Chapter 6

107 21 5
                                    

Terbenamnya Sang Surya hari itu menandakan dua hal bagi gadis yang kini tengah melipat tangan diatas meja makan sembari menatap sahabatnya memasak di dapur. Gadis itu tak lain adalah Park Rira. Pandangannya yang tak tentu menatap dari kejauhan sahabat tercintanya, Seulyoung, dan juga jam tangan kesayangannya.

"Masih lama?" Cicitnya pada Seulyoung.

Seulyoung menoleh sejenak lalu kembali fokus pada kegiatan memasak yang sudah ia kerjakan sejak 30 menit yang lalu.
"Cerewet! Aku ini sedang memasak bukan makan saja sepertimu. Semua butuh proses".

Rira mendengus sambil mengerutkan dahi tanda tak setuju.
"Aishh..kau mau bilang bahwa makan juga tidak perlu proses. Ku jelaskan. Semua berawal dari sumpit yang bertemu dengan lidah. Saling memberi dan sama-sama menyentuh hidangan yang dimasak matang diatas tong itu..."

"Panci!" Ralat Seulyoung dengan mata memicing.

"Apapun itu. Ahh.. sampai mana aku tadi. Dasar pelupa!". Rira mengoceh sendiri sedang dilain sisi Seulyoung terkekeh.

Rira mendongak menatap kembali Seulyong yang sedang menyajikan masakannya di meja. Di belakang Seulyoung dapat dilihat jam yang mulai menunjukkan angka 6. Dimana waktu untuknya bertransformasi.

~

Disamping itu..

"Putih.. yang tengah! Tidak tidak.. kenapa lebih lama! Temponya haruslah selaras."
Bukan karena perdebatan dua orang. Namun itu hanya sekilas perkataan yang terus Sunghyo ulangi selama beberapa saat lalu hingga kini. Membosankan baginya, saat belajar bermain piano harusnya dengan tenang dan penuh penghayatan menjadi akar kegaduhan dirumahnya.

"2 jam yang menyiksa. Aku lapar. Dan dia hanya mengoceh ini itu. Menyebalkan! Seharusnya hari ini aku mendapat semangkuk ramen oleh Cumi kesayanganku. Dan sekarang, setelah memaksa mengajari dia akhirnya meninggalkanku sendiri lagi!"

Sunghyo mengomel sendiri setelah semua rencana baiknya hari ini gagal karena guru musik privatnya mendadak menelpon meminta pekerjaan.
Yang butuh orang lain tapi Sunghyo yang harus berkorban. Menyebalkan.

Sunghyo terus meluapkan emosinya sambil menekan kasar tuts piano di hadapannya. Sampai pintu ruangan itu terbuka secara tiba-tiba dan tampaklah sosok astral bermuka menyebalkan.

Ralat, sekarang dia sedang memakai masker hitam serta topi hitam dengan kaos hitam, jaket hitam, celana panjang hitam, sepatu hitam, intinya semua serba hitam.

Apa aku kenal dia? Batin Sunghyo dalam hati.

"Kesayanganku..." Sosok itu menginterupsi kegiatan Sunghyo dengan tingkat imut kesetanannya. Mengerikan

Tangan orang itu merentang ke samping sambil berdiri di hadapan Sunghyo. Tengah memasang tampang yang ia rasa paling berbinar.

"Apa? Kenapa? Jika minta makan sana ke dapur jangan menggangguku!" Sunghyo membalas.

Orang itu tak bergeming dari posisi maupun ekspresinya. Dia bertanya, "Apa aku tidak mendapat pelukan?"

Sunghyo menekan tuts piano dengan sedikit lembut dan menjawab, "Najis!".

"Oke tak apa". Orang itu menunduk sejenak dengan tangannya yang juga turun dan wajahnya cemberut tapi kembali mendongak menghampiri Sunghyo. Duduk bersila di piano dan menatap Sunghyo berbinar lagi tanpa berbicara apa maunya.

Dengan segenap kemampuan instingnya akhirnya Sunghyo paham maksudnya.
"Dasar bayi, aku sedang malas keluar rumah! Pergi sana!"

"Ayolah temani aku melihat balapan!" Pinta orang itu dengan tangan memohon didepan dada.

MazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang