Karura langsung memeluk Sakura ketika gadis itu telah sampai ke rumah dengan selamat. Ia menepuk-nepuk pelan punggung gadis itu setelah itu mengendurkan pelukannya dan meraih wajahnya. Ia menyelami bola mata yang hijau itu yang hampir serupa dengan mata putranya. Sesaat kenangan-kenangan lama muncul di benaknya ketika menatap mata itu dalam-dalam.
"Mata itu ...." gumamnya.
"Kenapa dengan mataku?"
Karura mengerjap. Wanita itu tersenyum canggung seraya berucap, "Ah, tidak. Bukan apa-apa."
Ia merangkul gadis itu dan menariknya menuju lantai dua, ke arah kamar gadis merah muda tersebut, "Kau pasti lelah. Ayo bersihkan dirimu setelah itu istirahat!" ajaknya seraya menaiki anak tangga satu persatu.
Sakura hanya mengangguk dan mengikuti dalam diam. Jujur saja, ia benar-benar lelah ditambah luka di kepalanya yang belum sembuh dan masih berdenyut membuatnya enggan untuk melakukan sesuatu selain berbaring di atas tempat tidur.
Sakura segera membersihkan badannya dan bersiap tidur setelahnya. Ia duduk di tepi tempat tidur setelah teringat akan keadaan Sasori. Gadis itu meringis mengingat ia telah melupakan keadaan pria itu. Ia meraih ponselnya yang terletak di atas nakas samping tempat tidurnya dan menekan nomor seseorang yang ia yakini sedang berjaga di sana.
"Gaara?"
"Sakura! Kau sudah di rumah?"
Sakura tersenyum dan mengangguk. Setelah menyadari perbuatannya, ia menjawab, "Ya. Aku sudah di rumah. Bagaimana keadaan Kak Sasori?"
"Kau tenang saja. Dia masih bernafas!" ucap Gaara sedikit memekik di ujung kalimatnya. Setelah itu terdengar suara pria itu mengaduh sakit dan menggerutu.
"Aku akan ke sana," Sakura mendengar seseorang sedang bicara bersama Gaara di sebrang sana. Pria itu menyahut dan menyuruh Gaara mengatakan apa yang ia katakan pada Sakura.
"Ayah menyuruhmu untuk tetap di rumah dan istirahat. Besok saja kau ke sini. Malam ini tidurlah dengan nyenyak," ucap Gaara.
"Tapi ...."
"Sudah ya. Aku tutup teleponnya. Bye ...."
Tut ~ Tut ~ Tut
Sambungan terputus. Sakura memandang layar ponselnya dengan kecewa. Ia merengut memikirkan ayahnya dan Gaara yang bekerjasama untuk melarangnya pergi ke rumah sakit.
Gadis itu berbaring di atas tempat tidur. Ia tidak bisa tidur sekarang karena memikirkan kakaknya yang sedang kritis. Mungkin. Gadis itu memeluk dirinya sendiri merasa asing dan sepi di dalam kamar yang besar dan nyaman itu. Ia hanya terdiam menatap tirai jendela yang bergerak perlahan karena tertiup angin dari ventilasi udara.
Sakura berusaha tidur dengan memaksa matanya terpejam. Ia takut. Ia hanya takut mimpi buruknya datang di saat dirinya gelisah seperti ini. Ia jadi memikirkan keadaan Mebuki dan Aoda. Ia belum sempat bertemu dengan mereka ketika Sasuke memaksanya kembali.
Gadis itu memeluk guling di belakangnya. Ia berpaling menghadap pintu kamar yang sudah tertutup rapat. Suasana rumah gelap dan sepi, hanya ada dirinya dan Karura, sementara asisten rumah tangga ada di rumah kecil yang terletak di belakang bangunan utama. Sedangkan kakak tirinya yang lain lebih memilih tinggal terpisah, bukannya mereka tidak akur, hanya saja mereka ingin belajar hidup mandiri.
Ia memejamkan matanya erat. Ucapan Karura terngiang di benaknya. Ucapan wanita itu persis seperti yang sering ayahnya ucapkan padanya. Ayah Kizashi. Memangnya ada apa dengan matanya? Setiap kali ia memandang Kizashi, pria itu seolah kesakitan sekaligus benci. Ia sendiri bingung apa kesalahan yang telah ia perbuat sehingga pria itu tampak membencinya, namun di lain keadaan ada rasa sayang yang tersirat dari matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Army (Complete)
Fantasy__cerita keenam__ Cinta tak dapat ditebak kapan datangnya, dan hati tak bisa memilih kepada siapa dia jatuh cinta. Semua berawal dari kerusuhan itu, yang membawa sang Dara ke pelukan sang Penjaga.