- 07 -

957 65 0
                                    

- 07 -

Mungkin jika ada yang bisa dilakukan untuk merubah keadaan, dijamin tidak akan ada yang merasakan kehilangan ataupun penyesalan. Segala hal tentang hidup, memang tak luput antara suka dan duka. Serta datang dan pergi.

Sudah lima belas menit berlalu, Angga dikuasai lamunan yang tak berujung. Hari ini, dia sedang berada di sebuah cafe bersama Billy dan Ardi. Kedua temannya itu sibuk mengobrol asik sembari menikmati cappuccino latte di hadapan masing-masing.

Ardi--cowok berambut gondrong dengan kacamata itu tak henti tertawa lepas di sela obrolan mereka. Sesekali Angga ikut tersenyum samar, meskipun pikirannya tidak berada di sana.

"Ga ... gimana sama cewek yang katanya lagi ngejar-ngejar lo itu?" Ardi kini melempar pertanyaan pada Angga. Cowok itu akan terus menyimak jika tidak ditanyai.

Angga melepas pegangannya dari gelas plastik berwarna kelam berhiasan logo cafe sebagai identitas produk. Dia berdehem singkat, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya mulai melirik kedua temannya itu bergantian.

"Cewek?" Angga berlagak tidak tahu.

Billy menyemburkan tawa dalam waktu dekat, mengundang sorot tajam dari Angga.

"Maksud Ardi itu, si Dara maybe," ucap Billy meluruskan.

"Kalau sama dia, gue harus main petak umpet," kata Angga sejujurnya.

"Kenapa gak sikat aja sih, Bro," celetuk Ardi setelah menyeruput minumannya.

Billy terkekeh geli. "Bahasa lo, Di. Sikat apaan, lo kira toilet?"

"Maksud gue tuh, embat aja gitu. Kenapa masih mikir, sih. Bukannya lo bilang dia cantik, yaa? Tajir juga."

Angga menggeleng-gelengkan kepala, matanya menyapu ramainya tempat itu yang dipenuhi para pengunjung untuk menghilangkan penat dalam menjalani keseharian. Angga bisa dibilang sering ke cafe ini dulu. Berada di sini, mengingatkannya pada seseorang. Bayangan itu tidak pernah hilang.

"Gue gak ada rasa sama dia. Jadi ... sekalipun cantik ataupun tajir, gue gak bakal tertarik."

Billy tersenyum dengan anggukan kecil, dia memonyongkan bibirnya ke arah Angga tapi menatap ke Ardi. "Tuh, dengerin!"

"Laah, kan sayang cewek cantik dianggurin gitu." Ardi masih dengan argumennya. "Kalau soal rasa, bisa tumbuh dengan sendirinya, kok. Gak harus cinta di awal, kan?"

Angga menyedot minumannya, kemudian bibirnya menyungging senyuman. Billy juga tersenyum menanggapi perkataan Ardi.

"Lo emang jagonya kalo masalah cewek, Di." Angga melipat tangan di meja, menatap Ardi sejenak. Lalu, kembali melihat-lihat keadaan sekitar mereka.

Ardi memang lebih berpengalaman soal cewek dari pada mereka berdua. Cowok itu pasti punya seribu cara untuk menggait gadis yang ditaksirnya. Prinsip yang pantang menyerah, membuatnya memiliki kesempatan untuk memperbanyak mantan. Termasuk Putri--teman satu sekolah Angga dan Billy. Meskipun begitu, Ardi masih dibatas sewajarnya. Dengan satu alasan, yaitu hanya ingin mencari cinta sejatinya.

"Terus Gina apa kabar?"

Perubahan terlihat di wajah Angga, ekspresinya menjadi datar dan mengalihkan pandangan. Ardi menyadari pertanyaan tidak akan dijawab.

"Gina baik-baik aja, kok," jawab Billy sekenanya.

"Gue denger, lo masih ikut balapan." Angga mengikuti instruksi hatinya untuk mulai mengontrol ekspresinya, dia menatap Ardi dengan santai.

"Lo masih balapan, Di?" tanya Billy sedikit kaget. Cengiran Ardi membuatnya kesal seketika.

"Si Panji ngasih tahu lo, Ga?" Ardi menyisir rambut gondrongnya dengan jari ke belakang. Dia yakin sekali Panji adalah orang yang memberitahu.

GARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang