- 03 -

1.4K 90 0
                                    


❤❤❤

Hai, kembali lagi di kisah ini. 😊
Jika ada kesalahan dalam penulisan, aku mohon maaf, yaa. Karena, ini aku nulisnya dikejar-kejar. Semua cerita aku deadline dan harus diselesaikan sampai akhir bulan di tahun ini karena terkait event menulis. Tapi, tenang aja. InsyaAllah sebelum publish, aku cek dulu kok. Jadi, kalian bisa nyaman pas bacanya ::)

Jangan lupa vote dan komentarnya, yaa. Aku tunggu :)

Happy reading 📖

- 03 -

Angga berdecak pelan. Membuang muka dengan seringai di bibirnya. Mencari ulah ataupun memancing perkelahian memang selalu dihindarinya. Jika sudah dipancing, tidak ada cara lain selain melayani saja menurut cowok itu.

"Gak usah sembunyi, Ga. Gue tahu kok, apa yang terjadi. Jadi, gak perlu sok percaya diri gitu." Panji berkata bangga disertai dengan tatapan hina pada Angga.

"Siapa yang sembunyi?" Sebelah alis Angga terangkat, jari telunjuknya menancap di dada kiri Panji. "Lo atau gue?"

Panji tersenyum miring, menjauhkan tangan Angga dengan kasar. Dia mengedarkan pandangannya, beberapa siswa-siswi sudah ramai berlalu-lalang di lorong sekolah. Sementara mereka masih di parkiran saling beradu sengit. Kalau saja langkah Angga tidak dihadang, cowok itu pasti sudah langsung menuju kelas.

"Gak usah memutar balikan omongan deh! Lo gak lupa, kan?"

"Bukannya lo, yaa, yang selalu sembunyi dari semua kelakuan busuk lo selama ini? Lo juga gak lupa, kan?"

Tentu saja, Angga dapat menyimpulkan semua dengan baik mengenai kelakuan Panji yang telah dia saksikan sendiri. Mulai dari bolos sekolah, tawuran, membuat ulah di jalanan, dan lain sebagainya.

Panji mendecih muak, memandang musuh di hadapannya. Kedua cowok itu memang tidak pernah terlihat akur jika berada dalam satu tempat.

"Lebih busuk mana? Lo ... apa gue?"

"Mau lo apa, sih?"

"Lo gak ngerti juga, apa mau gue?"

Mereka sama-sama melempar tatapan sedingin es. Bunyi mesin kendaraan yang terus berdatangan tak menghentikan sorot mata keduanya.

"Gue ... mau lo hancur dan mati. Itu yang gue mau!"

Bukannya marah, Angga malah tertawa keras. Tidak semua harus dihadapi dengan kemarahan. Ada waktunya, kita cukup tertawa ketika seseorang menginginkan kehancuran kita.

"Sayangnya, kemauan lo itu gak akan pernah terwujud."

"Oh iya? Lo yakin banget itu gak akan terjadi?"

"Lihat sikap lo yang kayak gini, gue jadi inget sama Tante Lisha. Gue kasian, kenapa orang baik kayak Tante Lisha, bisa punya anak kayak lo?"

"Gak usah bawa-bawa wanita berengsek itu!" bentak Panji dengan mata nyalang. Darahnya memanas dan mulai bergejolak.

"Kita emang bukan temen. Tapi, gue tahu jelas gimana buruknya hidup lo, Ji."

Gempalan Panji mengerat di bawah sana, wajahnya memerah dan siap meluapkan emosinya. Satu gerakan sigap, berhasil menghantam muka Angga. Cowok itu terhuyung, namun masih menyeimbangkan pijakannya.

"Lo pikir, hidup lo udah baik? Ngaca!" Sekali lagi, Panji mengayunkan tinjunya untuk memukul Angga.

"KAK ANGGAAA!!!"

GARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang