terpampang nyata di depan mata.

Biru memandang semua itu dengan sumringah. Ia merasa belum pernah kesini sebelumnya, semuanya benar-benar terlihat menakjubkan.

Sedari kecil, Biru hanya melihat gedung-gedung tinggi di Jakarta. Jihoon sangat jarang mengajaknya ke daerah pedesaan seperti ini.

" Ini beneran punya appa villanya?" tanya Jihoon tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari pemandangan di depannya.

" Iya, appa ngebangun ini udah lama. Biru pernah kok kesini waktu kecil. Gak inget ya?"

" Masa sih? udah lupa kayaknya."

" Ya udah, Biru ke dalem duluan aja. Ini semua biar appa yang bawa."

" Eh? Biru bisa bantuin kok, appa mau Biru bawa yang mana?"

Jihoon lagi-lagi hanya mengusap kepala Biru pelan, " Masuk aja, ini tugas appa semuanya."

Biru sebenarnya sangat ingin membantu appanya, namun sedari dulu, Jihoon memang seperti itu, tidak pernah mau melibatkan Biru dalam hal sekecil apapun. Namun, ia tak ambil pusing dan segera mematuhi appanya.

Biru masuk ke dalam villa tersebut dan disambut oleh beberapa pelayan yang berjejer rapi di pintu masuk.

" Hai!" dengan polos, Biru melambai-lambaikan tangannya ke pelayan-pelayan itu.

Itu membuat para pelayan bingung dan akhirnya hanya mengangguk sopan.

" Biru, ayo masuk cepetan." Jihoon masuk dengan membawa barang-barang mereka untuk dua hari kedepan.

Begitu Jihoon masuk, para pelayan dengan gesit membantu membawakan koper dan barang lainnya.

" Wah.." Biru terkagum begitu dirinya masuk ke dalam kamar utama.

Kamar itu didominasi warna putih dan dinding yang berada di depan kasur full kaca, sehingga pemandangan bukit-bukit dan pegunungan terlihat jelas dari sana.

" Biru suka?" tanya Jihoon sambil menaruh beberapa koper di dekat kasur.

" Em.." Lelaki empat belas tahun itu mengangguk.

" Disini cuma ada satu kamar. Biru gak keberatan kan kalo sekamar sama appa?"

" Enggak kok." jawab Biru.

Jihoon lega, sebetulnya ia sedikit khawatir karena kamar disana hanya satu. Akhir-akhir ini, Biru sudah menunjukan gelagat 'puber'nya. Ia sudah malu untuk sekedar dipeluk oleh appanya, atau disuapi makanan.

" Ya udah, ini kan masih jam sembilan. Gimana kalau kita jalan-jalan di sekitar sini dulu?"

" Oke, appa turun duluan aja. Biru mau ke toilet dulu."

" Appa tunggu di bawah ya."

Biru masuk ke dalam toilet, ehm-- atau lebih tepatnya kamar mandi. Kamar mandi itu didominasi oleh bebatuan halus yang dijadikan dinding. Tidak ada lampu bohlam, hanya ada cahaya remang dari lilin di dekat wastafel yang menambah kesan elegan.

Setelah buang air kecil, Biru mencuci tangannya di wastafel. Namun, gerakannya terhenti ketika ia merasa kepalanya sedikit pening.

" Sshh---"

Ia menggelengkan kepalanya, berharap pusing itu menghilang. Benar saja, tak lama, rasa pusing itu hilang.

" Kayaknya karena kecapekan deh." batin Biru.

Tak ambil pusing, Biru segera mengeringkan tangannya dan turun menemui sang appa.

***

Don't be sad, Biru. ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang