Chapter 8

92 17 13
                                    


~☆~

Jika 100% adalah sempurna, maka 20% adalah haruslah membaca resep lagi. Itupun jika punya bukunya. Itulah yang dilakukan Seulyoung sedari tadi. Mengaduk adonan berulang kali untuk mendapatkan hasil yang pas sesuai lidah pekanya. Sampai disisi lain rumah, tempat Rira menonton televisi pun menjadi sedikit suara. Ya kecuali suara dari kotak dihadapan Rira itu.

Saat tak ada yang lebih menyenangkan dari bersantai dan menonton tayangan yang semakin hari semakin banyak itu, seorang ahli masak seperti Seulyoung malah mengaduk tepung dan sebangsanya di dapur. Sungguh membuang waktu. Entah hari ini adalah hari terakhirnya bersenang-senang sebelum esoknya harus menjadi babu dari...ah mengingat namanya saja Rira ingin muntah. Apa iya sekarang waktunya menyesal.

"Kan aku tidak tahu dia jagonya balapan." Ujar Rira pada dirinya sendiri. Sekarang dia bingung dan menelungkupkan wajah ke lututnya yang tertekuk. Tak lama sampai suara gaduh dari dapur memaksanya mengangkat pandangan ke arah dimana dapat Rira lihat, Seulyoung mengambil langkah panjang menuju arahnya sambil memakai celemek hijau kesayangannya dan pipi sebelah kanan yang dihiasi tepung.

"Rira, aku akan pergi ke toko buku dulu. Aisshh... sungguh aku sudah kenyang mejilat adonan tak jadi. Kau jaga rumah ya, bye!" Ucapnya tergesa sambil meraih tas selempang tanpa mengecek penampilannya. Ingin Rira berteriak mengingatkan tapi...

"Biarkan sajalah, sekali-kali." Rira tertawa puas setelahnya. Sebenarnya itu juga bukan satu atau dua kali. Tapi jika sudah seperti itu, tidak ada yang bisa menghentikan Seulyoung.

.

.

.

Terhitung 30 menit sudah Minyeon menunggu sahabat karibnya di bangku taman itu. Ditemani beberapa bungkus kripik kentang, yang telah habis dan tersisa satu bungkus ditangannya, dia menunggu dan menunggu. Ada niatan pula untuk membuka bungkus terakhir kripik kentangnya, namun ia teringat bahwa seharusnya kripik itu untuk Sunghyo.

"Katanya sendiri akan datang tepat waktu jika kubawakan kripik kentang, tapi sekarang?" Kesal Minyeon sambil menendangi kerikil dihadapannya. Dia berjalan merunduk sambil menendang terus kerikil tadi namun langkahnya terhendi saat ia menyadari kerikil tadi menuntunnya pula pada sosok dihadapannya. Hati Minyeon menghangat.

"Kalau didrama-drama, pujaan hati sang gadis pasti telah berdiri menanti dengan senyuman." Batin Minyeon.

Tentunya itu sebelum ia mengangkat kepalanya memandang siapa sosok dihadapannya. Dan...

"Kau!!!" Anjlok sudah rating drama itu. Bagaimana bisa pangeran tampannya berubah menjadi laki-laki idiot bermarga Park yang sehari-hari menghiasi masa-masa sekolahnya dengan sikap menyebalkannya.

"Hai Cumi!" Haeji tersenyum khas dengan wajah berbinarnya. Kejadian yang klise sebenarnya namun entah kenapa kelopak sakura yang tersapu angin juga menghiasi wajah itu. Minyeon dibuat terpana sesaat. Namun segera ia alihkan pandangannya ke lain, sebelum orang gila itu mengira yang tidak-tidak.

"Eh..kenapa menatap arah lain. Padahal susah lho mendapatkan senyumku dipagi hari." Ujar Haeji dengan pedenya.

"Cihh.. yang benar saya. Apa maksudmu senyum bodoh seperti itu yang patut aku terima." Balas Minyeon.

"Aku hanya memberikan apa yang pantas kau dapatkan. Seperti cerminan." Ujar Haeji namun kali ini dengan langkah panjang meninggalkan Minyeon.

MazeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang