(A)E: 18. Menyergap Kegelapan

496 52 7
                                    

Budayakan vote 🌟



(A)bout EL: 18. Menyergap Kegelapan










Tidak ada rembulan dari celah sempit ini, hanya bau tanah dan besi berkarat yang mengusik penciuman. Malam pun ikut berduka atas kengerian yang terjadi. Tidak ada ampun bagi hati yang mulai lelah.

Membisu, bahkan suara binatang malampun terisolir dari tempat ini. Sepanjang mata melihat yang ada hanya kegelapan, menenggelamkannya dalam kesakitan.

"Tuan Nata benar-benar tidak berbelas kasih, aku dengar seluruh pekerja istana yang dipilih Kaisar sebelumnya sudah dibantai habis."

Sivia mendongak dari posisi meringkuknya, dengan terseret ia mendekati jeruji besi. Menggapainya dengan susah payah berusaha mencuri dengar. Dia ingin mendengar kabar tentang semuanya, apapun itu ia ingin mendengarnya.

Dua penjaga itu nampak bercakap, dengan posisi tidak jauh darinya. Tepatnya didekat obor yang menjadi satu-satunya sumber cahaya disini. "Ya, Tuan Nata benar-benar hebat."

'Apa hebatnya iblis itu?' Sivia tersenyum miris mendengar omong kosong itu.

"Kau tahu siapa yang dikurung disini?" Meliriknya, penjaga itu tampak menilai.

Sivia sudah hancur, tidak perlu melihatnya dengan rendah seperti itu.

Yang satunya juga melihatnya dengan mencemoh, "Simpanan Tuan Nata saat menjadi Kaisar."

Simpanan, ya?

"Aku heran kenapa dia tidak ditempatkan bersama keluarga kerajaan yang lain."

Menggaruk pipinya, penjaga itu menguap dengan keras, "Dia mengandung, mungkin untuk menjaga perasaan Nona Lula Tuan Nata memberikan isolasi khusus untuknya. Keberadaannya juga sangat mengancam, bayinya pasti akan mengancam masa depan Nona Lula dan Tuan Nata."

Menepuk pundak temannya, penjaga itu tampak tidak percaya, "Aku kira kabar burung itu tidak benar. Aku tidak percaya, sebentar lagi anggota sullybor akan menjadi permaisuri negeri ini."

"Ya...ya...ya," jawabnya sambil lalu, "Aku lebih tidak sabar saat sullybor mengambil alih negeri ini. Pastinya akan menyenangkan. Kau tahu? Aku lelah terus menerus dikejar istana dan bersembunyi dihutan."

"Berjayalah selalu Tuan Nata yang membawa kita pada kemenangan."

"Langit akan mengutuk iblis itu!" Sivia tidak dapat menahan mulutnya untuk mengumpat. Bara api susah terlanjur tersulut mendengar nama Alvin yang begitu dipuja-puja.

Penjaga itu berdiri tegak dan menunjuknya dengan tangan teracung, "Mulut hina sepertimu tidak pantas menyebut namanya. Sudahkah kau sadar seberapa rendah derajatmu?"

"Tidak serendah kalian tentunya." Sivia tersenyum miring.

Begitu cepat, salah satu penjaga melesat kearahnya dan mencengkram baju depannya dari sela-sela jeruji, "Akupun bisa langsung menghabisimu disini. Mungkin Tuan Nata sempat tergoda oleh kemolekanmu. Tapi, kami? Selama menjadi anggota sullybor, kami memiliki seribu satu hal penting yang harus difikirkan daripada memikirkan wanita."

Mencemooh, Sivia menggenggam tangan yang hampir mencekiknya, ditatapnya bengis pria itu, "Melakukan kejahatan disana-sini, membawa rakyat dalam penderitaan. Itukah hal yang kau sebut penting? Omong kosong, kalian tidak lebih hanya penyakit di negeri ini! Pembawa musibah!"

"Oh, benarkah?" Tangan penjaga itu merambat naik dan mencekik lehernya, menariknya kuat sampai wajahnya menghantam besi berkarat, "Wanita penggoda juga penyakit masyarakat, haruskah sampah sepertimu dibiarkan hidup di tanah Alenta yang suci ini?"

"Je...las-jelas. Ka...kalian lah yang sam...pah!" Organ pernafasannya seakan tersumbat, Sivia memberontak dan memukul lengan kokoh itu.

"Ha..ha...ha, MATI!" Penjaga itu tersenyum keji melihat Sivia yang mulai pucat.

"Hei sudahlah, tidak penting meladeninya. Pelayan membawakan kita makan di luar, aku lapar." Menepuk pundak temannya, penjaga itu menghentikan aksi gila tidak beradab itu. Sivia tergeletak dilantai sambil mengais udara untuk mengisi paru-parunya.

"Aku tidak sabar melihatmu dan bayimu di eksekusi, jalang!" Berdiri dengan sombong, penjaga itu membalikkan tubuhnya dan pergi.

Tergeletak, Sivia tersenyum miris. Jemarinya mencakar kuat tanah yang menjadi alasnya. Tidak ia pedulikan lagi kukunya yang indah kini tampak menjijikkan. Dipukul-pukulnya tanah itu dengan kuat disusul isakan yang keluar dari bibirnya.

Rasanya dia tidak sanggup untuk bertahan.

Berbagai penyesalan langsung menyergapnya. Andai dia tidak datang ke tempat ini, andai dia mendengarkan Neneknya untuk tidak datang kesini. Andai dulu dia tidak gegabah dan memikirkan cara lain untuk menyelamatkan Keea.

Andai! Andai! Andai!

Air mata sudah terlanjur keluar, waktu tidak bisa diulang, dan penyesalanlah yang kini telah datang. Sivia menangis dalam kegelapan, otaknya penuh, dan ia tidak sanggup lagi untuk bertahan.

Godam terlanjur memukulnya dengan keras, matanya mulai mengabur dengan sisa kekuatan untuk bertahan.

Dan saat kegelapan mulai menimangnya, sapuan lembut begitu terasa dirambutnya. Mendinginkan rasa panas yang tidak berhenti membara. Begitu lembut dan membuainya, mengiringi dirinya dengan ucapan saat kegelapan tanpa ampun sudah menariknya.



"Malam tidak berlangsung selamanya, dan saat sang surya datang sambutlah ia dengan senyuman."

Siapa?

"Berlindunglah dibalik kegelapan."


Bisikan yang mengganggungnya, sial saat matanya tidak mampu terbuka. Dia terlalu lelah. Benar, kegelapan akan membiarkannya istirahat sekarang.











***
Tbc

Vomment jangan lupa!😅 kurang rajin apa coba aku up 🙌 typo dll mohon dikoreksi.

Danke
Nuri Apori

(A)bout EL √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang