7 | Berulah

1.5K 76 5
                                    

Vania menghampiri Dara saat jam istirahat, dimana Dara sedang tidak ditemani Vyra.

Ia selalu mencari kesempatan untuk merendahkan Dara didepan para siswa dan siswi. Tujuannya hanya ingin mencari muka, ia ingin terlihat hebat dengan apa yang dilakukannya, ia ingin terkenal dengan caranya yang salah. Padahal sudah jelas, Dara tidak memiliki masalah apapun dengannya. Egonya saja yang terlalu berlebihan. Ia terlalu terobsesi ingin memiliki Alaska.

Vania menghampiri Dara yang sedang berjalan tertunduk melewati lorong belakang sekolah. Tempat yang selalu sepi, tidak pernah ada yang ingin melewati lorong tersebut. Di lorong itu hanya ada pohon-pohon besar yang berdaun lebat, dan atap lorong yang catnya sudah mengelupas, serta kegelapan yang menyertai. Membuat siswa dan siswi di SMA Regalka tidak mau melewati lorong menyeramkan itu.

"Mau sampai kapan lo deketin cowok gue?" satu tangan Vania mencengkeram dagu Dara, hingga Dara sulit untuk bernapas.

Dara menatap Vania yang memelototinya. "Ng-nggak, Van"

"Nggak apa? Lo mau deketin cowok gue sampai dia jadi pacar lo, gitu?!" Vania menatap tajam, meninggikan suaranya.

"Sakit, Van" mata Dara berkaca-kaca, hatinya berdebar tak keruan. Dagunya terasa sangat sakit, Dara sulit bernapas.

"Apa? Enak?" cengkeraman Vania semakin kuat, membuat kepala Dara hampir terdorong ke belakang.

"Sakit, Van. Maafin aku" air mata mulai keluar dari pelupuk mata, Dara tak kuat menahan air matanya.

"Kalo lo deketin Alaska lagi, siap-siap aja" senyuman miring terukir di bibir Vania.

Vania meninggalkan Dara yang masih terdiam, tertunduk, dan menangis.

Tubuhnya lemas, Dara terjatuh di lantai yang berdebu dan kotor. Pikirannya tak keruan, hatinya berdebar kencang, ia takut hal ini terjadi lagi.

Ma, Pa, tolong Dara. Hatinya menjerit. Andai saja kedua orangtuanya mengetahui ini.

"Lo kenapa, Ra?" tanya Vyra, menatap dara yang sedari tadi terdiam.

Senyum palsu terukir di bibir Dara. "Aku gak kenapa-napa, Vyr."

"Mata lo merah, lo habis nangis kan? Lo gak akan bisa bohong. Cerita sama gue, lo kenapa?"

"Woy, cabe murahan! Lo apain Dara?!" Vyra mendorong pundak Vania hingga hampir terjatuh.

"Apa-apaan lo dorong-dorong gue. Baju gue kotor nih!" Vania menepuk pundaknya.

"Gue tau, pasti lo kan yang bikin dara nangis tadi?" Vyra menatap Vania tajam. Sementara Vania masih saja menepuk-nepuk pundaknya seolah benar-benar kotor.

Vyra tak tahan dengan sikap Vania yang berlebihan ini, "Jawab! Punya mulut gak lo?!" meninggikan nada bicaranya.

Vania berhenti menepuk pundaknya, "Berani lo sama gue?" ia menaikkan satu alisnya ke atas.

"Emang lo siapa?" Vyra melipat kedua tangannya di depan perut.

Pertanyaan sekaligus pernyataan yang dilontarkan oleh Vyra itu membuat Vania menggebu-gebu, wajahnya memerah. Vyra membuatnya memosi tinggi.

Vania menatap tajam Vyra. Tak butuh waktu lama, Vania menjambak rambut Vyra dengan kuat hingga hampir jatuh. Vyra yang tak terima, menjambak rambut Vania juga dengan sekuat tenaga.

"Gue yang paling cantik di SMA Regalka ini!" Vania menarik rambut Vyra dengan kelima jarinya.

"Puas lo ganggu sahabat gue?!" jambakan Vyra semakin kuat.

Vania semakin kencang menjambak rambut Vyra. "Pelakor itu gak akan bisa ngalahin gue!"

Kelakuan mereka membuat satu persatu siswa berdatangan, beramai-ramai menonton kejadian ini.

"AYO VYRA! GUE DUKUNG LO!"

"VANIA! JANGAN KALAH DONG, AYO JAMBAK LEBIH KENCENG LAGI!"

"VYRA, LO PASTI MENANG! AYO!"

"VANIA! KALO LO KALAH, LO MALU-MALUIN PERSERIKATAN CABE DI SMA KITA! LO HARUS MENANG!"

Tanpa mempedulikan teriakan para siswa dan siswi yang sedang menonton kejadian tersebut di lapangan sekolah, Vania dan Vyra belum juga henti saling jambak-menjambak. Para siswa dan siswi seperti sedang menonton tinju di televisi.

"Ayo, teruskan jambak-jambakannya"

Vania dan Vyra menghentikan jambakannya, menoleh ke arah seseorang yang berbicara. Mereka kenal suara itu, itu adalah suara Bu Grace, guru killer yang dimiliki SMA Regalka.

"Ayo, teruskan. Kenapa berhenti? Seru padahal" Bu Grace tersenyum miring, melipat tangannya di depan perut.

Vania dan Vyra hanya cengengesan melihat tatapan tajam yang diberikan oleh Bu Grace.

"Ikut saya" Bu Grace meninggalkan Vania dan Vyra yang masih menggenggam rambut berlawanan.

"Sakit!" rintih Vania setelah rambut lurus yang hasil dari salon itu, ditarik lagi oleh Vyra.

Tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Vania, Vyra meninggalkan Vania dan segera mengikuti Bu Grace lebih dulu, "Rasain lo." Vyra tersenyum miring.

ALASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang