Ale duduk ditepi brangkar yang ada diruang UKS sekolah. Sibuk mengobati luka dilengan tanpa menghiraukan sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya dari sudut lain.
Dinar namanya. Dari bajunya sudah bisa dipastikan bahwa gadis itu petugas PMR yang mungkin kebetulan hari ini mendapat tugas berjaga di UKS. Meski tampak sedikit tidak peduli, gadis itu kedapatan beberapa kali mengalihkan pandang saat Ale membalas tatapannya.
Ingin rasanya membantu tapi penolakan dari Ale sebelumnya membuat dirinya enggan mencobanya lagi. Dia tidak mau ada orang yang tidak nyaman karenanya. Ale dengan gengsi besarnya terus berusaha mengobati dua lengannya yang terluka.
Jengah dengan Ale yang bergengsi besar padahal tengah kuwalahan antara menahan perih juga mengobati, membuat Dinar gemas lalu beranjak mendekat.
"Sini biar aku bantu."
"Enggak usah. Aku bisa sendiri." Ditolak untuk ketiga kalinya.
"Enggak usah ngeyel, deh. Luka kamu ini lumayan parah. Kamu bukannya ngobatin malah nambah memperburuk. Bisa infeksi. Udah diem aja."
Dengan sedikit memaksakan kehendak Dinar menarik lengan atas Ale lalu mengobatinya dengan benar. Cukup lama, tanpa percakapan sedikitpun keduanya sibuk masing-masing. Ale dengan kesakitannya sedangkan Dinar mengobati luka itu.
Berkutat dengan kapas juga obat merah membuat Dinar bergidik ngeri. Luka itu terlalu rapat. Apa pemuda itu sengaja melakukannya? Melukai dirinya sendiri. Tapi dilihat dari ekspresinya yang kesatikan membuat Dinar berasumsi lain.
10 menit berlalu akhirnya Dinar selesai dengan kegiatannya. Merapikan semua lalu beranjak pergi. Bukan Dinar tapi Ale. Pemuda itu langsung menutup lengannya dengan baju seragamnya. Beruntung seragam disini lengannya panjang jadi bisa sedikit Ale manfaatkan.
"Eh! Enggak makasih gitu?" Pekik Dinar. Namun Ale menghiraukannya.
Diluar sana Ale merutuki dirinya sendiri. Bagaimana dia malah mengabaikan orang lain yang telah mau berbaik hati menolongnya. Sungguh tidak tahu diri bukan?
Sudahlah, masih ada hari lainnya untuk membalas budi gadis itu. Mereka juga teman satu sekolah. Tidak terlalu sulit untuk bertemu lagi. Hanya berbeda kelas itu bukan masalah.
*
Malam yang sunyi. Hanya suara dari televisi yang menemaninya sekarang ini. Sang kakak belum pulang dari kuliahnya sedangkan orang tuanya ...
Mana mungkin dua orang dewasa itu pulang kerumah tepat waktu. Apalagi Hendra yang seminggu ini tidak bertandang kerumah lagi setelah pertengkarannya dengan Aini malam itu.
Disofa ruang tengah Ale merobohkan tubuhnya setelah perutnya penuh dengan mie instan favoridnya.
"Alhamdulilah kenyang," ucapnya penuh kelegaan. Selanjutnya bersendawa sekeras-kerasnya. Dirumah besar itu hanya ada dirinya. Jadi sesuka sultan saja, lah.
Ponsel yang menganggur sedari tadi diatas meja akhirnya Ale raih. Sebenarnya tidak tahu mau apa. Dia tidak mempunyai pacar atau bahkan sahabat. Hanya Dion. Itupun tidak sering beinteraksi apa lagi chating-chatingan manja seperti sahabat pada umumnya.
Setelah beberapa menit sibuk mondar-mandir dilaman menu saja pada akhirnya Ale bermain game online yang ada diponselnya. Daripada nganggur dan bosan. Padahal televisi besar didepannya sedang meraung-raung minta perhatiannya.
Kurang lebih waktu 1 jam Ale terbuang begitu saja hanya untuk bermain game. Ujung-ujungnya pemuda itu tidur dengan ponsel masih menyala. Gamenya belum di exit dan tidak akan berhenti meraung sama seperti televisi didepannya.
Tidak lama setelah Ale terlelap, Aini akhirnya pulang kerumah. Pukul 20.20 malam dan rumahnya terlihat sepi dari luar. Sepertinya tidak ada satupun orang dirumah. Tapi suara televisi langsung menyambutnya.
Langkahnya langsung mengayun kearah ruang tengah. Aini langsung disambut dengan tampilan televisi yang menyala terang dengan suara menggema seisi ruang tengah.
Sebuah kepala terlihat menyembul dari balik sofa yang memunggunginya menghadap televisi. Bisa ditebak itu pasti putranya. Apa dia tertidur di sofa? Melangkah maju Aini menghampiri sang anak. Membereskan sisa makanan putranya yang masih berserak diatas meja.
Apa ini kebiasaan Ale? Tidur di sofa dan gemar memakan mie instan? Bukannya nasi? Seperti tidak peduli dengan tubuhnya sendiri. Tunggu, Aini baru memikirkannya. Selama ini kemana Aini pergi? Sampai tidak tahu kebiasaan anaknya yang baru saja ia bilang buruk.
Menghela napas panjang, wanita karir itu bangkit kemudian melangkah kedapur. Menyimpan piring kotor di wastafel dapur. Lalu bergegas kembali ketempat sang anak tadi.
Hendak membangunkan sang putra dari tidur untuk pindah kekamar, namun niatnya urung kala melihat wajah tenang putranya dalam lelap. Sudah sebesar ini putranya kini. Aini rasa sudah terlalu jauh meninggalkan anak-anaknya dibelakang sedangkan dia terus mengejar popularitas. Meski hasil kerja kerasnya itu untuk mereka juga.
Tidak tega membangunkan Ale pada akhirnya Aini mengambil selimut dari dalam kamarnya. Menutupi tubuh kecil putranya kendati tadi dia bilang putranya sudah besar. Merapikan posisi sang anak senyaman mungkin.
Namun untuk sejenak alisnya bertautan. Menyerngit heran kala dengan tidak sengaja gerakannya menyimbak lengan baju panjang putranya yang sedikit kebesaran itu. Didorong rasa penasaran, Aini mengangkat kaos tersebut. Menampakkan perban yang membalut lengan kecil putranya.
Pupil mata wanita cantik itu membesar, kaget kala melihat ada luka ditubuh anaknya. Apa ini alasan Ale mengenakan kaus berlengan panjang. Penasaran dengan sisi satunya, Aini turut membukanya dan hal yang sama ia dapati. Kedua lengan tangan Ale berbalut perban.
Semenit berlalu, Aini diam dengan pikirannya hingga tanpa ia sadari Olive sudah ada disampingnya.
"Ale kenapa, Ma?" Tanyanya penuh dengan kekhawatiran.
Aini menggeser tubuhnya, menatap lamat kearah anak sulungnya.
"Justru Mama yang tanya itu ke kamu. Ale kenapa bisa sampai begini?"
Olive terkejut. Apa maksudnya?
"Kamu yang selalu dirumah dengan adik kamu, 'kan? Harusnya kamu yang lebih tahu tentang dia."
"Mama gak sadar diri? Mama yang jelas-jelas ibunya aja gak tahu tentang anaknya sedikitpun. Lalu Mama malah menghakimi aku?"
Batin Aini mencelos. Tanpa basa basi Olive mencecarnya telak. Membunuhnya dengan tatap mengintimidasi. Membuat rasa bersalah bertumpuk pundung dipundaknya. Matanya berbinar membeku kala melihat gurat kepanikan dari putri sulungnya.
"Al ... bangun," ucap Olive lembut. Menepuk kedua pipi gemas itu dengan sangat pelan.
Merasa terusik sang empunya pun bangun dari tidurnya. Berulang kali mengerjap guna menfokuskan pandangnya.
"Kenapa, Kak?" Jawabnya dengan suara parau.
"Pindah ke kamar, yuk. Kakak juga ada perlu sesuatu sama kamu."
Tanpa disengaja Olive mencengkram lengan berbalut perban sang adik. Sontak saja membuat sang empunya meringis kesakitan namun ditahan. Ale tetap mengikuti langkah sang kakak menuju kamarnya dengan masih diseret Olive.
Tbc
Yeye, cumq 27 part kok. Baca ulang gak papa ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
I Hope (Tamat)
Teen FictionKetika asa sulit untuk digapai. Mungkin kematian jalan ninjanya. Re-Up! ®Sugarcofeee