- 06 -

1K 62 0
                                    

- 06 -

Mau lari pun, sudah tidak waktu lagi. Angga harus melayani apa yang kini berada di depannya. Dia tersenyum paksa menyambut seorang gadis yang baru saja menghampirinya.

"Hai, Ga."

Dara--gadis keturunan Indonesia-Belanda dengan rambut bergelombang mengumbar senyuman lebar pada Angga.

"Hai, Ra."

"Lo mau ke mana, Ga?" tanya Dara.

Angga akui, Dara memang cantik dan pintar dalam berpenampilan. Tapi itu tidak menjadi patokan baginya untuk menyukai seorang gadis. Dia melirik keadaan sekitar, anak-anak berburu ke arah kantin. Tadinya, Angga juga berniat ke tempat itu untuk mengisi perut. Dan tertunda karena Dara sekarang.

"Hmm, gue ... mau ...."

Belum jadi Angga menjawab, Dara sudah bergelayut manja di lengan. Jujur saja, cowok itu risih dengan perlakuan tersebut.

"Lo mau ke kantin, kan? Bareng aja, yukk."

Jika terus dibiarkan begini, Angga serasa sedang berada dalam cekalan Dara. Dia melepas pelan tangan yang mengalung di lengannya.

"Aaah, enggak. Gue mau ke toilet, Ra." Angga memegangi perutnya, memasang ekspresi yang tidak enak. "Gue duluan, yaa."

Dara yang melihatnya pun bingung dan mengangguk saja. Tiba di belokan koridor, Angga menghembuskan napas kasar, kepalanya tersandar ke tembok. Angga seperti menjadi buronan, bedanya dia dikejar tanpa melakukan sebuah kesalahan.

Angga berdesis, lebih baik jika dia mencari tempat lain agar tidak diganggu oleh gadis itu. Dia memutuskan untuk menuju taman sekolah, di sana pasti akan lebih tenang dan menyejukkan karena banyak pepohonan hijau.

Duduk di sebuah kursi yang berada tepat di bawah pohon rindang merupakan suatu pilihan terbaik Angga kali ini. Dia membaringkan tubuh, memejamkan mata dengan meletakkan satu lengan di keningnya. Lututnya ditegakkan karena ukuran kursi yang tidak memadai.

Tenggelam dalam rasa bersalahnya, Angga nyaris tidak bisa hidup tenang. Dering ponselnya membuat menurunkan kaki dari kursi itu, bangun dan mengambil benda pipih yang tersembunyi di saku celananya. Notifikasi pesan masuk tertera di layar ponselnya itu.

Setelah membaca pesan yang baru saja diterimanya, gigi Angga gemertak. Ada kemarahan yang sedang ditahannya, termasuk pada dirinya sendiri.

From : 08xxx
Secara gak langsung lo yang udah bikin dia meninggal.

"Ga...."

Suara itu berhasil mengejutkan Angga, dengan segera dia menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku. Seseorang berdiri di dekatnya, memperhatikan gerak-gerik Angga yang tampak aneh.

"Ada apa?" tanya Angga setelah orang itu duduk di ujung kursi sebelahnya.

"Lo kenapa? Kok kaget gitu?"

"Lo ngagetin gue. Pake nanya lagi."

Dimas tertawa kecil. "Sorry."

"Ngapain lo ke sini?"

"Cari angin. Pantesan lo betah di sini, yaa."

"Lo ke sini bukan mau cari angin. Tapi mau cari gue, kan?"

Tidak biasanya seorang Dimas mendatangi tempat ini di jam kosong dalam bentuk apapun. Cowok itu pasti akan memilih kantin menjadi tempat satu-satunya yang dia kunjungi selama waktu luang. Angga memang tidak dekat dengan Dimas, tapi hubungannya di organisasi mampu memberikan gambaran untuk Angga.

Angga menoleh, mendapat cengiran dari Dimas. "Jadi ... ada perlu apa lo sama gue?"

"Tau aja lo, Ga."

"Jadi ... apa?"

Angga mengalihkan arah pandangnya, menatapi dedaunan yang berjatuhan di rumput tempat dia berpijak. Meskipun cuaca panas, setidaknya ada angin yang berembus berusaha untuk meredam.

"Gue mau tanya, kalo lo disuruh milih. Lo pilih mana, dikhianati atau mengkhianati?"

Tidak ada angin tidak ada hujan, pertanyaan itu tiba-tiba diarahkan pada Angga. Tentu butuh waktu untuk mencerna maksud Dimas apa.

"Lo ngomong apa sih, Dim?"

"Gue nanya, Ga ...."

"Gue gak suka dua-duanya!"

"Gue juga gak suka. Tapi, kan kita disuruh milih, Ga."

Dimas melihat Angga yang sibuk memandangi langit biru yang sangat cerah. Mengkhianati dan dikhianati adalah kalimat yang harus dihindari dalam hidup. Jika dipikir-pikir kembali, kedua pilihan itu saling berdampak dan menyakiti. Tapi anehnya, orang-orang suka bermain dengan hal yang membawa mereka pada sebuah rasa sakit. Bagi Angga, pilihan itu hanya sebuah jebakan semata.

"Lo bener, kita hidup emang disuruh untuk memilih. Kita juga harus bisa melihat, mana yang benar-benar pilihan dan mana yang hanya permainan." Angga berucap dengan tenang, menerawang segala yang ada di benaknya.

Kepala Dimas bergerak-gerak ke atas dan ke bawah, dia membenarkan ucapan itu.
Hening, tidak ada lagi yang bersuara. Seolah Angga menutup pembicaraan kali ini.

Di tempatnya, Arin sedang mengitari rak buku yang sangat besar. Perpustakaan itu tidak seperti perkiraannya, luas dan cukup membingungkan.

"Kanaya ke mana, yaa?" tanya Arin sendirian. Matanya masih celingak-celinguk meneliti tiap rak, siapa tahu dia menemukan buku yang menarik dan dibutuhkannya. Dan di saat itu, tidak sengaja tangan gadis itu menjatuhkan buku dari rak.

Arin berjongkok mengambil buku itu, secarik kertas terlihat di dekat rak. Tidak tahu datang dari mana, entah jatuh bersamaan dengan buku itu. Atau memang berada di sana tanpa diketahuinya.

Tanpa ragu, Arin meraih kertas berukuran setengah buku tulis itu yang berada menjorok ke bawah rak. Dibacanya tulisan yang tertulis di sticky-note bewarna biru pudar tersebut.

Aku tidak tahu, kapan kamu akan menyadarinya. Atau mungkin kamu menyadari, tapi hanya berpura-pura.

Mata Arin membelalak, bukan karena tulisan yang dibacanya. Sebuah nama diberi tinta hitam pekat tertera di sudut kertas, membuat Arin sedikit tersentak.

Dari balik bulu mata lentiknya, Arin melihat sepasang kaki berdiri di depannya. Bisa dirasakan Arin, kalau orang itu sedang memperhatikannya. Dengan gerakan slow-motion, dia mendongak bimbang.

Begitu mendapati siapa orang itu, Arin langsung berdiri. Menyembunyikan kertas dalam genggamannya di balik buku. Tatapan yang dia terima tampak tajam dan mengintimidasi. Ada rasa takut dan gelisah dalam diri Arin.

"Kenapa lo?" tanya Gio sambil melangkah maju.

Arin ingin berteriak sekarang juga, kata-kata Kanaya tadi pagi ketika mengatakan cowok itu membawa benda tajam ke sekolah kembali diingatnya. Bulu kuduknya mengidik ngeri, membayangkan yang tidak-tidak.

"Aku ... aku ... lagi nyari buku. Iyaa ... lagi nyari buku." Mimik Arin terlalu jujur, tidak bisa menipu.

"Gue tahu, di sini emang buat nyari buku. Pertanyaan gue bukan itu. Kenapa sama muka lo?" Gio memperjelas pertanyaannya.

"Emm, aku ...." Arin tidak tahu harus menjawab apa, alasan pun tidak bersenang hati singgah di kepalanya. Tinggal satu cara andalannya, yang dipastikan ampuh mengatasi situasi ini.

Arin mengabaikan pertanyaan itu, dia bergegas menerobos sisi jalan yang bisa digunakan untuk melarikan diri. Gio tidak menghalangi, hanya menatap datar melirik sebelum Arin menghilang dari penglihatannya.

"Arini Shierabilla." Gio mengucapkan nama lengkap Arin dengan mata yang menatap kosong. Nada suaranya terdengar dingin. Cowok itu tiba-tiba tersenyum samar, tidak ada yang tahu apa yang sedang dia pikirkan.


=====

Follow instagram : ogghykurniaa

GARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang