Momen yang tak terlupakan!

14 0 0
                                    

Hari ini, mungkin aku dapat hukuman dari sang maha pencipta. Entah kenapa aku bisa berpikir sejauh itu. Bagaimana tidak, rasanya masalah selama PPL ini datang bertubi-tubi bagai guyuran hujan, awet dan entah kapan akan berhenti.

Sampai membuatku menjadi manusia yang kebal, sulit untuk merasakan rasa sedih lagi dan berhenti menjadi manusia yang dramatis yang penuh kepura-puraan.

Tapi Allah tidak memberi kita cobaan diluar batas kemampuan kita. Aku percaya, Allah tahu aku kuat dan mampu untuk melewati semua ini.
Seharusnya hari ini acara kami berjalan lancar, tapi begitulah manusia. Hanya bisa berencana, Allah yang menentukan segalanya. Acara pagi yang dipercayakan kepada kami untuk mengisinya selama bulan November ini. Lomba Tahfidz, yang dipersiapkan dengan sangat-sangat matang. Harus ditiadakan karena kelalaian dan ketidak disiplinan kami.

Terlambat datang dan membuat siswa, wakil kesiswaan bahkan kepala sekolah Aliyah yang tidak ada hubungannya dengan kami pun turut menunggu dan hadir untuk kelancaran acara.

Dengan gaya sok cool ku, aku memasuki pagar asrama putri seakan-akan tidak melakukan kesalahan.

Baru saja menghirup udara dengan tenang, menjadi sangat khawatir melihat raut wajah kedua teman sesama PPL ku yang panik. Aku hendak bertanya, tapi belum sempat keluar dari mulutku. Kepala sekolah Aliyah memanggil kami dan menegur keras kami berenam.

"Kalau  kalian tidak bisa bertanggung jawab dan tidak sanggup membuat acara tidak usah sok-sokan! Bukan kami yang menunggu kalian. Kalian mahasiswa! seharusnya sadar bahwa disiplin waktu itu penting." Dengan raut wajahnya yang sangat kesal kepada kami.

Aku terpelengak, pasalnya kepala sekolah Aliyah yang tidak ada hubungannya dengan kami justru beliau yang memarahi kami habis-habisan. Aku hanya menunduk dalam-dalam, karena melakukan hal bodoh ini lagi dan lagi.
"Sudahlah, pergi kalian!!!"
Kata beliau sambil berdiri hendak pergi.
"Maafkan kami ustadz."
"Pergilah!"

Karena rasa malu yang menggunung, aku memutuskan pergi ke perpustakaan. Aku hanya bisa memasang wajah tebal saat melewati santriwati-santriwati itu. Mungkin bisa dikatakan aku kabur, dengan meninggalkan ustadz Yuda seorang diri. Benar-benar keterlaluan
diriku ini.

Tanpa rasa bersalah, aku dan ketiga temanku menyibukkan diri dengan beratus lembar soal dan jawaban. Ada yang memotong kertasnya, ada yang menghitung jumlah soal yang akan dimasukkan ke amplop dan ada yang tidur-tiduran karena sakit.

Aku masih memikirkan hal tadi pagi, kami belum menemui ustadz Yuda karena malu, lebih tepatnya takut.

Tapi aku tidak bisa berlarut-larut karena harus masuk kelas, rasanya aku ingin menghilang sementara. Sebab, aku tidak tahan mendengar pertanyaan dari para santriwati. "Kenapa acara lombanya tadi ditiadakan ustadzah?" Ini pertanyaan yang lebih sulit dari apapun. Aku hanya tersenyum dan mengalihkan.

Tepat jam 13.48, kami mendapat wa dari wakabid kurikulum--Ustadzah Marni. Beliau meminta kami untuk segera menyelesaikan urusan kami dan jangan menunda-nunda dalam menyelesaikan.

Aku yang baru saja kembali mengajar dari kelas VII Aisyah, heran melihat teman-temanku berada di luar perpus. Jadi aku terburu-buru karena barangku masih ada yang tertinggal di dalam. Mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB, artinya saatnya pulang.
Saat aku hampir sampai mereka berkata, "ustadz Yuda nungguin kita loh, Dil" kata salah satu temanku.
"Beliau duduk depan meja piket sambil melihat-lihat kesini." Sambungnya.

Jadi kamipun segera pergi menemui beliau yang sibuk mengatur santriwati yang piket di dua kelas. Jujur aku agak takut, takut beliau masih marah pada kami. Kesalahan kali ini benar-benar fatal.

Kami melihat beliau ke luar dari kelas IX Fatimah menuju ke IX Aisyah. Aku memberanikan diri dan melangkah memasuki kelas.

"Ustadz," panggilku.
"Iya, kenapa?" Kata beliau dengan nada lembut tanpa senyum khasnya.
"Begini ustadz..." Sebelum aku melanjutkan kalimatku, beliau menyuruh kami duduk.
"Ada apa?"

Aku tidak henti-hentinya memegang ujung jilbabku dan memilinnya. Berharap itu bisa mengurangi gugup dan ketakutanku.

Aku menatap beliau sebentar dan dengan bodohnya tanpa sadar menyunggingkan senyum. Aku segera menunduk dalam-dalam menyadari kesalahanku.

"Maafkan kami atas ketidakdisiplinan dan ketidak tanggungjawab kami, ustadz." Jelas ku dengan suara pelan.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan." Ujar beliau sambil menghitung jam ditangannya dengan jari telunjuk.
"Sembilan jam saya menunggu kalian, tapi tidak ada satupun yang menemui saya. Jujur saya kecewa sekali. Saya tahu, saya juga salah. Seharusnya saya juga lebih memperhatikan dan bertanggung jawab atas kegiatan kalian. Tapi nasi sudah menjadi bubur." Ucap beliau dengan nada sarat akan kekecewaan.

Sofie yang berada tidak jauh dariku mulai sesenggukan. Dan beberapa dari kami hanya menunduk dalam-dalam menyesal. Aku hanya diam, tidak berani bersuara lagi. Tanpa kata kami semua sepakat mendengarkan apa yang diucapkan oleh Ustadz Yuda.

"Saya juga malu sama anak-anak santri. Mereka sudah menunggu tapi ternyata acara yang dinanti malah ditiadakan dan saya sudah seperti orang bingung. Tidak tahu harus ngapain."

Ini salahku, ini semua salahku. Batinku.
"Maaf ustadz." Hanya itu yang bisa kukatakan.

"Setiap kesalahan ada konsekuensi nya kan? Dan di sekolah kita ini, disiplin diutamakan. Tapi kesempatan yang kalian dapat, justru disia-siakan. Dengan berat hati, kami dari pihak sekolah meniadakan acara kalian."
Tegas beliau.

Bagai petir di siang bolong, pikiranku tiba-tiba kosong. Perutku melilit ikut merasakan ketakutan. Atmosfer dalam kelas berubah. Benar-benar tidak mengenakkan. Apalagi membuat kesalahan berulang kali. Rasanya aku ingin menangis tapi tidak bisa, karena stok air mataku sedang habis. Sementara Sofie semakin sesenggukan. Membuat rasa bersalah semakin menyelimuti ku.

"Tapi jangan pula gara-gara ini kalian gak negur saya lagi. Dimana pun dan kapanpun itu, hubungan kita tidak terganggu karena masalah ini. Jadi saya harap kalian bisa tegur sapa saya seperti biasa. Bisa?" Sambung beliau, kali ini dengan senyum khasnya walau tidak selebar biasanya.

"In Sya Allah ustadz." Jawab beberapa dari kami.

Ustadz Yuda melirik arlojinya. "Sudah, tidak usah berlarut-larut. Sekarang pulanglah."

"Baik ustadz, sekali lagi kami mohon maaf dan terima kasih, ustadz." Sambil menunduk, lalu segera menyusul teman-teman PPL yang sudah duluan meninggalkan tempat yang menjadi saksi bisu percakapan kami hari ini.

PPLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang