BG #8

2.4K 177 18
                                    

“Udah jangan terus khawatir. Ale udah baik baik aja, kok.”

Samuel menepuk pundak Olive sampai membuat dirinya terperanjat dan juga kaget.

“Suster bisa keluar lebih dulu. Saya masih mau di sini,” perintah Samuel kepada salah satu perawat yang ikut bersamanya saat memeriksa Ale.

Perawat cantik itu mengangguk lalu bergegas undur diri dari ruangan tersebut. Senyum manis Olive mengukir indah, membuat dua pipinya membulat sempurna layaknya balon yang ingin sekali Samuel cubit.

Daddyable banget sih pacarku ini." Gemas Olive yang kemudian menghadiahkan sedikit cubitan dihidung bangir milik Samuel.

"Ihhh, apaan sih kamu ini. Sakit! Gak usah berlebihan," sanggahnya dan tidak mau kalah dia membalas perbuatan Olive yang mencubit hidungnya barusan.

Olive tentu saja memberontak. Cubitan Samuel lama dan makin membuat Olive benar-benar kesakitan juga tidak bisa bernapas. Sialnya Samuel terlalu kuat untuk ukuran Olive yang bertubuh lebih kecil dari sang pacar.

“Ale udah aku anggap adik aku sendiri. Jadi wajar kalau aku sayang sama dia setara kayak sayang aku ke kamu. Tapi tetep masih banyakan sayang aku ke kamu. Dan Ale itu anak kita.” Samuel berlagak santai. Melirik sekilas Olive yang pipinya sudah meremang merah. “Anggap aja gitu,” sambungnya.

Kemudian tanpa ba bi bu lagi Olive menarik tubuh Samuel lalu memeluk pinggangnya dan menatapnya lebih dekat. Dengan senyum yang tidak bisa Samuel deskripsikan Olive terus menatap lekat dua iris mata milik Samuel tanpa berkedip.

“I love you,” putus Olive penuh bunga-bunga cinta. Dan dihadiahi sebuah ciuman manis pula dari Samuel.

*Ps : Uhhhh mereka ciuman di depan Ale. Untung aja Ale lagi bobok syantik :)*

*

“Ale itu hebat ya. Dia bisa menipu kita.”

Samuel membuka suara. Membuyarkan hening yang mereka biarkan sedari tadi. Di taman rumah sakit kini keduanya tengah duduk dengan menu makan siang di masing-masing pangkuan mereka.

“Apa benar dia coba buat bunuh diri?” 

“Kalau menurutku enggak. Kalo emang dia berniat bunuh diri pasti udah langsung ke urat nadi. Tapi dalam kasus Ale dia cuma lukai lengan tangannya, enggak melukai urat nadinya sedikitpun.”

“Lalu??”

“Aku takut ini gejala self injury. Tapi kata dokter yang kemarin menolong Ale, dia bilang dengan mantap dan yakin kalau Ale itu memang self injury,” kata Samuel.

“Apa itu?”

“Self injury itu gejala stress yang sudah lumayan parah. Jadi penderita bakalan lukain tubuhnya sendiri untuk mengekspresikan perasaannya. Kayak kecewa, sedih, tertekan, kehilangan, dan lain sebagainya. Kadang penderita bakalan dengan sengaja melakukan hal-hal yang di luar nalarnya.”

“Maksud kamu?”

“Kemungkinan Ale menderita self injury, tapi semoga diagnosaku salah.”

Olive diam seketika mencoba mencerna semua ucapan dan penjelasaan dari kekasihnya itu. Walaupun Samuel sudah menggunakan kalimat sesederhana mungkin tapi entah mengapa otak Olive serasa sulit menerima. Istilah yang masih baru untuknya.

“Kita liat aja perkembangan Ale, oke? ... aku bakalan bantuin kamu buat jaga dan perhatiin Ale lebih lagi.”

Samuel merengkuh kedua bahu Olive lalu  membawa nya ke dalam pelukannya. Dan yang bisa Olive lakukan hanya membalas pelukan hangat itu tanpa berucap apapun.

*

“Aku mau pulang sekarang.” Rengek anak itu di atas bangsal.

Baru saja sadar. Bahkan dia masih mengeluhkan sakit di kepalanya berulang kali. Tapi sudah berani merengek minta untuk dipulangkan. Apa yang Ale rindukan di rumahnya sebenarnya. Orang dalam ruangan itu benar-benar dibuat geleng-geleng kepala.

“Jangan macam-macam Ale. Kamu itu baru aja sadar udah minta pulang? Mau Kakak panggang sampek rumah?” kata Olive dengan nada sedikit meninggi.

“Enggak. Ale mau makan dan minum obatnya di rumah aja bukan di sini," kekeuh anak itu  dengan tangan dilipat depan dada juga wajah yang berpaling.

“Seminggu lagi. Kalau kamu sudah baik-baik saja paling lama itu seminggu lagi kamu baru boleh pulang. Tapi untuk sekarang saya sendiri belum mengizinkan kamu pulang, bagaimanapun aksi kamu, tetap saya tidak mengizinkan kamu untuk pulang,” terang Dokter Bram—Dokter yang menangani Ale. 

Untuk kondisi Ale sendiri sebenarnya tidak terluka cukup serius tapi tetap saja butuh penanganan. Terlebih lagi luka yang sedikit cukup parah adalah di bagian kepalanya. Untungnya tinggi lantai 2 dengan peping rumah mereka tidak terlalu tinggi.

“Tuh, denger apa kata Dokter? Kamu baru aja jatuh dari lantai dua lho, Al. Apa yang buat kamu senekad itu? Jawab Kakak!” hardik Olive langsung. 

Bukannya menjawab, anak di atas bangsal itu mendesah keras. Sudah bisa ia tebak sebelumnya, dirinya masih selamat dan saat sadar kakaknya akan mengintrograsinya dengan kalimat tersebut.

“Ayah Bunda di mana, Kak?” pertanyaan yang sebenarnya Ale tau jawabannya. Tapi taktik Ale untuk mengalihkan topik pembicaraan.

Olive memutar bola matanya malas. Sungguh adiknya ini minta di sunat dua kali. Susah sekali untuk terbuka. Padahal dia kakaknya sendiri. Kakak kandung.

“Jawab pertanyaan Kakak dulu,” tegas Olive. Kali ini dia benar-benar menuntut penjelasan dari Ale.

“Aku juga nanya ke Kakak, dimana ayah sama bunda.” tidak mau kalah. Meski masih sangat lemah Ale berani membalas bentakan sang kakak dengan bantahan.

“Ke kantor. Kakak heran sama kamu, Kakak ini siapa kamu, Al, kenapa kamu gak mau cerita sama Kakak. Kenapa kamu pendem semuanya sendiri?”

“Karna aku tahu, Kakak juga ngalamin hal yang sama kayak aku. Keluarga kita hampir rusak, dan itu berat. Aku enggak mau nambahin beban Kakak. Maka dari itu aku milih diam dan nyari pelampiasaan lainnya.” Lirih suaranya tercekat. Tenaga anak itu habis hanya dengan mengucap kalimat yang sebenarnya tidak terlalu panjang namun makna yang terkandung cukup menguras tenaganya.

Olive menggigit bibir dalamnya. Tidak disangka kalau alasan sang adik cukup jelas dan singkat. Memang Olive memikul banyak sekali beban. Kuliah dipenghujung semester benar-benar menguras semua konsentrasi nya tanpa dia sadari. Ditambah lagi masalah rumah yang rasanya tidak ada nyaman-nyamannya sama sekali.

“Maafin Kakak,” kata Olive penuh penyesalan.  Menangis tersedu-sedu.

“Kenapa minta maaf. Ini bukan salah Kak Olive, ini salah Ale,” sanggah sang adik.

Olive langsung menubruk tubuh lemah itu. Memeluknya protektif dan menghiraukan ringisan kecil dari sang adik.

“Olive, lepas dulu. Ale kesakitan,” lerai Samuel pelan.

Sadar dengan itu, Olive langsung melepas pelukannya. Ia lupa kalau Ale baru saja sadarkan diri. Dan dia malah seprotektif ini. Olive merutuki perilaku tiba-tibanya barusan.

“Ah, iya maafin, Kakak. Ada yang sakit?”

Ale menggeleng. Mencoba membuka matanya lebar meski sayu.

“Kamu lebih baik istirahat lagi biar cepet sembuh trus boleh pulang,” perintah Samuel pada Ale.

Anak itu kembali menggerakkan kepalanya pelan. Kali ini mengangguk. Karna memang Ale rasa lelah, padahal hanya berbaring. Dengan satu kecupan dari Olive, Ale menjemput mimpinya dengan tangan yang terbebas dari infus digenggam erat oleh sang kakak.

Tbc






14 Mei 2020 (Revisi)

I Hope (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang