Taehyung mengerjabkan matanya dengan berat hati. Kepalanya pening. Ia sulit bernapas. Jemarinya mati rasa.
Taehyung melirik ruangan asing di hadapannya dengan lirikan mata. Mendapati ruangan itu tak ada orang selain dirinya, Taehyung mengulas senyum lega.
Kriet!
Nyatanya, kelegaan itu hanya berlangsung sejenak. Luna masuk kesana. Memandang Taehyung dengan tatapan luka. Mata bulannya bengkak parah seperti habis menangis.
Taehyung mencoba memanggil Luna, tapi tenggorokannya kering kerontang. Luna mendekati kasur pesakitannya, mengulas senyum tipis yang Taehyung tahu itu timbul karena terpaksa.
"Tae, sudah siuman? Aku panggilkan dokter, ya?" Taehyung sekuat tenaga menggeleng, walaupun hasilnya hanya gelengan lemah.
"Kau harus diperiksa, Tae."
Setelah mencoba merelakskan otot tubuhnya, pria itu bisa bergerak. Tangannya yang dibalut perban meraih jemari Luna, menahan wanita itu pergi.
"Na, kau sudah tahu, kan?" Bibir pecah-pecahnya berucap pedih. Luna menghindari kontak mata mereka. Taehyung tersenyum penuh luka.
"Maaf karena tak memberi tahumu, Na." Penuturan Taehyung membuat air mata Luna tumpah ruah. Taehyung berbisik lirih, "Jangan. Jangan menangis."
Luna mengintip Taehyung di balik bulu mata. Hatinya dihantam sesak begitu parah saat mendapati kondisi pria itu yang mengenaskan.
Kepalanya diperban, tubuh bagian atasnya yang terbalut piyama rumah sakit kelihatan dibelit perban di baliknya, Tangan dan lengan juga dibebat dengan perban.
Ia sudah seperti mumi saja.
Jangan lupakan memar-memar di wajah pria itu. Luna balas menggenggam tangan Taehyung.
Walaupun kondisi Taehyung sedang buruk rupa, bagi Luna, Taehyung selalu tampan. Taehyung selalu jadi pangeran tampannya.
"Ba-bagaimana bisa kau menyimpannya sendiri, Tae?" Tanya Luna memandang prianya sendu. Air mata masih tumpah dari kelopak matanya.
Taehyung terdiam. Bibirnya bergetar karena kesedihan luar biasa. Lebih baik ia sekarat saja ketimbang melihat bulannya menangis hebat seperti sekarang.
"JAWAB, TAE! KENAPA MENYIMPANNYA SEORANG DIRI?!" Luna memekik begitu keras hingga wajahnya memerah.
"Na, aku hanya tak ingin kau terluka."
Luna menatap tak percaya. Ditepisnya tangan Taehyung, menolak interaksi dengan pria itu.
"Apa kau sadar bahwa perbuatan sok pahlawanmu itu malah membuatku semakin terluka, Tae? Sakit. Rasanya sakit sekali disini," ujar Luna dengan nada tinggi.
"Maaf, Na. Kau boleh membenciku seumur hidupmu, tapi jangan suruh aku untuk berhenti mencintaimu. Aku tak sanggup," ucap Taehyung dengan pipi yang basah karena air mata.
Luna menjauh, memilih duduk di sofa pojok ruangan. Memandang Taehyung tajam. Ia marah. Marah besar.
"Kau pikir aku bisa membencimu, Tae? Jangan bercanda. Sampai kau matipun, hanya kau yang ada disini, di hatiku. Kau pikir rasaku tak sebesar rasamu?"
Taehyung tertawa parau. Kedengaran sekali dipaksakan. Ada rasa sesak, sakit, dan nyeri di hatinya. Ia melukai Luna begitu banyak. Ia memang lelaki bangsat.
"Na, tolong jangan bahas kematian. Aku takut," cicit Taehyung sembari memandang Luna. Netranya berkaca-kaca. Tubuhnya terasa remuk tak bernyawa. Taehyung tahu, ia benar-benar sekarat sekarang.
Luna melunak. Ia mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak air mata disana.
Taehyung tersenyum kecil saat Luna mendekatinya lagi. Jemari lentik itu bermain di rambut kering Taehyung.
"Kita lewati ini bersama. Aku tahu kau kuat, Tae. Kuat sekali. Jadi, kumohon bertahanlah sampai akhir." Luna memegang pipi Taehyung dan memberi kecupan di bibir pria itu.
Air matanya mengenai wajah Taehyung. Taehyung tak bisa menahan rasa yang bercampur aduk saat ini. Mereka sama-sama menangis dalam diam.
...
"Ba-bagaimana bisa?" Jungkook terlihat begitu syok saat menjenguk hyungnya. Pemuda Kim itu terlelap setelah menghabiskan makan malam dan obatnya. Menyisakan Luna dan Jungkook yang duduk berhadapan di sofa dan kursi.
"Aku terkejut saat tahu ia dipukuli. Namun, rasanya hampir mati saja saat mendengar dari dokter bahwa ia mengidap komplikasi karena narkoba." Jungkook menganga. Menepuk bahu Luna menguatkan.
"Hyung bangsat itu sudah kuperingatkan untuk tak menyentuh barang haram. Sialan! Kenapa ia tak mendengarkan?!"
Luna menunduk dalam. Menghembus napas berat.
"Itu pelariannya, Jung. Ia selalu cemas akan banyak hal. Aku juga sering mengingatkannya, tapi dia bebal. Ka-kalau saja aku lebih tegas, pasti takkan seperti ini." Luna menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Kepalanya pening. Ia lapar karena belum makan siang dan malam.
"Semua sudah terjadi. Tak mungkin penyakit-penyakit itu bisa langsung pergi dalam sekali libas. Butuh bertahun-tahun, dan kondisi hyung yang begini takkan mampu melakukan pengobatan."
Luna mengiyakan, walaupun hatinya menjerit untuk berontak. Ia ingin Taehyung berjuang sekuat tenaga, ia ingin Taehyung tak pergi.
Ia tak mau sendiri. Hanya Taehyung yang ia punya di dunia ini.
Netranya memandang dalam sosok yang terbaring lemah di atas ranjang itu. Nasib mereka memang tak pernah mujur.[]
So, udah tahu kan nasib Taehyung akan seperti apa ke depannya? :"))
Taehyung yang menderita cuma ada disini kok, di dunia oren. Dan semoga di kehidupan nyata, Taehyung selalu melewati jalan berbunga. I wish💜 A-taesthetics
KAMU SEDANG MEMBACA
мσση αη∂ ηιgнт.✔
Fanfic[ тαεнүυηg's sρεcιαℓ вιятн∂αү ρяσנεcт ] tαєhчung punчα duα вulαn. tαpí, чαng sαtu khusus untuk dírínчα. pun sínαrnчα tαkkαn pєrnαh pαdαm wαlαu mαlαm hílαng dígαntíkαn fαjαr. lunα nαmαnчα. вulαnnчα. Started on December 16, 2018. Finished on December...