HS - 01

1.5K 201 90
                                    

Chapter One : Come with me if you want to live

Setiap hari adalah hari yang buruk. Setidaknya itulah pendapatku jika ada yang bertanya tentang bagaimana hari-hari yang kujalani selama dua bulan belakangan ini.

Tak ada yang berjalan sesuai rencana. Tidak masalah pendidikan, ekonomi, ataupun asmaraku. Senuanya kacau, tak ada yang berjalan dengan mulus.

Semuanya dimulai sejak dua bulan yang lalu, ketika aku berhasil lulus dari Sekolah Menengah Atas. Aku mencoba mengikuti tes masuk Perguruan Tinggi impianku, namun gagal. Lalu mantan kekasihku juga mengakhiri hubungan kami dengan alasan jika ia ingin melanjutkan pendidikan di luar negeri. Dia berkata jika dia tidak yakin dengan hubungan jarak jauh dan berpikir akan lebih baik berpisah daripada memaksakan diri untuk terus menjalin hubungan yang menurutnya tak akan berhasil tersebut. Bagiku itu semua hanya omong kosong. Dia bahkan belum mencoba, tapi sudah sangat yakin kalau hubungan kami tak akan berhasil. Meskipun sempat sakit hati, aku cukup bersyukur karena akhirnya bisa mengetahui jenis lelaki macam apa mantan kekasihku itu.

Seakan belum cukup sampai disitu, semuanya kembali diperparah dengan aku yang tak kunjung mendapatkan pekerjaan, yang mana menjadi permasalahan terbesarku saat ini. Jika ini terus berlangsung sampai akhir bulan, aku mungkin harus kembali tinggal bersama orangtuaku dan bergantung pada mereka. Padahal, aku dan sahabatku Jinri sudah sejak lama merencanakan untuk menyewa apartemen dan tinggal bersama setelah kelulusan.

Jika tak ada satupun rencanaku yang berjalan dengan lancar, Jinri malah sebaliknya. Dia pada dasarnya memang tidak pernah berniat melanjutkan pendidikan setelah SMA, sehingganya dia tak perlu merasakan pahitnya gagal dalam tes masuk Perguruan Tinggi seperti yang kualami. Hubungan asmaranya juga berjalan dengan sangat baik. Kekasihnya bahkan yang memberinya pekerjaan sebagai sekertaris pribadi di kantor milik lelaki itu.

Aku tak bisa mendeskripsikan seberapa irinya aku terhadap Jinri. Dia benar-benar beruntung.

"Kau yakin tidak mau mencoba bekerja di sini saja, Jung? Aku yakin Choiza Oppa pasti bisa mencarikanmu posisi yangㅡ"

"Jinri, itu sama sekali tidak perlu," potongku tanpa sedikitpun bermaksud tidak menghargai bantuan yang ditawarkannya. Sembari memberinya senyum terbaikku, aku melanjutkan, "Aku yakin kalau diakhir minggu ini aku pasti akan mendapat pekerjaan. Dan bisa kupastikan kalau kau akan menjadi orang pertama yang kutraktir saat gaji pertamaku turun."

Saat ini kami sedang berada di sebuah kafe dekat kantor Jinri. Tempat terakhir yang kukunjungi untuk melamar pekerjaan tak begitu jauh dari sini, sehingga aku berinisiatif untuk mengajak Jinri makan siang bersama. Dan selesai menyantap makan siang, aku menceritakan pada Jinri apa saja yang kualami hari ini atas permintaannya.

Jinri menaruh tangannya di atas tanganku dan mengusapnya. "Kau tahu kau tak perlu merasa sungkan padaku, kan?"

"Memangnya kapan aku pernah sungkan padamu, Jin? Ingat ketika aku menghabiskan hadiah valentinemu tanpa ijin dulu?" balasku, setengah bergurau. Jinri hanya tertawa kecil.

Aku biasanya memang tidak terlalu sungkan pada Jinri, mengingat dia adalah sahabatku sejak Sekolah Menengah Pertama. Tapi akhir-akhir ini, aku telah banyak merepotkan Jinri. Dialah yang membayar sewa apartemen kami untuk dua bulan sebelumnya dikarenakan aku tak kunjung mendapat pekerjaan. Dia juga yang lebih banyak menyumbang untuk apartemen kami;  barang-barang vital di apartemen kebanyakan adalah milik Jinri. Kami mungkin sudah sepakat untuk tidak mengungkit kepemilikan atas barang-barang yang ada di apartemen kami, tapi tetap saja ada kalanya aku merasa terlalu membebani Jinri.

"Ngomong-ngomong, apa kau keberatan kalau aku mengundang Choiza Oppa ke apartemen kita malam ini? Hari ini ada mensiversary kami, dan kami terlalu malas untuk reservasi restoran, jadi..."

Juvenile's BookTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang