- 11 -

819 45 0
                                    

- 11 -

Beginilah suasana keluarga Arin, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Gadis itu selalu makan sendiri, tanpa ada yang menemaninya. Attar--papanya jarang pulang dan selalu memprioritaskan pekerjaan. Sedangkan Anna--mamanya selalu menyendiri seperti orang kehilangan semangat hidup. Arin tidak menyalahkan, begitulah kehidupan keluarganya akhir-akhir ini. Terlebih beberapa bulan belakangan ini, semua semakin buruk.

Arin memang tidak pernah menunjukkan apa yang dia rasakan pada orang-orang, tapi jauh di dalam hatinya dia menentang apa yang terjadi. Sebelum berangkat ke sekolah pagi ini, Arin menyempatkan diri sarapan sebentar. Dia tidak ingin dimarahi Anna, jika Bi Siti melapor. Tidak lupa, dia juga menemui mamanya ke kamar dan berpamitan. Masih sama, wanita itu bersikap seolah baik-baik saja. Padahal Arin tahu persis, itu semua bohong.

"Aku pamit, yaa, Ma." Arin meraih tangan Anna dan mencium punggung tangan wanita itu.

Anna yang selalu duduk di pinggir kasur, mengangguk dengan senyuman tipis sambil mengelus sayang rambut Arin.

"Hati-hati yaa, Rin. Jangan ceboroh, apalagi bikin kamu terluka!"

"Iya Ma. Kalo gitu, aku pergi yaa, Ma. Mama jangan lupa makan." Arin mencium pipi Anna, lalu melangkah pergi setelah mendapat anggukan dari mamanya.

Di teras rumah, gadis itu disambut oleh Pak Mamat--supir keluarganya. Beberapa hari belakangan ini, Arin pergi dan pulang sekolah sendiri. Hal itu dikarenakan pria tua yang sudah sejak lama bekerja dengan orangtuanya itu ada keperluan lain dan mengambil cuti.

"Mau berangkat sekarang, Non?" tanya Pak Mamat yang sudah siap dengan seragam supirnya.

Arin mengangguk penuh semangat. "Iya, Pak. Aku takut telat soalnya."

"Ya udah, ayo Non," ujar Pak Mamat mengulurkan telapak tangannya mempersilahkan gadis itu berjalan di depan.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Arin memang suka sekali bercerita. Pak Mamat pun meladeni dengan senang hati, dia sudah terbiasa dengan celoteh Arin yang riang.

"Oh iya, Pak. Nanti gak usah jemput, yaa. Soalnya, aku mau ke kantor Papa dulu. Pak Mamat di rumah aja, jagain rumah."

"Baik Non. Tapi kalo ada apa-apa, atau perlu dijemput, telepon Bapak aja yaa, Non."

"Siap Pak!"

Sesampai di sekolah, Arin memasuki pekarangan dengan berjalan santai sambil menghirup udara pagi yang sejuk. Beberapa siswa yang lainnya juga melakukan hal sama dengannya. Berbeda dengan siswa yang membawa kendaraan yang tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke dalam. Meskipun tidak jauh untuk tiba, jelas terlihat mana siswa yang membawa kendaraan sendiri.

Memasuki pintu masuk koridor utama, Arin mendapati Angga yang sedang berjalan hendak menaiki tangga, berhubung kelas cowok itu memang berada di atas. Senyuman terbit menghiasi wajahnya. Dia ingin menyapa, tapi terlalu jauh.

"Bisa gak sih, lo gak usah kecentilan liatin cowok orang!"

Arin menoleh setelah mendengar kalimat itu diucapkan di dekatnya. Terdengar menjengkelkan, seorang gadis berambut cokelat dengan pakaian yang ketat memandangnya tak suka. Arin ingat siapa sosok gadis cantik yang berada di hadapannya kini menaikkan dagu tinggi.

"Maaf yaa, Kak. Aku gak bermaksud buat kecentilan. Aku cuma--"

"Apa lo bilang?" Dara  berkacak pinggang dengan menatap remeh pembelaaan Arin. "Gak bermaksud? Terus ngapain lo senyam-senyum liatin Angga kayak gitu? Suka lo?"

Arin kebingungan menjawab, dia seperti diserang habis-habisan. Bahkan Dara tidak memberinya kesempatan untuk bicara dan langsung memotong penjelasannya.

GARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang