1. Malam Minggu

77 10 14
                                    

Zona nyaman perlahan membunuhmu.

🌺 Dalam Tasbih 🌺

Angin malam tengah sapa gundahan hati. Gumpalan emosi, beban dalam pikiran, berontak keluar dari kotak kesabaran.

Bersama deru angin beradu dalam gelapnya malam. Keluh, kesah tertuang begitu saja tanpa diminta. Penat, ingin rasanya Zahra meledak. Bak air sungai yang terus mengalir, membiarkan dirinya terhanyut alur imajinasi.

Syaraf otak telah protes akibat lamanya bekerja. Bahkan, untuk sekadar tidur saja ia tidak sempat. Seakan hidup ini melulu tentang tugas yang sedang mengantre untuk dikerjakan.

Hari liburnya benar-benar sedang terancam. Kali ini, Zahra ingin sedikit mencuri waktu luang dengan membaca novel bergenre romance di kamar. Ya, tempat ternyaman baginya.

Karena mulai bosan dengan buku pelajaran tebal yang melelahkan. Sebut saja sebagai balas dendam akan hilangnya waktu santai selama ini. Sebagai balasan, ia ingin menyegarkan pikirannya hari ini.

Udara dingin yang menusuk membuatnya enggan untuk keluar rumah. Suatu paduan yang pas untuk mengunci diri di kamar.

Padahal di luar sana, hamparan bintang berkilau. Menjadi apik jika mata melihatnya. Namun tetap saja Zahra lebih nyaman di atas kasur, bertemankan beberapa boneka dengan berbagai karakter dan model.

Zahra duduk di atas kasur dengan bantal berbentuk rilakkuma di pangkuannya. Ditambah lagi secangkir larutan coklat hangat tersedia di atas nakas sebelah kiri tempat tidur.

Tidak jauh dari itu, lukisan bergambar bunga dandelion dalam bingkai kecil melengkapi.

Iya, bunga dandelion. Zahra sangat ingin menjadi sepertinya. Meski terlihat rapuh dan sederhana, namun ia sangat kuat dan indah.

Meskipun rapuh sehingga mudah tersapu angin, ia tidak lantas berputus asa. Bukan karena embusan angin kemudian ia patah arang, justru karena angin yang membawanya untuk memulai kehidupan yang baru.

Zahra melihat jam yang setia menempel di dinding kamar. Rupanya telah jam setengah delapan malam. Ia memutuskan melanjutkan bacaannya yang tinggal beberapa halaman.

Dan sesekali ia tertawa namun diakhirinya dengan tangisan. Rupanya novel yang kali ini ia baca membawa akhir yang menyedihkan. Seperti halnya kehidupan, jika dalamnya hanya bahagia tanpa ada rasa sedih, susah, maupun perjuangan. Maka belum layak disebut kehidupan.

Setelah menyelesaikan bacaan, ia menyesap sedikit cokelatnya. Kemudian keluar kamar dan membawa segelas cokelat hangat yang tinggal setengah.

Zahra berjalan dari kamar menuju ruang tengah yang berjarak  beberapa meter dari kamar. Ia menghampiri ibunya yang duduk di sofa dengan khusyuk. Seperti dugaan Zahra, ibunya sedang menonton acara dangdut kesukaannya.

Zahra mendekat, mendaratkan tubuh  di sofa untuk bersebelah dengan ibu. Ketika Zahra tengah asik menikmati penampilan salah satu kontestan, ia mendengar suara pintu pagar dan garasi berdecit.

“Bu. Itu Mas Alif baru pulang?” tanya Zahra pada ibunya, lalu dijawab dengan anggukan, “Iya, dia tadi izin pulang telat.”

Dan benar saja, beberapa saat kemudian Alif masuk ke dalam rumah. Ia mencium tangan ibunya, kemudian langsung duduk di sebelah Zahra dan meminum cokelat hangat milik Zahra hingga tandas tak tersisa.

Zahra memberengut kesal, “Yah!! Itu punyaku! Kok dihabisin, sih!”

Ocehan Zahra seakan meluap tertelan angin, selanjutnya Alif mulai terlelap di atas sofa. Matanya terpejam sedikit demi sedikit. Sesekali terbangun karena suara keras yang berasal dari televisi. Ekspresi Alif ketika mengantuk lucu juga, ingin tertawa jika melihatnya.

Dalam TasbihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang