Terlalu Kias

124 7 0
                                    

Tepat di ulang tahunku yang ke 21. Pawas memberiku sebuah kado kecil, sebuah catatan kecil yang masih kosong. Air mataku tiba-tiba menetes. Aku merasa bersalah karena telah memutuskan hubungan dengannya.

Masih teringat pertama kali aku berjumpa dengan dia. Kulitnya putih, kurus dan tinggi. Bibirnya tipis seperti orang-orang Korea, yah layaknya artis debut. Hidungnya  mancung tapi dia tak pernah bicara sepatah katapun jika memang tidak penting. Dia sangat mahir berbahasa, bahasa Inggris, Jerman, Jepang, Mandarin.

Sebulan aku mengenalnya, entah bagaimana dia menjadi milikku. Pawas, jika aku mengingat masa itu, sungguh aku adalah wanita yang paling beruntung. Aku hanyalah wanita biasa, wajahku tak terlalu cantik, tapi mungkin aku memang manis. Begitu kata orang-orang. Dua tahun lamanya aku menjalani hubungan denganmu. Dan tidak pernah aku merasa jemu bertemu denganmu.

Kamu berbeda dengan yang lain. Kamu dingin namun penuh perhatian, dan perhatianmu tak pernah kau bagi kepada yang lain kecuali ibu bapakmu. Ah.. wanita mana yang tidak bahagia mendapatkan perhatian khusus seperti yang kurasakan. Pria tampan, pintar berbahasa, dan pandai menyanyi. Namun diantara semua itu ada satu hal yang paling kusukai, kau taat pada agama.

Aku masih ingat, di warung itu, warung kecil bercat biru diantara dua pohon besar, kau mengatakan suka padaku tanpa beban. Dan disanalah tempat kita memulai cerita.
"Kin, aku menyukaimu"
Aku hanya terdiam, tak berkata. Seolah dalam mimpi yang tak ingin terbangun kan.
"Kin, aku menyukaimu"
Aku masih tak berkata. Digibaskan tangannya tepat didepan wajahku yang masih melamun kegirangan.
"Hey, apa kau mendengarku?"
"Ah, iya. Tentu, tentu"
"Tentu apanya?"
"Yah, tentu"
"Kin, tentu apanya?"
"Yah, tentu"
"Maksudnya? Jadi kau suka aku atau tidak?"
"Iya, tentu aku suka kamu"
Kulihat senyum tipis di bibir tipisnya. Aduh, serba tipis tapi dompet tebal. Pawas adalah anak pengusaha dan ia pun seorang pengusaha. Sejak SMA dia sudah mulai berbisnis dengan berbagai orang di belahan negara yang lain.
Januari, hari itu pawas ulang tahun yang ke 21, aku dan dia hanya berselisih satu tahun. Ada sedikit rasa malu ketika aku memberikannya sebuah kado dan kejutan. Dia adalah anak orang kaya, sedang aku tak punya apa-apa. Aku hanya melukis wajahnya di kanvas putih dengan warna yang muda dan sedikit kejutan kecil di tepi danau.
Malam hari itu aku mengajak Pawas ke tepi danau. Disana sudah kusiapkan sebuah panggung kecil dihiasi lampion-lampion kuning, merah, dan hijau muda. Aku memintanya duduk didepan panggung. Aku menyanyikannya sebuah lagu kecil diiringi gitar yang dipetik sendiri. Suaraku memang tak terlalu bagus, tapi cukup enak untuk di dengar. Didepan meja Pawas aku sudah siapkan lukisan itu. Dan aku memintanya untuk membukanya setelah aku selesai menyanyi.
"Terimakasih Kin, aku sangat menyayangimu"
Tak ada pelukan, tak ada sebuah ciuman. Itulah yang membuat dia berbeda dengan yang lain, meski wajahnya seperti orang playboy, tapi dia sangat menghormati kesucian seorang wanita. Dia hanya memegang pundak ku dan menatap haru padaku. Ah,,, Pawas kau memang yang terindah.
"Kin, apakah kau mau menunggu lima tahun lagi untukku lamar?"
"Lamar?"
"Yah, aku ingin melamarmu, bisakah kau menungguku selama lima tahun lagi?"

