- 05 -

1.1K 69 0
                                    

Happy reading 📖
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya, yaa 🌻

- 05 -

"Lo apa-apaan sih, Ga?" tanya Gina tak habis pikir. Gadis itu menghalangi jalan Angga ketika akan menaiki anak tangga.

"Lo yang apa-apaan, Gin?" Angga membalikan pertanyaan itu dengan mudah.

"Gue???" tanya Gina tak terima.

Billy melangkah maju, berada di antara kedua temannya itu. Dimas, Andre dan Putri hanya bertukar pandang tidak bisa melakukan apa-apa jika ada perselisihan seperti ini.

"Lo gak nyadar juga? Jangan menyalahgunakan posisi lo dengan seenaknya!" Angga melirik ke belakangnya."Dim, Ndre, ikut gue ke lantai dua," titahnya, lalu melirik Billy yang tampak berpikir harus melakukan apa. "Lo sama dia dan Putri ke lantai tiga, biar cepat kelar."

Angga beranjak pergi dengan tiga orang rekannya. Gina menghentakkan kaki saking kesalnya.

"Yuk, Gin. Kita lanjutin!"

"Temen lo bener-bener bikin darah gue naik ke ubun-ubun."

Gina tidak bermaksud untuk bersikap semaunya. Dalam prinsipnya selama di ruang lingkup organisasi, ketegasan sangat diperlukan. Jika tidak, akan banyak yang melanggar kewajiban dan tanggung jawab.

"Lo sih, terlalu galak juga tadi."

"Apa lo bilang? Tuh, liat. Kita udah wanti-wanti kemarin sama mereka. Tapi sekarang apa? Ada yang bawa benda tajam ke sekolah. Terlalu lunak, tujuan kita gak akan tercapai, Bil."

"Udah, yuk. Kita lanjutin." Billy mengalah dalam keadaan ini, lama berdiam diri di sini hanya akan memperlama kegiatannya selesai.

💨💨💨

"Rin, lo gak apa-apa, kan?" Kanaya mengulangi pertanyaaannya karena tak mendapat jawaban dari Arin.

Arin tersenyum kaku, mengangguk ragu.

"Iya Nay, aku baik-baik aja, kok."

"Waah, lo keren banget tadi pas ngebales kata-katanya Gina."

Pujian yang membuat Arin tersipu. Dia hanya kesal karena dituduh tanpa alasan. Ruangan itu terdengar berbagai bisikan yang tidak jelas di pendengarannya. Entah perkataannya pada Gina, atau karena perlakuan Angga yang tak diduga tadi.

"Tadi itu ada apa, sih?" tanya Arin masih belum mengerti.

Kanaya melirik ke meja belakang. "Tuh, si Gio bawa cutter ke sekolah, pas banget lagi pas ada razia."

Gio mengidikan bahu seakan tak acuh dan tak peduli atas apa yang terjadi barusan. Arin memberanikan diri untuk menoleh, cowok itu menatapnya dengan misterius. Dengan cepat, dia menghadap ke depan.

"Rin, kok lo ngelamun lagi, sih?"

Lengan Arin ditepuk pelan oleh Kanaya, membuatnya memiringkan kepala menatap ke sebelah.

"Gak kok, aku gak ngelamun."

Geseran kursi terdengar, Gio bangkit dari tempat duduknya, berjalan ke luar kelas. Kedua tangannya disembunyikan di kantong celananya.

"Dia kenapa sih?" tanya Kanaya entah pada siapa.

"Nay, kamu kenal sama dia? Satu SMP sama kamu, ya?" Arin mulai bertanya, jika saja Gio masih ada di dalam kelas, dia mungkin tidak akan melontarkan pertanyaan itu.

"Enggak. Tau namanya juga barusan. Emang kenapa?"

"Gak apa-apa, sih. Aku cuma heran aja, kenapa dia berani bawa benda kayak gitu ke sekolah. Kirain kamu kenal gitu." Berusaha berkilah, sebenarnya bukan itu tujuan Arin bertanya.

GARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang