10

67 2 0
                                    

Udara yang sejuk membuat Faradila semakin tersenyum. Menikmati pemandangan yang sangat indah, kabut yang masih terlihat tebal , dan sinar mentari yang mulai menampakkan warnanya ke angkasa.

Rasanya jika setiap hari seperti ini, mungkin hatinya akan selalu damai. Jauh dari perkotaan yang hiruk pikuk dengan orang yang lalu lalang untuk mencari nafkah. Ataupun orang orang kaya yang katanya tetangga, tetapi tidak bertegur sapa saat mereka melewati tetangga yang berada di bawahnya.

Dengan mantel dan sarung tangan yang tebal, membuat dirinya merasa hangat di udara yang sangat dingin. Ditemani secangkir kopi di pagi hari membuat harinya semakin indah.

Sruuup..

"Eh..." Ucap Faradila dan mendongak.

Dia melihat Dirgantara yang sudah duduk di sampingnya setelah memakaikan topi untuk Faradila. Dirgantara yang sama sama memakai mantel yang tebal dan menggunakan topi warna hitam. Faradila memegang topi yang baru saja berada di atas kepalanya.

"Kok lo punya topi warna pink sih" tanya Faradila yang masih mengusap topi itu.

Dirgantara terkekeh. "Itu punya adik gue sih, tapi gue beliinnya kebesaran makanya buat lo aja"

"Beneran?"

"Beneranlah , kalau gak mau sini kembaliin" ucap Dirgantara dengan nada marah

"Haha, gitu aja ngambek. Perhitungan pula, tapi thanks ya Dir"

Dirgantara mengangguk dan mengambil kopi milik Faradila. Dia segera meneguknya.

"Ehh... Jangan" Dirgantara melirik sekilas Faradila. Setelah kopi Faradila habis, barulah dia menatap dengan tatapan kenapa.

"Itukan bekas gue, lo gak jijik apa?"

"Gak " ucapnya santai membuat Faradila tersenyum "Kecuali lo ludahin baru gue jijik"

"Anjir , ya kagak lah. Tapi kan.."

"Haha, tapi kenapa? Lo pasti mikir berarti kita ciuman secara gak langsung. Iya kan?"

Wajah Faradila sudah memerah. Rasanya telinganya sudah berasap beserta otaknya. Dia sudah tidak tahu mau mengatakan apa lagi. Memang dirinya memikirkan hal itu , tapi kenapa Dirgantara bisa tahu apa yang ia pikirkan?.

"Hm , Lo tahu gak cinta itu ibarat kopi?"  Faradila memandang lawan bicaranya dalam dalam. Sedangkan Dirgantara memandang mentari yang sedang malu malu untuk muncul ke udara.

"Kok bisa?"

"Sejatinya cinta itu pahit seperti kopi. Tapi tinggal pilihan orang, dia mau menambahkan gula atau tidak di kehidupannya. Jika menambahkan gula , berarti cinta itu manis tapi tidak meninggalkan pahitnya" jelas Dirgantara membuat Faradila mengangguk.

"Tapi aku merasa cinta selalu manis" ucap Faradila membenahi kata-kata Dirgantara

"Ada kalanya cinta itu pahit"

Hening. Bahkan Faradila sudah tidak menatap Dirgantara lagi. Definisi mereka tentang cinta sangat beda. Faradila yakin bahwa cinta adalah manis. Sedangkan Dirgantara menganggap cinta adalah pahit.

Saat ini pandangan mereka tertuju ke satu titik. Yaitu matahari. Hangat. Mereka saling menatap. Entah apa yang dipikirkan mereka. Tetapi mereka tersenyum.

Dirgantara mengeluarkan smarphonenya. Dia membuka aplikasi camera.

"Foto?"

Mereka berdua berfoto ria. Mulai dari selfie ataupun foto sendiri sendiri. Sudah mereka lakukan. Faradila terkejut saat sebuah tangan merangkul pundaknya. Merasa sangat dekat sekali dengan Dirgantara, membuat kesehatan jantungnya tidak baik. Seperti lari marathon. Jantungnya sudah memompa darah dua kali lebih cepat. Dia menatap Dirgantara yang tersenyum ke arah camera.

"Tapi kita tahu, cinta itu hangat" ucap Dirgantara yang lagi lagi membuat pipi Faradila memerah.

.........

Tanpa perdebatan tanpa ada cekcok mereka hening. Hanya duduk bersanding tanpa mengucapkan satu kata pun. Entah ada angin apa mereka yang biasanya ribut dan selalu usil satu sama lain sedang akur. Menatap pemandangan yang selama ini mereka abaikan.

Rasa hangat menjulur ke tubuh Kirana, saat dia semakin mengeratkan tubuhnya pada jaket tebal itu. Sesekali dia meminum coklat panas seperti partnernya. Entah kenapa hari ini tidak ada keusilan yang ingin mereka perbuat. Lampu lampu di desa satu persatu mulai mati. Menyisakan sinar mentari yang menggantikan penerangan.

Asap keluar dari cangkir Kirana saat dia sesekali menyesapnya. Ada rasa hangat menjalar di kerongkongan. Membuat perutnya semakin panas ketika cairan itu sampai.

"Tumben kita gak cekcok" ucap Dendy yang memecahkan kesunyian. Kirana mengedikan bahunya. Dia juga tidak tahu kenapa hari ini hatinya tidak ingin bercekcok dengan Dendy. Padahal jika dikesehariannya , melihat Dendy saja ingin rasanya menampol wajahnya. Ataupun membuat kerusuhan kecil yang menyebabkan laki-laki itu marah.

"Entahlah"

"Lo galau kan?"

"Enggak" jawab Kirana cepat. Pertanyaan Dendy memang tepat sasaran.

"Gue sebenarnya gak mau ikut campur tangan soal masalah orang sih. Tapi gue denger sendiri"

"Maksudnya?" Tanya Kirana karena memang dia tidak mengerti apa maksud Dendy.

Dendy tersenyum sesekali menyesap coklat panas itu. Hangat dan menenangkan. Ditemani mentari yang sudah mulai menghangatkan tubuh. Ya, sekarang tim PALA sedang mengadakan pendakian. Dan mereka menginap satu malam di atas puncak gunung yang sangat dingin itu. Sedangkan Kirana sangat membenci udara dingin. Pengecualian dengan es batu.

"Lo suka kan sama Rangga?"

Jantung Kirana seperti di remas saat pertanyaan itu keluar dari mulut Dendy. Dia tidak menjawab. Seharusnya orang lain tidak boleh tahu tentang perasaannya. Dan lagi , para sahabatnya saja tidak tahu siapa yang Kirana sukai.

"Gue denger semua cerita lo sama Ranga kemarin. Kenapa lo malah milih mundur ketimbang perjuangin perasaan lo?"

"Sia sia juga gua perjuangin , Rangga gak suka gue. Lagian si Nesya juga suka Rangga" ucap Kirana dengan memandang mentari di depannya.

Andai dia menjadi mentari. Dia mampu untuk tersenyum untuk semuanya dan membuat semua orang menyukainya.  Membawa kabar kegembiraan ke seluruh dunia. Dan dia tidak akan sedih lagi , melihat kegembiraan setiap orang.

"Lo kalah sebelum berperang"

"Nesya adalah sahabat gue. Gue gak akan khianatin dia" ucap Kirana dan menatap lekat manik hitam di sampingnya.

"Dari sudut pandang lo , Rangga suka Nesya. Tapi sudut pandang gue , Rangga cuma tertarik sama Nesya" Ujar Dendy dengan cengengesan

"Apa bedanya pinteeerrr"  Kirana gemas sendiri memukul bahu Dendy. Walaupun pukulan itu tidak menyebabkan patah tulang dan rasa nyeri.

"Bedalah , kalau suka berarti dia udah cinta kalau tertarik belum tentu dia suka"

"Tumben lo kalau masalah cinta-cintaan langsung online"

Dendy terkekeh. Karena memang dasarnya Dendy suka tersenyum dan mengakibatkan terbentuknya pendukung Dendy. Dan Fans itu diberi nama Dendys. Entah siapa yang memberi nama para fans Dendy, karena Dendy pun tidak ingin tahu menau tentang fansnya yang sudah menambahkan anggota baru.

"Kurang pengertian apa sih gue. Musuh gue dalam masalah gue bantuin cari solusi, biar masalah lo kelar. Musuh goals banget kan?" Dengan mengacak rambut Kirana.

"Iiih , jadi berantakan kaann..."

"Haha" Dendy malah tertawa. Sedangkan Kirana malah cemberut.

"Tolong...?" Dendy menghentikan tawanya. Dendy dan Kirana saling menatap. Suara meminta tolong terdengar samar-samar di telinga mereka. Mereka segera berdiri untuk mencari sumber suara itu.

kelas koplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang