8 | Ketua OSIS

1.4K 71 3
                                    

Bu Grace berjalan ke arah ruangannya, diikuti dengan Vyra dan Vania di belakangnya.

Duduk di atas kursi, Bu Grace menatap tajam Vyra dan Vania yang ada dihadapannya, "Tadi, Keenan, ketua OSIS di SMA kita, lapor ke saya bahwa kalian berkelahi di tengah lapangan. Jelaskan, kenapa kalian bisa jambak-jambakan?"

"Kita.." keduanya menjawab serempak, Vyra dan Vania saling menatap.

"Lo duluan" Vyra mengangkat dagu.

"Lo aja yang duluan" jawab Vania.

"Lo duluan"

"Lo!"

"Lo yang duluan!"

Pusing dengan kedua muridnya ini, Bu Grace mencoba melerai. Agar Vyra dan Vania tidak lagi beradu mulut. "Sudah! Disuruh jawab kok malah berantem"

Bu Grace mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen berwarna merah yang digenggam olehnya. "Dimulai dari kamu, Vania"

"Gini Bu. Tadi Vyra tiba-tiba jambak saya dari arah belakang, tanpa sebab. Ya saya gak terima lah Bu, ini namanya fitnah" Vania menjelaskan panjang lebar.

Vyra menoleh, matanya membulat menatap Vania yang ada di sampingnya. "Sok-sokan ngomongin soal fitnah, emang hidup lo udah bener? Dasar cabe."

"Apa-apaan, lo!" Vania menyentak, bangun dari duduknya.

Bu Grace menggebrak meja, matanya membulat besar. "Vania, duduk!"

"Kamu, Vyra. Jelaskan!"

"Vania mengancam Dara, Bu. Anak sok cantik ini memang selalu ganggu Dara, padahal Dara gak ada salah apapun sama dia." Vyra memutarkan kedua bola matanya.

"Apa yang kamu lakukan ke Dara, Vania?" Bu Grace memberi tatapan tajam pada Vania.

"Saya gak melakukan apa-apa, Bu. Si Dara nya aja yang lebay" Vania mengerutkan dahi, memasang wajah tidak bersalah.

"Mana ada maling yang ngaku, Bu." sambung Vyra, matanya menatap Vania sinis.

"Sekarang saya tanya, apa yang membuat kalian jambak-jambakan?" tanya Bu Grace lagi.

Vyra menoleh kesamping. "Saya kesal sama dia, Bu. Dia ganggu temen saya terus"

"Bohong itu, Bu." Vania mencari alasan.

"Saya akan tanyakan langsung pada Dara. Jika salah satu dari kalian ada yang bersalah, akan ada tindakan lanjut untuk orang tersebut." Bu Grace menjelaskan.

"Dan satu lagi, jangan ulangi perbuatan ini. Kalau tidak, kalian akan menerima sanksinya." Bu Grace meninggalkan ruangan.

"Sakit, bego!" rintih Vania, rambutnya ditarik kembali oleh Vyra.

Keenan. Vyra dan Vania terpikir akan ketua OSIS tersebut.

Vyra dan Vania, tak sengaja menghampiri Keenan secara bersama-sama. Keenan sedang duduk di kantin bersama teman-temannya. "Lo yang laporin kita ke Bu Grace?" tanya Vania menatap sinis Keenan.

"Iya" jawab Keenan singkat, lanjut menyeruput es teh yang ada dimejanya.

"Biar apa?" Vania melipat kedua tangannya.

"Pencitraan, ya?" tanya Vyra.

"Biar lo dipandang baik sama guru-guru?" sambung Vania.

Teman-teman Keenan hanya bisa diam. Tak ikut campur atas hal ini.

Keenan berhenti menyuapkan bakso yang ada di mangkuk, menatap Vyra dan Vania yang ada di hadapannya. "Nggak. Gue ngelaporin ini, karena gue punya tanggung jawab di sekolah ini. Gue gak mau ada keributan yang mengganggu di SMA Regalka"

"Mengganggu? Emangnya kita ganggu lo? Lo merasa terganggu?" tanya Vania dengan nada yang tidak santai.

"Lain kali, kalau mau dipandang baik sama guru-guru, kalau mau dianggap ketua OSIS yang baik, jangan dengan cara kayak gini. Pencitraan namanya." Vania berdecih, meninggalkan Keenan yang terdiam menatap kepergiannya. Begitupun juga dengan Vyra yang meninggalkan Keenan.

Keenan sang ketua OSIS SMA Regalka, membisu, tak berkata apa-apa.

Bu Grace berjalan menuju kelas Dara. "Dara Thiessa"

"Saya, Bu" Dara mengalihkan pandangan ke depan kelas, mengangkat tangan kanannya.

"Ke ruangan saya, sekarang" Bu Grace berjalan, keluar dari kelas yang bising.

Dara berjalan, terdengar suara ketukan yang berasal dari sepatu Bu Grace. Ruangan yang berwarna biru awan, adalah ruangan yang dituju. Tak jauh dari kelas Dara.

"Dara, apa benar kamu menangis tadi? Apa benar kamu selalu diganggu oleh Vania? Apa benar kamu selalu diancam oleh Vania?" tanpa basa basi, Bu Grace melempar pertanyaan seperti peluru yang ditembakkan.

Belum menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Bu Grace, Dara hanya menunduk.

Bu Grace mengangkat dagu Dara dengan satu tangan kanannya. "Jawab, Dara. Kamu tidak akan kenapa-kenapa"

"I-iya, Bu" jawab Dara terbata-bata.

"Berarti benar apa yang dikatakan oleh Vyra" Bu Grace menatap meja kayu yang bersih mengkilap.

"Memangnya Vyra bilang apa sama Ibu?" tanya Dara bingung.

"Dia bilang, Vania selalu mengganggu dan mengancam kamu. Padahal kamu tidak bersalah,"

"O-oh" Dara menundukkan kepalanya.

"Ya sudah, kamu boleh pergi dari ruangan ini sekarang. Saya akan menindaklanjuti ini" Bu Grace mempersilakan.

Perempuan berambut pirang itu bangun dari duduknya, "Baik, Bu"

"Vyr, kamu bilang apa sama Bu Grace?" tanya Dara, menatap Vyra yang sedang menulis disampingnya.

Vyra menoleh. "Bilang apaan? Maksudnya gimana, Ra? Gue gak ngerti"

"Soal Vania"

"Oh, itu. Gue bilang Vania suka ganggu lo, Vania suka ngancem lo, Vania udah bikin lo nangis" jawab Vyra dengan jelas.

Dara menatap Vyra. "Kamu gak seharusnya ceritain itu ke Bu Grace, Vyr"

"Dara, liat gue. Gak semua masalah bisa lo dipendam sendiri. Akan ada saatnya orang lain tau masalahnya dan membantu lo" Vyra menasihati, berkata bijak seketika.

Tak menjawab apapun setelah Vyra berkata seperti itu, Dara hanya diam menunduk memainkan pulpen berwarna merah muda yang digenggamnya.

"Udah, sekarang lo balik bareng gue. Gue mau ngabisin makanan yang ada di rumah lo" Vyra tertawa.

Dara memutarkan kedua bola matanya. "Giliran makanan aja, cepet"

ALASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang