Bagian 3

3.6K 154 18
                                    

Arka menjemput Alana di tempat biasa. Depan gang kecil dekat halte. Biasanya jam seperti ini, Alana sudah ada di halte, tapi untuk kali ini tidak. Alana masih belum muncul juga. Dalam hati Arka, ada niatan untuk menghampiri Alana ke rumahnya. Tapi, rumah yang mana? Arka sama sekali tidak tau. Sepertinya itu rahasia besar yang dijaga ketat oleh pacarnya sendiri.

Sungguh, ini sudah jam enam lewat empat puluh lima menit. Lima belas menit lagi, bel masuk akan berbunyi. Dan Alana masih belum muncul juga. Bagaimana ini? Apa Arka bertanya saja pada tetangga kanan kiri ya? Tidak mungkin. Biasa saja, saat Arka mencarinya, Alana malah muncul di halte. Saling cari-mencari dong ceritanya.

Oke, sabar sedikit lagi. Positif aja, mungkin Alana sedang dandan. Atau bisa juga Alana lagi kebelet BAB kan? Siapa tau aja. Tapi lama sekali. Sumpah, ingin rasanya Arka berteriak sekarang. Sepuluh menit lagi, dan Alana belum muncul juga? Oh, kepala Arka hampir meledak.

Arka baru terpikir untuk menelpon Alana. Bodoh, kenapa tidak dari tadi? Bodoh, Arka bodoh. Lama, tapi tak diangkat oleh Alana. "Alana please angkat", Arka menjadi sangat gelisah. Dia mondar-mandir sekitar halte yang sudah sangat sepi. Karena ini sudah siang, untuk para pekerja dan pelajar.

(Halo, Ar?)

"Alana, kamu di mana? Aku nunggu kamu dari tadi loh, ini udah mau jam tujuh. Kalo kamu gak ke sini sekarang, kita telat", sahut Arka dengan keadaan kacau.

(Ar, maaf.. aku gak bisa masuk sekolah hari ini, aku...)

"Kenapa, Al? Kamu sakit? Atau apa? Kenapa baru bilang?".

(Maaf, Arka. Aku lupa kabarin kamu)

"Ya udah, aku juga gak mau sekolah".

(Arka, kamu tetep sekolah!)

"Gak mau, lagian juga udah mau telat".

(Arka, jangan bandel deh)

Tut Tut Tut ...

Alana berdecak sebal di dalam kamarnya, ini salah satu kebiasaan Arka, selalu saja ngeyel. Alana tak tau harus apa sekarang, dia malas pergi kemanapun. Semalaman dia tidak tidur, menangis tanpa henti. Baru aja terlelap jam enam pagi, ponselnya berdering. Arka mencarinya, ah iya dia lupa, dia tak mengabari Arka terlebih dahulu.

"Bodo amat, gua tidur aja, ngantuk... Hoammm", Alana menguap untuk kesekian kalinya. Lalu membenamkan kepalanya blfi bawah selimut tebalnya.

Belum lama dia terpejam, seseorang mengetuk pintu kamarnya yang sengaja dia kunci sejak semalam. "Mbak, Mbak Alana enggak makan dulu? Nanti sakit loh Mbak", ah itu pasti salah satu asisten rumah tangganya. Entah dia siapa, Alana tak begitu hafal. Banyak sekali ART di rumahnya, sampai-sampai Alana tak berniat untuk menghafal satu persatu namanya.

"Aku mau tidur, Mbak, aku ngantuk".

"Tapi tadi Nyobes berpesan pada saya, agar Mbak Alana makan. Nanti kalau Mbak Alana nggak makan, pekerjaan saya terancam Mbak".

Alana tak setega itu. Dia tak mungkin mengorbankan seseorang untuk egonya sendiri. Pembantu itu juga punya keluarga, dia pasti bekerja untuk keluarganya. Jika orang tuanya memecatnya, keluarganya makan apa? Alana berpikir demikian.

"Aku nggak mau turun, Mbak. Tolong bawa kesini aja makanannya", ucap Alana pasrah.

Tanpa Alana tau, pembantu itu tersenyum di balik pintu. Memang, seluruh penghuni rumah ini tau, jika tak sulit membujuk Alana, mengingat Alana adalah orang yang tak tegaan.

"Siap, Mbak".

Alana membuka pintunya, lalu menjatuhkan kembali tubuhnya di atas ranjangnya. Tak lama kemudian, pembantunya tadi masuk kamarnya. Jika kalian masuk, kalian akan melihat sebuah ruangan yang didominasi warna putih. Ruangan sebesar ini sengaja hanya diberikan untuk anak tunggalnya, Alana.

"Mbak Alana, dari semalam nangis terus ya? Matanya sembab gitu", asisten rumah tangganya memberikan diri untuk bertanya.

"Mereka udah pergi?", jawab Alana dengan pertanyaan.

Sejenak pembantunya itu kebingungan, dia bertanya malah bertanya balik. Namun sedetik kemudian, "oh Nyobes sama Tubes? Sudah, Mbak, mereka berangkat tadi pagi. Mbak Alana kalau butuh sesuatu bilang kami ya, kami siap melayani, selama Nyobes sama Tubes di luar negeri".

"Iya Mbak. Oh ya, Mbak ini siapa? Ekhm, maksud aku itu, namanya siapa? Aku nggak hafal nama kalian".

"Saya Akai Mbak, panggil saja Mbak Kai".

"Asiapp. Aku kira Mbak ini udah dewasa kayak ibu-ibu gitu".

"Sebenarnya kita tidak beda jauh Mbak, eh maksud saya umurnya. Kalau saya sekolah, saya sudah kelas 12".

"Ha? Nggak salah? Beda satu tahun dong?", Alana baru tau.

"Iya Mbak".

"Terus, kok bisa kerja di sini?".

"Semenjak orang tua saya bercerai, mereka ninggalin saya begitu saja Mbak. Ayah ikut istri barunya, Ibu ikut suami barunya, sedangkan saya harus menghidupi adik perempuan dan Kakek Nenek saya di kampung".

"Mbak Akai ini baru ya? Aku belum pernah lihat soalnya".

"Iya Mbak, baru satu Minggu".

"Mbak Kai...", Alana berseru pelan.

"Ya? Ada yang bisa saya bantu Mbak?", Akai sedikit ragu.

"Hm... Gimana ya ngomongnya...".

"Kenapa Mbak? Kenapa Mbak kayak kebingungan gitu? Ngomong sama saya itu tidak perlu mikir panjang Mbak, omongan Mbak Alana gak mungkin salah. Iya kalau orang kecil macam saya ini, ngomong sedikit aja sebenarnya gak guna Mbak. Harus mikir dulu".

"Ih Mbak Kai, bukan gitu. Gini loh, aku tuh mau... Ck, gimana ya? Pokoknya jangan panggil saya dengan embel-embel 'Mbak' deh. Kita kan cuma beda satu tahun, gak enak aja gitu".

"Tapi kan saya cuma pembantu di rumah ini, Mbak. Saya wajib hormat sama Mbak Alana".

"Hormat bukan berarti Mbak Kai tunduk sama aku. Kita jadi teman, deal?", Alana mengulurkan tangannya ke arah Akai, asisten rumah tangganya.

Akai tersenyum, ternyata Alana benar-benar anak baik. Tidak seperti anak majikan seperti di sinetron-sinetron itu. "Deal", Akai menjabat tangan Alana dengan memberikan senyuman terbaiknya.

"Habis ini aku langsung tidur ya, Mbak, aku ngantuk banget sumpah".

"Hehehe iya deh, kamu juga nangis semalaman itu buat apa coba?".

"Aku tuh sedih Mbak, masa belum lama mereka di Jakarta, balik lagi ke luar negeri. Aku selalu ditinggal. Menyebalkan".

"Saya ngerti...".

"Aku Mbak, bukan saya", koreksi Alana.

"Iya, aku ngerti, mereka juga hidupin kamu kan? Mereka masih sayang loh sama kamu. Aku jadi iri", Akai menunduk.

"Sabar ya Mbak Kai, pelangi itu pasti datang lagi kok, percaya deh", Alana mengelus pelan bahu Akai, memberikan ketenangan.

___

30/04/19

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 30, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[POSESIF] Sweet ArkaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang