Aku Sudah Gila dan Aku Bahagia

62 4 0
                                    

"Kin, kamu yakin ingin menerimaku?"
"Kenapa baru saat ini kau bertanya seperti itu?"
"Yah, siapa tahu kamu terpaksa menerima"
"Emang"
"Apa? Serius? Jujur amat"
"Suruh siapa nanya"
"Jadi gimana?"
"Gimana apanya?"
"Kamu masih ingin lanjut menikah denganku?, Aku tidak memaksa loh.. toh aku sadar diri"
"Lanjut saja. Alhamdulillah deh kalo sadar, hehe"

Matahari sudah menampakkan diri, gemuruh sorak suara kegirangan terdengar. Paman lengser menggoyangkan pinggulnya ke kanan kiri. Adat Sunda menggiring dirinya padaku. Yah aku memang sempat kecewa dengan keputusan ayahku yang tiba-tiba saja menjodohkanku dengan pria tua ini. Menyebalkan bukan?

Pawas, pikirku kacau, Apakah aku salah memutuskan hubungan denganmu yang sempat membuat janji denganku untuk menikah lima tahun lagi. Ahh,, bukan lima tahun, tapi empat tahun lagi. Karena sudah satu tahun aku menunggu kabar darimu dan selama penantian itu sedikitpun tak ada kabar.
Kau datang dengan kabar ketika ayahku sudah berucap. Aku tak bisa menyalahkan ayahku yang tiba-tiba saja menjodohkanku, yah terlebih kini dia sudah tak ada. Pawas, apakah kau tahu? Aku menunggumu satu tahun tanpa kepastian. Aku mengunjungi tepi danau, tempat yang bersejarah itu setiap Minggu sore tiba. Namun sedikit pun batang hidungmu tak tercium olehku. Jadi kumohon pergilah kau dari bayangku dan ikhlaskan kepergian ku. Apakah aku salah dengan permohonan itu?

Kini aku berdiri bersama seorang pria bujang tua. Itulah pikirku saat ini. Tidak terlalu jelek untuk ukuran pemuda tanggung. Hidungnya mancung, rambutnya sedikit panjang dan berponi. "Gila, tua-tua juga gayanya kayak anak muda aja" gumanku dalam hati. Kulitnya agak coklat dan matanya bulat dengan bulu mata yang lentik. Pria cantik tapi tua. Ahh,,, apakah aku bisa hidup bersama dengan orang yang 17 tahun lebih tua dariku. Bisakah kau bayangkan?

"Umurku kini 21 tahun, berarti umurmu 38 tahun bukan?"

"Kenapa kau menanyakan hal itu saat ini? Bukankah kita sedang di panggung pelaminan? Kau bercanda? ngobrol hal seperti itu disini? Banyak tamu loh.."

Ahh. Aku lupa. Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Doni. "Saiman Doni Sanjaya". Pak Doni, karena dia sudah tua hahaha. Gaun merah dengan dekorasi putih dibalut coklat muda menambah anggun pesta pernikahanku. Semua ini Doni yang mengatur aku hanya mengangguk pada orang tua ini. Karena aku akui idenya selalu hebat dan itu menjadi pertimbangan ku menerima dirinya. Doni, badannya tidak terlalu tinggi tapi yah jika dibandingkan denganku tentu lebih tinggi dirinya, agak sedikit berisi dan bibirnya sama-sama tipis seperti Pawas. Jika Pawas seperti opa opa Korea, dia seperti wajah Arab bercampur Sunda. Jangan dibandingkan dengan Aron Ashab tentu saja dia lebih tampan karena dia masih muda.

"Tapi, jika begitu bukankah jika umurku 30 maka umurmu 47? Bagaimana jika umurku 40 dengan anak kita yang baru berumur 18 tahun apakah kamu masih hidup? Jangan pernah membuat aku jadi janda"

"Ya Allah neng, baru saja kita menikah, tamu saja baru pergi dari pesta, sudah doain saya mati"

"Bukan begitu, aku hanya berpikir saja"

"Yasudah kalo begitu, berpikir saja bagaimana kalo kamu yang mati duluan. Kalo aku yang mati duluan, kamu bisa menikah lagi karena aku menikah dengan gadis yang masih muda. Coba kalo kamu yang mati duluan? Aku jadi duda yang gak laku-laku, duda bangke, hahahaha"

Yah, inilah yang Kusuka darinya, tak pernah menanggapi perkataanku dengan kepala dan emosi yang panas. Santai dan humoris sangat jauh dari raut wajahnya, awal aku bertemu dengan dirinya.

Pawas, tentu saja dia tak datang kepelaminanku. Untuk kali pertama setelah setahun menghilang dia meneleponku disaat air mataku berlinang. Dua bulan dari sana aku memberikannya sebuah kartu undangan. Bukankah itu kejutan hebat? Dan kini aku menikah dengan orang lain. Doni. Tepat di ulang tahunnya yang ke 23. Januari. Selamat untukku dan selamat untukmu. Pawas. Semoga kau bisa melupakanku. Mungkin aku sudah gila karena sudah menerima perjodohan ini, tapi percayalah aku sedikit bahagia karena dia tak seperti apa yang aku pikirkan. Percaya saja pada apa yang terjadi maka kamu akan selalu bersyukur atas apa yang menimpamu. Aku percaya itu, dan aku percaya kehendak Tuhan.

"Kin, jika kamu menyesal menikah denganku yang tidak terlalu tampan seperti Pawas, maka kamu sangat merugi untuk sesalmu itu"

"Sejak kapan kamu membawa-bawa nama Pawas?"

"Sejak barusan. Nih yah, aku kasih fotoku waktu muda"

Ditunjukkannya foto Doni saat kuliah dulu. Setengah mati aku heran. Sangat tampan dan yah lebih tampan dari Pawas.

"Loh ko ini ganteng?"

"Iyalah, kan foto ini masih muda. Kalo Doni yang ada dihadapanmu saat ini adalah Doni yang sudah tua. Haha, kamu telat sih bertemu denganku"

"Gila, sempat-sempatnya nyalahin gw. Haha suruh siapa lahirnya terlalu cepat"

"Jadi jangan nyesel yah, karena aku juga sempat tampan. Tapi kamu tahu? Ah, sayang sekali dulu aku tidak memanfaatkan ketampananku ini dengan maksimal makanya aku nikahnya tua"

"Dan dapetin yang muda. Kamu enak sekali tidak memaksimalkan ketampanan. Coba aku, bukan tidak memanfaatkan ketampanan, tapi aku belum sempat memanfaatkan kecantikan. Baru aja mau, eh udah di lamar aja, sama yang tua lagi. Haha"

"Wah wah, kamu sudah berani yah"

Dicubitnya pipiku dengan gelagak tawa. Ah sangat manis namun penuh dengan tawa bukan berdebar rasa yang membuat canggung saja.

"Tapi jujur saja Kin"

Digenggamnya tanganku dan ditatapnya wajahku penuh keseriusan. Dan kebahagian itu berubah menjadi berdebar di dada.

"Terimakasih karena kamu menerimaku menjadi suamimu. Jika kamu tak mengatakan Ya saat itu, aku tidak akan menikah. Karena kamu adalah pilihanku yang terakhir."

Mataku terbuka lebar, terkejut dengan apa yang baru saja dia katakan. Untuk pertama kalinya aku melihatnya seserius ini berbicara padaku, dan apa ini? Air mataku menetes begitu saja diujung mata. Diusapnya air mataku olehnya.

"Apa ini? Kau menangis? Ahh.. aku tahu kamu pasti terharu kan, kan, kan?"
"Enak saja. Bukan. Ini kelilipan tahu!"
"Yehhh ngelak lagi"
"Sudah ah, aku mau tidur saja. Jangan ngobrol lagi"
"Haha, yah gitu deh kalo salah tingkah Pura-pura mulu, padahal bilang aja seneng."
"Udah ah, diem gak!"
"Siap bosku"
"Tua-tua ko menyebalkan"
"Tapi mengagumkan"
"Sudah berisik, berikan selimutku!"
"Selimbutmu? Selimbut kita"
"Bodo amat. Bay"

Mataku terpejam dan hatiku masih berdebar. Terimakasih Tuhan karena mendatangkan Doni. Meski awalnya aku kecewa pada-Mu, namun aku hanyalah hamba biasa yang tidak tahu rencana yang telah ada.

Terlalu KiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang