Pengantin Baru

35 3 0
                                    

Dia datang dalam hidupku. Ada rasa kecewa tapi kini aku sudah bahagia, meski rasa bersalah masih tetap dirasa. Pawas sekali lagi, maafkan aku.

"Mas Doni!"

"Hey.. jangan panggil aku Mas, oke?"

"Lho? Kenapa?"

"Aku bukan tukang bakso. Ah... Satu lagi, kau mau panggil aku apa?! Doni atau Saiman? Satu dong!, serakah banget."

"Bebas dong!"

"Wah... Ternyata nyonya Kinanti ini serakah orangnya, haha"

"Apa sih?!, garing tahu!!"

"Garing? Garing tuh makanan yang renyah kan?"

"Ah! Beda ya kalo bicara sama orang tua,"

"Tua? Hem... Tapi tampan kan?!"

"Sudahlah mas Saiman aku sedang tidak ingin bercanda. Jadi kapan kita pergi?"

"Tuh kan, tadi Doni sekarang Saiman"

"Sudahlah, jawab saja pertanyaanku"

"Pergi untuk bulan madu?"

Aku sedikit merasa tersipu mendengar kata itu. Aku hanya mengangguk. Sudah dua bulan setelah menikah kami belum juga pergi untuk bulan madu. Tapi ya sudahlah, aku juga tidak terlalu menyukai hal-hal seperti itu. Menggelikan jika dipikir-pikir.

"Kinanti, kau mau ikut denganku?"

"Kemana?"

"Ke WC!"

"Bodo amat! Sana pergi!"

"Hahahaha"

***

Sinar matahari sudah menampakkan diri. Bagiku pengantin baru tidak ada bedanya dengan pengantin lama. Sedikit rasa bosan kini menghantui.

"Kinanti, kau mau ikut denganku?"

Kulihat wajah Saiman, ah.. Doni, ah... Sudahlah sama saja! Basah oleh air wudhu, sangat tampan dan mendebarkan, serasa jantung ini meledak dan keluar darah dari hidung. Segar betul pemandangan ini. Hahahaha

"Hey! Kau malah melongo! Menjijikkan."

"Menyebalkan!"

"Jadi gimana? Kau mau ikut?"

"Kemana? Ke WC? Hah!?"

"Aduduh... Istriku yang tidak cantik ini marah"

"Mentang-mentang dirinya tampan!"

"Oh jelas!"

Dikibas rambut basahnya itu, dan ah... Sungguh segar pemandangan ini!

"Hey, jadi gimana? Kau ingin ikut denganku?!"

"Aku tanya, kemana?!"

"Ada deh... Rahasia!"

Hmmm

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, ya.. maklum saja orang tua ini selalu mengutamakan keselamatan. Kami berhenti di depan rumah yang cukup besar. Dan disana banyak sekali anak kecil yang berlalu lalang.

"Ehm... Mas Saiman, kau mengajakku ke panti asuhan?"

Dia tersenyum tipis. Manis.

"Yah tuan putriku, ini adalah rumahku."

"Apa?! Rumahmu?"

"Kamu terkejut sekali! Hahaha. Ayo keluar dulu, nanti aku ceritakan di dalam."

Apakah mas Saiman?

"Nah Kinanti, kenalkan ini Bu Sumiati. Dia adalah pemilik panti sekaligus ibuku"

"Maksudmu?"

"Ya, jadi ayah dan ibuku mendirikan panti asuhan ini sebelum aku lahir. Seperti pepatah orang dulu, kalo kamu sudah menikah dan masih belum punya anak itu berarti Tuhan belum percaya padamu, dan biasanya pasutri itu mengadopsi atau hanya sekedar mengurus bayi orang lain. Ya.. kurang lebih seperti belajar merawat sebelum memiliki. Dan jreng! Lahirlah aku kedua ini!"

"Ah... Seperti itu, apaan sih tiba-tiba bilang jreng! Buat apa coba?!"

" Haha, habis kau terlihat tegang"

"Lagian kamu buat aku bingung! Pake acara ngenalin ibu. Orang kita sudah menikah, ada ibu juga disana! Aku kira kamu..."

"Hahaha, ya... Agar supaya"

"Agar supaya! Gak banget deh kata-katanya"

"Sudah, sudah.. jangan berantem masih pengantin baru juga, nak Kinanti, Saiman, ayo kita makan dulu. Ibu sudah buatkan makanan kesukaan kalian"

"Ah.. ibu memang yang terbaik"

Dikecupnya kening ibu mertuaku. Saiman, kau memang istimewa dan sedikit misterius. Aku belum tahu banyak tentangmu tapi kau seolah tahu segalanya tentangku.

Terlalu KiasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang