- 12 -
"Muka lo kenapa?" tanya Kanaya pada Arin yang memasang wajah datar. Tak ada senyuman hangat yang biasa terhias setiap kali datang.
Arin menggeleng, kemudian mengulas senyum.
"Gak apa-apa."
"Yaa terus, muka lo kenapa gitu kalo emang gak ada apa-apa?" Kanaya menupang dagunya dengan sebelah tangan menatap Arin. Meskipun belum cukup lama berteman, dia bisa melihat kali ini Arin berbeda dari hari sebelumnya.
Arin melipat tangannya di meja, menatap Kanaya dengan bibir manyun. Dia sejujurnya kesal karena ucapan Dara yang tanpa berpikir ataupun bertanya dulu padanya.
"Itu loh Nay, masa yaa--"
Arin menghentikan ucapannya, suaranya mendadak hilang saat Gio datang memasuki kelas. Cowok itu masih dengan tatapan sama padanya.
"Masa kenapa?" Kanaya menanti Arin menyelesaikan ucapannya. Dia sejenak melirik santai Gio yang baru saja melewati meja mereka.
Arin menekan-nekan ujung jari telunjuknya, menunduk dengan tatapan entah ke mana.
Ragu-ragu, Arin menoleh ke meja belakangnya, dia mendapati Gio yang memejamkan mata, duduk tenang seraya mengenakan earphone di telinganya."Lo kenapa sih, Rin?" Kanaya mulai bingung dengan sikap Arin.
"Itu, masa iya aku tadi dilabrak sama cewek. Mana dia ngomong seenaknya lagi. Kesel banget deh."
Kanaya terkekeh mendengar cerita Arin, apalagi melihat raut gadis itu yang benar-benar kesal. Baru pertama kalinya, dia melihat Arin dengan muka ditekuk begitu.
"Siapa sih ceweknya? Kok bisa, Rin?"
"Itu ... pacarnya Kak Angga."
Lekukan di bibir Kanaya makin melebar, satu tangannya disembunyikan di balik rambutnya.
"Yang mana sih pacarnya?"
"Itu loh Nay, yang waktu itu kita liat pas mau ke perpustakaan." Arin berdecak, kemudian melanjutkan ucapannya. "Aku akui sih, dia itu cantik. Tapi, mulutnya itu loh, gak tau aturan banget ngomongnya. Padahal yaa, harusnya cewek cantik itu bisa jaga ucapan dan kelakuannya biar balance sama fisiknya."
Kanaya manggut-manggut. "Ooh jadii itu."
Gio membuka matanya, menatap dua gadis yang duduk di depan. Dia melepas sebelah earphone dari telinganya.
"Lo terlalu naif jika berpikiran keseimbangan fisik dan kelakuan adalah hal yang harus. Harus bagi kita bisa jadi hal yang mustahil bagi orang itu. Fisik bukan satu-satunya patokan dalam penilaian."
Serentak Arin dan Kanaya menilik ke belakang. Kanaya tersenyum menyetujui, berbeda dengan Arin yang hanya diam menerima tatapan datar Gio.
"Lo suka sama seseorang, maka akan ada orang lain juga yang suka sama orang yang lo suka itu. Itu hal yang lumrah. Gak usah heran kalo lo dilabrak!"
"Bener banget. Gak usah dipikirin, Rin." Kanaya menambahkan.
"Suka?" Arin menggeleng tak percaya, jika dirinya disimpulkan seperti itu. Dia perlu mengetahui sesuatu. "Siapa kamu sebenarnya?"
Tentu saja, Kanaya heran mendengar pertanyaan Arin. Dia juga tak dapat masuk begitu saja dalam pembicaraan yang kini terdengar asing.
Gio melepas earphone yang satunya dari telinganya. "Gue? Gio."
Arin mengabaikan meski sebenarnya masih penasaran, dia kembali menghadap ke depan karena bel masuk sudah terdengar. Dia yakin cepat atau lambat pasti akan mengingat kapan dan di mana pernah melihat cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIN
Teen FictionRasa bersalah berujung membawanya pada titik di mana sebuah kebenaran mulai terungkap. Kenyataan yang juga akan membuatnya berada di titik tersulit dari sebelumnya. Seorang gadis muncul dalam kehidupannya membawa rasa cemas yang terus menghantui. D...