Setelah selamat dari maut, kini raganya tergeletak tak berdaya di atas brangkar dengan beberapa alat medis yang menempel pada tubuhnya. Terlebih lagi dengan selang oksigen yang masuk lewat mulutnya. Rasanya nyeri jika terus dipandang.
Sedangkan seorang perempuan dengan mata sembabnya enggan mengalihkan pandang dari sosok lemahnya. Olive, orang yang paling dekat dengan Ale.
Kenyataannya memang banyak yang adiknya itu sembunyikan. Tentang luka dibatinnya juga luka dikedua lengannya. Dokter sempat menjelaskan padanya, bahwa luka tersebut akibat dari sayatan yang disengaja. Dan tentu saja Ale lah yang melakukannya.
Self injury, itu kata dokter untuk sementara waktu. Dan tentu tugas Samuel sebagai psikolog saat ini sangat penting untuk terus mengontrol kondisi calon adik iparnya.
“Saya tinggal dulu,” kata dr.Pram selaku dokter yang menangani Ale di UGD tadi.
Samuel mengalihkan pandang lalu sedikit membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Dokter beruban itu menepuk pundaknya lalu mengumbar senyum. “Saya titip Ale.”
“Tentu, Dok. Dia adik saya,” mantap Samuel.
Dokter itu akhirnya berlalu meninggalkan Samuel seorang diri. Berdiri di depan pintu ruang rawat calon adik iparnya itu.
Entah bagaimana Samuel harus mendeskripsikan seorang Ale. Dimatanya Ale itu anak yang ceria, tidak begitu manja, mandiri dan juga tidak pernah mengeluh dengan sesuatu hal yang menurutnya tidak terlalu penting. Selama dekat dengan calon adik iparnya itu, attitude juga pembawaan Ale itu sempurna. Tidak ada cacat sedikitpun. Layaknya anak seusianya.
Namun dibalik tawa, canda dan wajah cerianya benar-benar berbanding terbalik 180 derajat dari aslinya. Anak itu mengerung dalam hati. Mengharapkan kasih sayang, kehangatan juga sebuah keluarga. Lebih tepatnya perhatian dari kedua orangtuanya. Dalam hati Samuel bangga kepada Ale karna bisa tetap bahagia meski keluarganya bisa dibilang tidak terlalu harmonis. Dan pikir dia, cukup dengan adanya Olive juga dirinya sudah cukup menutupi kekosongan dihati Ale. Namun sekali lagi, nyatanya tidak.
Anak itu tetaplah anak-anak biasa. Dia tumbuh sebagai mana umumnya anak seumuran dengannya. Memerlukan kasih sayang dan juga perhatian. Akan tetapi realitanya tidak sesederhana itu.
Samuel mungkin memang belum secara resmi masuk dan tinggal bersama dengan mereka, namun ada, setidaknya sedikit gambaran keluarga yang akan menjadi keluarganya itu juga.
Ayah dan ibu pasangannya itu memang tidak bisa dikatakan harmonis. Sering bertengkar. Bukan rahasia umum lagi memang. Dua orang dewasa itu memang sering beradu pendapat dengan nada lantang dan juga emosi yang meletup-letup.
Di sini diamnya Ale bukan berarti membiarkan pertengkaran kedua orangtuanya itu, namun mencoba meredam emosinya sendiri dan berujung dengan melukai dirinya sendiri sebagai pelampiasan. Ingat, Samuel adalah seorang psikolog. Tentunya dia bisa menebak atau menerka perihal kasus yang dialami calon adik iparnya itu.
“Bagaimana, Sam kondisinya?”
Seseorang bertanya kepadanya dan muncul dari arah belakangnya. Ibu Ale, Aini. Dengan penampilan yang luar biasa berantakan, Aini datang kembali setelah selesai dari kasir administrasi rumah sakit.
“Masih sama, Tante. Tapi sudah tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Ale pasti baik-baik saja,” sahut Samuel dengan nada lembut menenangkan.
“Terima kasih, Sam.” Senyum simpul milik calon mertuanya itu tercetak jelas diwajah cantiknya. Sama seperti Olive. Keduanya cantik dengan takaran yang pas.
“Harusnya kata itu Tante lontarkan untuk Ale bukan saya. Saya hanya bertugas menjaganya. Selebihnya tetap Ale lah yang berjuang lebih keras. Dan sebaiknya Tante menenangkan diri dulu, pulang ke rumah dan besok pagi bisa kembali lagi ke rumah sakit. Tante keliatannya capek banget.”
Wanita berpakaiannya penuh darah itu menghela napas panjang. Benar, dia masih terlalu lelah dan kaget tentunya. Debaran di dadanya saja masih belum terkontrol. Masih ada rasa khawatir yang berlebihan. Bagaimana tidak, sang putra jelas-jelas tergelepar di atas peping pekarangan rumah depan tepat di depan mata kepalanya langsung.
“Enggak, Sam. Tante masih mau di sini nemenin Ale.” entah mengapa air matanya lolos tanpa komando.
“Baju Tante kotor, pasti enggak nyaman. Lagipula Ale masih belum boleh dijenguk. Tante cuma boleh lihat sampek sini aja. Yang artinya Tante tidur di luar. Lebih baik tidur di rumah. Di sini Ale enggak sendirian, banyak yang ngawasin dia termasuk aku, Tante.”
Dalam hati Aini membenarkan pernyataan Samuel. Ini rumah sakit, besar dan cukup terkenal juga. Pasti penanganannya cepat dan lebih efektif. Lagi pula apa yang ia khawatirkan, bukannya sang putra sudah baik-baik saja?
“Baiklah kalau begitu, Tante izin pamit pulang. Kalau ada apa-apa sama Ale hubungi Tante secepatnya, ya, Sam. Tante titip Ale,” putus Aini cepat.
Samuel tentu saja mengangguk lalu mengantarkan Aini menuju ke lift untuk turun ke lobi rumah sakit. Setelah memastikan Aini sudah masuk ke dalam lift Samuel bergegas kembali ke tempat semulanya tadi. Namun ternyata ada seseorang tengah berdiri di depan ruangan tersebut.
Dari belakang Samuel bisa menebak siapa orang berjas hitam tersebut. Andra, ayah Ale. Kenapa pria itu datang setelah Aini pergi? Jawabannya cukup jelas tanpa ditanya. Tentu saja mereka bertengkar.
“Om Andra?” sapa Samuel menepuk bahu Andra dari belakang.
Dari tempatnya Samuel bisa melihat gerakan cepat Andra mengusap sudut matanya yang basah kemudian tersenyum paksa ke arahnya.
“Samuel,” sahutnya. “Bagaimana kondisi, Ale?”
“Ale sudah tidak apa-apa, Om. Hanya saja luka di kepalanya memang sedikit parah dan masih perlu menunggu hasil CT-san terlebih dahulu. Besok sudah keluar kata Dokter yang menangani tadi,” penjelasan singkat Samuel.
Ada rasa lega dalam benak Andra. Sedari tadi dirinya memang bersembunyi di balik dinding tidak jauh dari ruangan tersebut. Alasannya tentu saja karna ada Aini. Dan rasanya jika bertemu dengan Aini emosinya selalu membumbung. Aini terlalu sensitif dan lebih mengekspresikan emosinya tidak memperhatikan kondisi sekitarnya. Jadi lebih baik memang untuk Andra menjauh dulu selama masa kritis sang putra.
“Om tahu dari siapa kalau Ale di rumah sakit ini?”
“Siapa lagi, tentu saja dari Olive. Om sudah beberapa hari ini tidur di kantor dan tidak pulang barang sebentar, jadi Om cukup kaget mendengar kabar kalau Ale jatuh dari lantai 2 rumah,” jawab Andra serak.
“Dimana Olive?” sambung Andra.
“Saya suruh pulang, Om. Tadi Tante juga menyusul, saya suruh pulang juga. Mereka kayaknya masih syok juga kaget dan perlu istirahat. Om juga lebih baik pulang aja.”
Andra mengalihkan pandang. Dengan tangan di lipat depan dada dirinya santai menanggapi pernyataan diselingi perintah dari Samuel barusan. “Tidak perlu. Om sudah lebih dari cukup istirahat. Lagi pula Om sekarang tidak punya rumah. Om mau di sini nemenin Ale,” katanya.
“Rumah Om kan—?”
“Om akan bercerai dengan Tante.”
Singkat, padat dan jelas cukup-cukup jelas untuk Samuel dengar.
“Tapi, Om ... A—le?”
“Ale akan ikut dengan saya.”
Tbc
14 Mei 2020 (Revisi)
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hope (Tamat)
Teen FictionKetika asa sulit untuk digapai. Mungkin kematian jalan ninjanya. Re-Up! ®Sugarcofeee