Alaska menggendong tas, melangkah keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuruni anak tangga menuju dapur untuk menghampiri Bi Dinah.
"Bi, Alaska berangkat sekolah dulu, ya" Alaska mencium tangan Bi Dinah.
Bi Dinah tersenyum. "Hati-hati, Den"
Tuan sama Nyonya pasti bangga sekali punya anak seperti Alaska. Bi Dinah menatap rak yang sedang ia bersihkan, meratapi nasib Alaska yang begitu naas.
Tidak pernah melawan, tidak pernah meninggikan nada bicara, selalu patuh, serta baik hati. Alaska adalah anak yang sangat berbakti pada orang tua.
Hingga saat itu, saat dimana semuanya masih berkumpul, saat dimana semuanya serta senyum yang masih hadir dalam kebersamaan, Ayah dan Ibu Alaska pernah berkata seperti ini, Kamu anak yang baik, Ayah dan Ibu selalu berdoa semoga kamu juga mendapatkan yang terbaik. Kami sayang kamu Alaska.
Tak terlalu diam, tak terlalu pecicilan, Alaska hanya menjadi dirinya sendiri. Akan ada saat dimana ia akan baik, akan ada saatnya juga dimana ia akan memperlakukan orang sebagaimana perlakuan yang diterima olehnya.
Sesampainya di sekolah, Alaska memarkirkan motor merah kesayangannya di tempat parkir yang sudah ramai. Ia membuka helmnya dan menaruhnya di kaca spion. Sementara jaket berwarna navy yang ia kenakan, belum ia lepas.
Saat Alaska berjalan melewati gerbang sekolah, tiba-tiba Vania menghampiri Alaska. "Selamat pagi, Sayang" Vania memeluk Alaska dari belakang, menyandarkan kepalanya di bahu Alaska.
Alaska mengernyit, menengok ke belakang. "Lepas"
Vania belum melepaskan pelukannya. "Kamu belum sarapan, ya? Ya udah, kalau gitu kita sarapan dulu. Kita ke kantin"
"Lepas"
"Ayo, Sayang" paksa Vania.
Tak tahan dengan kehadiran Vania yang selalu saja mengganggu dirinya, Alaska kembali menegaskan. "Lepasin, atau gue patahin tangan lo?"
Vania menekuk wajah, melepaskan pelukannya. "Kapan lo sadar kalo gue sayang sama lo, Ka?"
"Sampai kapanpun, gue gak akan pernah tertarik sama lo."
"Kapan lo sadar kalo gue itu selalu ada buat lo?" Vania meneteskan air mata. Memulai babak sandiwaranya.
Tak menjawab apapun, Alaska segera pergi meninggalkan Vania sebelum emosinya semakin tinggi.
"Sialan, gue udah capek-capek sandiwara gini malah gak didengerin. Awas aja lo, Alaska" Vania mengusap air mata sandiwaranya.
Alaska berjalan melewati ruang guru menuju kelasnya yang tepat berada disampingnya. Masuknya Alaska kedalam kelas menjadi pusat perhatian. Semua orang yang ada di dalam kelas, menatapnya dengan sinis, berbisik-bisik, hingga sedikit terdengar orang Alaska. Alaska tak menghiraukannya, ia tetap berjalan menuju bangkunya.
Defan sudah berada di bangkunya lebih dulu. Ia sedang fokus bermain game. Defan memang Gamers akut.
"Kok orang pada ngeliatin gue, ya?" Alaska menaruh tas di bangkunya. Menatap Defan yang sedang fokus menatap layar ponselnya.
Defan mengernyitkan dahi. "Gak tau. Gak usah tanya, jangan ganggu. Gue lagi fokus"
"Ck"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASKA
Teen FictionAlaska, lelaki tampan yang sangat membenci jatuhnya rintikan dari langit. Rintikan yang biasa disebut hujan, rintikan yang hampir membuatnya putus asa. Bagi Alaska, hujan adalah pembawa sial. Hujan selalu merenggut kebahagiaannya, hujan pula yang te...