Aku tak menjawab, tiba-tiba air mataku jatuh begitu saja. Ah Tuhan, aku sangat bahagia. Sungguh bahagia. Diusapnya air mataku, dan kulihat kini Pawas tersenyum, seperti tahu akan isi hatiku.

"Baiklah Kin, hari sudah terlalu malam, mari kuantar kau pulang"

Aku berada di universitas yang berbeda dengannya. Yah kala itu aku masih berumur 20 tahun, semester akhir jurusan seni. Aku mendapatkan beasiswa untuk kuliah disana. Sedang Pawas sendiri adalah lulusan S1 manajemen. Ah, malam itu sangat indah dan yang terpanjang.
Setiap hari, dalam lamunanku. Aku selalu membayangkan bagaimana keluarga kecilku nanti bersama Pawas.
Namun, semua tak seperti yang direncanakan.

Tepat satu tahun berlalu setelah kelulusanku. Ayahku membawa seorang pria agak tua datang ke rumah. Dia adalah Saiman. Pria berumur 38 tahun. Ayahku dengan santainya berkata padaku tepat dihadapan seluruh keluarga yang tengah merayakan ulang tahunku.
"Kin, aku akan menjodohkanmu dengan Saiman, dia adalah anak sahabat ayah. Karena itu aku harap kau tak menolaknya".

Aku terdiam, tak berkata apa-apa,

'tak menolaknya?! Bagaimana dengan mimpiku? Bagaimana dengan lima tahunku? Bagaimana dengan Pawas? Bagaimana dengan rencana yang sudah berlalu satu tahun? Bagaimana penantian ku yang telah satu tahun?'.

Aku tak menjawab pertanyaan ayahku, aku berlari ke kamar dan mengunci pintu menangis sekencang-kencangnya didalam hati. Ini adalah ulang tahunku, haruskah aku bersedih di hari ulang tahunku sendiri?

Hp ku berdering,

"nomor baru?' gumanku.

Masih dengan Isak tangis. Aku terkejut mendengar suara dibalik gawai ini.
"Assalamualaikum Kin? Selamat ulang tahun"
"Pawas? Itukah kamu?"
"Haha, iya. Maaf aku baru pulang dari Amerika"

Bagaikan ditampar dengan tangan membeku. Aku bingung setengah mati. Ingin rasanya aku bunuh diri saja, atau melarikan diri dari rumah. Pawas, bagaimana aku mengatakannya padamu? Akankah kau datang menjemputku dan membawaku kabur dari rumah??

"Pawas, kemana saja kau"
"Kenapa Min? Kau menangis?"
"Jawab aku"
"Aku minta maaf, aku bekerja di Amerika"
"Lalu!"
"Lalu?, Apa maksudmu? Apakah baik-baik saja?"
"Apa kau pikir aku baik-baik saja?"
"Kin, hey... Kenapa kamu? Kamu menangis? Cerita padaku"
"Yah aku menangis, apa dengan aku bercerita padamu kau akan melakukannya?"
"Melakukan apa?"
"Bisakah kau membawaku lari dari rumah?"
"Apa?? Kau kenapa?"
" Pawas.. aku dijodohkan!!"
"Apa katamu?"
"Aku di jodohkan!!"

Aku tak kuasa menahan air mata dan keputus adaan. Kumainkan telpon tanpa menunggu jawaban Pawas. Tanpa sadar aku menangis hingga aku tidur terlelap.
Dibalik pintu rumah, ayahku mengetuk pintu. Aku memang pengecut, aku tak pernah berani berkata apa-apa. Pada akhirnya aku menyetujui perjodohanmu dengan Saiman. Pria tua ini.
Tepat di tahun berikutnya, Januari aku menikah dengan Saiman. Sungguh sangat pedih. Aku menikah tepat di tanggal aku bernyanyi di tepi danau diantara lampion-lampion. Yah aku menikah tepat di hari ulang tahun Pawas. Aku mengundangnya. Tapi aku tahu dia pasti tak akan pernah datang menemui ku. Aku sendiri sudah mengikhlaskan semuanya. Biarlah Pawas menjadi pemanis hidupku yang tak pernah bisa kulupakan dan aku hanya berharap semoga aku menikah dengan seseorang yang mampu membuatku merasa tak kecewa karena telah memilihnya.

#1

Terlalu KiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang