- 10 -
Selain waktu, hidup adalah suatu hal sulit untuk diprediksi. Hidup yang dijalani Angga belakangan ini tidak seperti biasanya. Rasa bersalah itu semakin muncul setiap kali mendapat pesan misterius yang diterimanya. Untuk kedua kalinya, pesan yang tidak jelas asal usulnya itu kembali memecah pikiran Angga.
"Udahlah Ga, gak usah dipikirin. Nih orang, jelas banget kurang kerjaannya."
Ucapan Billy sama sekali tidak memberi pengaruh sedikit pun, dia tetap tidak tenang. Semenjak kejadian itu, hidupnya penuh dihantui rasa bersalah.
"Lagian yaa, Ga. Masa lo mau aja sih, terpengaruh sama chat gak jelas gini?" Ardi juga sependapat dengan Billy. Dia menganggap semua itu hanya lelucon untuk permainan semata dan tidak perlu dianggap serius. Tapi anggapan itu tidak berlaku bagi Angga.
Angga mengacak rambutnya, lalu menghela napas berat. Dia merentangkan tangannya di sofa kamar Ardi, sambil memejamkan matanya. Malam ini ketiga cowok berkumpul di sana.
"Hanya saja, semua orang harusnya punya batas bicara agar tidak menyinggung orang lain." Billy mengucapkan kalimat itu seraya menatap Ardi dan Angga bergantian. "Kalian ingat itu?"
Angga dan Ardi menggeleng santai. Suasana cafe sore ini semakin ramai dan membuat Angga ingin sekali meninggalkan tempat itu. Dering ponsel menarik perhatian ketiganya, Angga meraih benda itu di meja. Panggilan masuk dari Bunda Dewi--mama Angga tertera jelas.
"Nyokap gue udah nelpon, gue duluan, yaa. Gue udah janji nganterin nyokap belanja ke supermarket." Angga bergegas pergi, padahal Billy belum selasai bicara.
Angga mengingat kejadian itu, dia belum tahu maksud tujuan Billy bertanya. Cowok itu melempar bantal ke arah Billy yang kini sedang duduk di karpet sembari memegang stik PS bersama Ardi di sebelahnya.
"Apaan sih, Ga? Ganggu aja lo!" Billy sama sekali tidak melirik, dia masih sibuk dengan aktivitasnya.
"Kemarin pas di cafe, lo mau ngomong apa?" tanya Angga sambil berjalan ke arah Billy dan Ardi. Dia memilih duduk di atas kasur yang dibelakangi oleh kedua temannya.
"Hanya saja, semua orang harusnya punya batas bicara agar tidak menyinggung orang lain." Angga mengulangi kalimat yang diucapkan Billy kemarin.
Billy dan Ardi menghentikan permainan mereka, lantas memutar posisi duduk menghadap Angga. Raut Angga sangat serius, Billy seperti salah bicara karena membahas perihal ini padanya.
"Gue ingat kalimat itu. Adrian pernah ngucapin saat kita ngeledekin dia." Angga melipat tangannya di dada dengan kaos hitam yang melekat di tubuhnya.
"Gue sempat denger salah satu anak di sekolah kita ngucapin kalimat itu."
"Siapa?"
"Arin."
"Terus emangnya kenapa?"
Billy tak lagi menjawab, dia malah melirik Ardi yang duduk bersila di sebelahnya.
"Arin itu adik Adrian, Ga," kata Ardi, kemudian berjalan mendekat ke nakas meraih ponselnya.
Angga membisu, dia tidak pernah tahu bahwa Adrian memiliki seorang adik.
"Gue sendiri juga kaget, Ga. Adrian gak pernah mau cerita soal keluarganya sama kita. Gue juga gak bakal tahu, kalo gue gak minta data Arin. Itupun gue pake embel-embel OSIS biar dapet."
"Jangankan kalian, gue aja yang satu sekolah, gak tahu apa-apa soal keluarganya." Ardi sangat menyayangkan soal itu, dia sulit untuk mengorek informasi tentang keluarga Adrian.
Saat pemakaman pun, mereka telat datang. Sekarang Angga mengerti, kenapa dia beberapa kali sempat melihat seorang gadis di TPU tempat Adrian disemayamkan. Gadis itu adalah Arin--gadis yang berhasil menarik perhatiannya kala itu. Perubahan di raut Angga menjadi hal yang sangat disadari Billy, dia paham apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu.
"Kalian yakin, Arin adalah adiknya Adrian?" tanya Angga masih tak percaya.
"Gue sempat foto datanya dari ruang guru, kalo lo gak percaya." Billy merogoh kantong celana mengeluarkan handphone. Jarinya dengan cepat mengotak-ngatik dan menunjukan hal yang dimaksud pada Angga. Tidak salah, di kartu keluarga gadis itu ada nama Adrian dengan lengkap.
"Gue juga udah stalking semua media sosial milik cewek yang kalian maksud." Kini, Ardi yang menyodorkan ponsel pada Angga. Di layar berukuran 6,5 inci tersebut terlihat Adrian yang sedang merangkul Arin dengan senyuman lebar. Jika dilihat-lihat lebih detail, kedua orang itu memiliki kemiripan layaknya saudara.
Angga tidak merespon, dia sungguh kaget dengan apa yang disampaikan itu.
"Gue ... cabut duluan!" Angga meraih jaketnya yang terletak di sofa tempat tadi dia duduk, lalu bergegas pergi.
Ardi dan Billy tidak berusaha mencegah, ataupun bertanya. Mereka sudah cukup bisa mengartikan reaksi Angga.
"Lo liat sendiri, kan?" Billy bangkit, berdiri memegangi pangkal hidungnya.
Ardi ikut tegak, dia paham apa yang dimaksud Billy.
"Biar gimana pun, Angga juga harus tahu."
"Dia pasti bakal semakin aneh-aneh, dengan rasa bersalahnya itu. Belum lagi--"
Billy mengangkat satu tangannya ke udara.
"Cukup Di. Jangan ditambah lagi."
"Lo mau nyimpan semua itu dari Angga?"
"Itu gak penting dan gak perlu dibahas!"
Billy hanya tidak mau memperburuk keadaan, meskipun dia tahu maksud tujuan Ardi baik. Menutup rapat sebuah kenyataan demi kedamaian akan lebih baik. Billy menjatuhkan bokongnya di pinggir kasur, kedua tangannya ditautkan di pangkuannya.
"Harusnya gue gak bilang ke Angga," ucap Billy menyesal.
"Udahlah Bil. Bukan itu yang harus lo pikirin. Ada yang lebih penting dari itu."
"Maksud lo?"
"Gue ngerasa ini ada yang gak beres. Lo gak nyadar, pesan misterius yang datang ke Angga sama kedatangan cewek yang namanya Arin yang identitasnya sebagai adik Adrian itu muncul dalam waktu bersamaan?"
Billy mengernyit, dia mencerna satu persatu kalimat yang diucapkan Ardi. Beberapa detik setelah itu dia menggeleng kuat.
"Maksud lo, Arin yang ngelakuin itu? Dia yang kirim pesan itu ke Angga?" simpul Billy.
Ardi melentikkan jarinya dengan anggukan mantap. "Tepat sekali."
"Gak mungkin, Di. Gue belum bisa percaya sama praduga lo ini."
Ardi sendiri juga tidak begitu yakin dengan apa yang diucapkannya. Dia menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal. Billy serba salah akan hal ini, dia tidak bisa bergerak lebih.
"Kalo emang apa yang lo bilang itu bener, gue gak tau lagi apa yang bakal terjadi nanti," kata Billy mulai berandai-andai dengan raut khawatir.
"Gue juga gak bisa bayangin kalo semua yang lagi lo sembunyiin itu ketahuan sama Angga, Bil. Ini aja udah bikin dia shock."
Billy bangkit dan mengukir senyuman samar, dia menepuk pelan bahu Ardi. "Kalo gitu, Angga gak boleh tahu."
"Lo yakin bisa sembunyiin itu dengan baik, Bil?" tanya Ardi ragu.
Billy mengangguk kecil. "Gue cabut, yaa."
Cowok itu melenggang keluar. Ardi melirik jam dinding kamarnya menunjukan pukul sembilan malam. Ekspresinya berubah datar melirik pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Segala kemungkinan bisa saja terjadi jika tidak segera dicegah. Tidak ada yang tahu, karena hal kita duga bisa saja memiliki dua mata pisau yang akan memberikan keadaan buruk.====
Follow IG : ogghykurniaa
Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar kamu, yaa ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
GARIN
Teen FictionRasa bersalah berujung membawanya pada titik di mana sebuah kebenaran mulai terungkap. Kenyataan yang juga akan membuatnya berada di titik tersulit dari sebelumnya. Seorang gadis muncul dalam kehidupannya membawa rasa cemas yang terus menghantui. D...