BG #9

2.1K 182 4
                                    

"Kalau kamu memang mau cerai, yasudah! Ceraikan aku sekarang juga, Ndra!"

"Baiklah, besok aku akan urus semuanya. Kamu tinggal tunggu surat dari pengadilan!"

"CUKUP!"

Muak. Itu yang Ale rasakan. Bahkan disaat kondisinya seperti ini pun, kedua orang tuanya masih sempat bertengkar di hadapannya. Sungguh tidak memperdulikan perasaannya.

“Kalau kalian mau bertengkar di luar! Jangan di sini. Kepalaku makin sakit denger kalian teriak-teriak!” sarkas Ale.

Aini, selaku ibu sang anak berinsiatif mendekati sang putra. Hendak memberi pelukan hangat tapi urung karna pergelangan tangannya dengan cekatan Andra tahan.

“Mau apa kamu? Keluar dari sini. Ale sudah tidak butuh kamu dan kamu bukan istri ku lagi sekarang. Jadi keluar,” ucap Andra penuh dengan penekanan.

“Siapa yang bilang hak asuh Ale jatuh ke kamu? Dia akan bersamaku. Anak-anak ikut denganku.”

“Kamu pikir mereka mau? Ha?”

“Lalu kamu pikir mereka juga mau tinggal sama kamu? Ayah yang sebentar lagi membawa ibu baru untuk mereka?”

“Cukup, diam aku bilang! Aku enggak mau ikut siapa-siapa. Aku mau hidup sendiri! Keluar! Keluar!” dengan brutal Ale melempari Aini juga Andra dengan benda sekitarnya sampai semuanya jatuh berserakan di atas lantai kamarnya.

Sekarang tinggallah Ale seorang diri. Di dalam kamar yang kondisinya sudah tidak jelas lagi. Melipat lututnya lalu menyembunyikan wajah kacaunya diantaranya. Menangis tergugu meluapkan rasa sakit yang sudah melebur jadi satu.

“Mama Papa kenapa di luar?” tanya Olive.

Wanita yang baru saja tiba di rumah sakit usai kuliahnya selesai bertanya bingung. Kedua orangtuanya tampak tak bertatap pandang. Sang mama duduk di kursi tunggu sedangkan sang papa berdiri tidak jauh dari pintu kamar rawat Ale.

“Ale usir kita. Kamu coba masuk dan tenangin dia,” kata Andra mencoba tenang.

“Mama Papa bertengkar lagi?”

Keduanya bungkam, hening memeluk ketiganya. Dan tanpa dijawab pun Olive sudah sangat mengerti situasi mencekam di sana.

“Olive masuk dulu,” putusnya.

Langkahnya mengayun pelan. Sebelah tangannya memutar knop pintu tersebut. Mencoba masuk dengan perlahan. Tidak mau mengagetkan atau membuat sang adik terkejut. Namun, saat sepasang kakinya sudah tiba diambang pintu justru dirinya yang terperangah kaget melihat kondisi kamar sang adik yang sangat berantakan.

Tampak sang adik menangis tergugu di atas ranjang. Dengan wajah yang tersembunyi diantara kedua lututnya. Dengan cepat Olive buru-buru mendekat. Mendekap tubuh bergetar itu dengan protektif sembari berkata, “Hey sudah jangan nangis lagi. Ada Kakak di sini.”

“Kak Olive ... hiks ... Mama Papa ....”

“Mereka berantem lagi?” Ale mengangguk kecil.

Olive makin merapatkan pelukannya. Menciumi rambut sang adik sembari mengusap tengkuk lehernya.

“Iya, Kak Olive tahu. Sekarang mereka udah gak di sini. Cuma ada Kak Olive. Jadi, Ale jangan nangis lagi, ya?”

“Mereka mau cerai, Kak.”

Olive seketika membeku. Membelalakkan matanya, menatap kosong objek di depannya. Ia kira mereka hanya tidak tahu diri dengan bertengkar di depan Ale. Namun, lebih parahnya mereka juga bicara tentang perceraian di depan sang adik yang bahkan kondisinya masih belum membaik.

“Aku gak mau ikut Mama ataupun Papa. Aku gak bisa milih. Aku cuma mau mereka utuh. Aku gak mau mereka pisah, hiks ....”

Untuk sejenak Olive menghela napasnya singkat. Memejamkan mata sebentar guna meredam matanya yang sudah mulai perih.

“Kamu gak usah khawatir. Kalaupun mereka pisah masih ada Kakak di sini. Kita bisa hidup sama-sama. Kamu tenang. Okey.” Ale pun mengangguk. Membalas pelukan sang kakak guna melebur tangis.

Sedangkan di luar ruangan Aini juga Andra masih bungkam masing-masing. Andra melamunkan dirinya guna menghilangkan emosinya tadi. Tapi tidak dengan Aini, perempuan itu masih menyimpan amarah membara dengan mata nyalang menatap sang suami dari tempatnya. 

Merasa diperhatikan, Andra pun memutar pandangnya. Membalas mata merah Aini dengan emosi yang sudah lumayan mereda.

“Apa lagi? Masih mau marah-marah? Kamu lupa kalau kita masih di depan kamar rawat Ale? Dia sampai ngusir kita itu gara-gara emosi kamu yang gak bisa kamu kontrol,” ucap Andra.

“Apa, Mas? Kalau kamu gak selingkuh aku gak akan buang-buang tenaga buat marah-marah sama kamu di depan Ale.”

“Aku bilang aku gak selingkuh, Aini. Bukti apalagi yang harus aku kasih ke kamu. Kenapa kamu selalu cemburu berlebihan seperti ini?”

“Ha? Berlebihan katamu, Mas? Jadi aku begini menurutmu berlebihan?” Aini bangkit dari duduknya lalu mendekati Andra.

“Gak cuma sekali dua kali aku lihat kamu mesra-mesraan sama orang-orang kantor. Bahkan rumor kalau kamu selingkuh sama bawahan kamu itu sudah menyebar kemana-mana. Apa kamu gak malu, Mas?”

“Aku gak malu karna aku memang gak melakukan hal yang mereka tuduhkan ke aku. Aku cuma sewajarnya ke bawahanku. Mereka saja yang melebih-lebihkan. Dan juga kamu yang terlalu cemburu.”

“Ah, sudahlah. Aku tetep mau kita cerai. Aku udah gak kuat sama sikap kamu, Mas. Kamu egois,” ucap akhir Aini sebelum melenggang pergi menjauh. Andra mengusap wajahnya kasar. Memukul dinding sebagai tanda pelampiasannya.

“Kalau emang Mama sama Papa mau pisah jangan ajak aku atau Ale ikut salah satu diantara kalian berdua. Aku sama Ale bisa jaga diri sendiri. Jadi kalian gak perlu khawatir,” ucap Olive yang baru saja keluar dari dalam.

Andra yang baru sadar langsung dibuat terkejut. “Jangan. Kalian harus ikut Papa. Papa yakin dipersidangan nanti Papa yang akan menang atas hak asuh kalian berdua. Papa mau kalian sama Papa terus, Olive.”

“Pa ... Papa sadar gak sih, kita bukan barang yang bisa kalian berdua perebutkan. Kalau memang kalian berdua udah gak bisa akur lagi buat apa kalian masih mikirin kita berdua. Aku lebih sayang sama Ale. Aku gak mau dia makin frustasi dan malah milih buat bunuh diri lagi. Aku bisa jaga adik walau sendiri.”

“Terserah kamu, Olive. Yang pasti Papa akan bawa kalian tinggal sama Papa. Titik,” kekeuh Andra. Kemudian berlalu begitu saja sama seperti yang dilakukan Aini tadi.

“Kalian egois. Bahkan Ale masih sakit pun kalian masih mementingkan keegoisan kalian! Aku benci Mama Papa!”

Olive menyandar lesu. Menangis sejadinya di luar kamar sang adik. Tadi dia sudah menenangkan Ale dan sekarang sudah tertidur pulas. Mengingat tangis sang adik beberapa menit yang lalu tentu saja mengoyak relung batin Olive. Ia merasa gagal menjadi seorang kakak. Dan rasanya bukan hanya kedua orang tuanya yang egois, tetapi dirinya pun egois dengan berbohong akan kebahagiaan yang ia ucapkan kepada sang adik.

Tbc

Re-up 07 Juni 2020.

See youu!!!!

I Hope (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang