14

58 1 0
                                    

Kirana sedang duduk menunggu kata demi kata yang akan diucapkan Dendy. Duduk berdampingan, hanya hilir mudik suster melewati mereka. Kirana sudah tidak bergetar lagi. Karena luka Dendy sudah mendapat penanganan.

Mereka masih diam. Kirana juga khawatir terhadap mama Dendy. Karena ruang UGD juga belum terbuka sejak 3 jam yang lalu. Disana mama Dendy juga sedang berjuang. Yang Kirana tahu kepala mama Dendy terluka. Banyak darah yang keluar dari kepalanya. Entah karena benturan atau pukulan tapi yang jelas Kirana tahu bahwa luka itu sangat parah. Lagi lagi membayangkan Kirana merasa bergetar. Rasa mual melanda perutnya. Dia sedikit menggerakkan kakinya agar rasa mual teralihkan. Menutup mata adalah cara efektif agar Kirana tidak merasakan phobianya.

Sebuah tangan dingin menggenggamya. Seketika dia berhenti, pandangan pertama saat Kirana membuka mata adalah tangan Dendy yang erat menggenggam. Seakan dirinya adalah buron yang siap kabur jika tangan itu terlepas.

"Takut?"

"Enggak"

Hening. Hanya genggaman Dendy yang terasa begitu dingin. Kirana ingin sekali bertanya kenapa bisa terjadi seperti itu? Apakah kecelakaan ataupun faktor yang lain? Pertanyaan itu masih bercongkol di benak Kirana. Takut jika Dendy akan merasa tersinggung dengan pertanyaannya.

"Sorry gue ngrepotin elo"

"Noprob" Kirana menoleh kepada Dendy. "Lo gak pa-pakan?"

Dendy menyandarkan kepalanya pada dinding di belakangnya. Dan melepas genggaman pada tangan Kirana. Dia menjambak rambutnya sendiri. Dan merasa seperti memiliki beban yang berat. Tak terasa air mata Dendy menetes.

"Den..." Ucap Kirana lirih

Tapi Dendy tidak mengidahkan panggilan Kirana. Dia masih menjambaki rambutnya sendiri. Dengan merampalkan kata-kata bodoh. Kirana semakin khawatir saat Dendy mengetuk ngetuk kepalanya pada dinding.

"Gue bodoh..arrghhh... Gue gak becus"

"Dendy, lo harus tenang"

"Gue pengecut Kir"

"Den, lo tenang dulu. Jangan kayak gini. Ini sama aja lo sakitin tubuh lo sendiri" tapi Dendy masih dengan aktivitasnya menjambaki rambutnya.

"DENDY....." Ucap Kirana tegas. Entah kenapa air mata Kirana saat itu menetes. Rasanya sakit. Di dada sebelah kiri seperti tertancap sesuatu yang tajam. Dendy mulai menatap Kirana dengan sendu.

"Jangan sakiti diri lo, lo bisakan selesain masalah tanpa harus nyakitin diri sendiri"

"Sorry. Tapi gue pantes Kir buat dapetin semua itu"

"Apa yang terjadi?" Pertanyaan itu akhirnya keluar dari bibir Kirana. Dia ingin membuat Dendy merasa lega saat Dendy mau bercerita dengannya.

"Gue gak bisa jagain mama dari papa" Kirana hanya diam saat kata-kata itu keluar. Kirana ingin meminta kelanjutan kalimat Dendy. Biarkan Dendy yang mengungkapkan dengan perasaan lega.

"Papa sama mama selalu berantem. Gara gara papa punya wanita lain di belakang mama. Kadang sampai barang barang rumah pecah semua. Tamparan papa ke mama sudah terlalu sering sejak satu tahun yang lalu. Dan kali ini, papa sudah keterlaluan"

Sebuah pelukan Dendy dapatkan. Runtuh sudah pertahanan Dendy. Dalam pelukannya , Kirana merasakan Dendy sangat bergetar. Disinilah Kirana menemukan Dendy yang rapuh. Dendy yang usil di sekolah , paling sok kuat di sekolah, dan paling jago bikin Kirana naik darah sekarang hanya bisa berbagi lesedihan dengan Kirana.

"Den , apapun masalah elo. Gue bisa jadi pendengar yang baik" ucap Kirana dengan mengelus punggung yang masih bergetar itu. Berbanding terbalik dengan kehidupannya. Kirana yang selalu merasakan keharmonisan kedua orang tuanya , tidak bisa membuat Dendy keluar dari masalahnya. Mending hidup pas-pasan dan memiliki keluarga seperti keluarganya. Kirana bersyukur bisa memiliki keluarga seperti keluargnya.

Ceklek....

Pintu UGD terbuka. Berdirilah seorang Dokter dengan beberapa alat yang menempel pada jas putih itu. Buru buru, Dendy dan Kirana berdiri.

"Gimana dok?"

"Ibu kamu harus transfusi darah. Karena darah yang  dikeluarkannya sangat banyak. Kami hanya bisa memberikan satu kantung. Setelah itu stok rumah sakit ini tidak ada yang sama lagi dengan ibu kamu"

"Terus gimana dok? Pokoknya saya percaya sama dokter supaya bisa sembuhin mama saya"

"Tiga jam lagi kita harus transfusi darah , dan kita harus menemukan darah yang cocok dengan ibu kamu" Dendy terdiam. Dengan cepat di mengeluarkan hanphonenya, mencari kontak seseorang yang sangat Dendy benci.

"Cepet pulang ke Indonesia sekarang"

"......."

"Mama sakit. Dia butuh darah lo"

"......."

"Apa segitu pentingnya pekerjaan lo? Lo tega sama mama?"

"......."

"Haha.... Gue emang bodoh Bang, gak mungkin juga 3 jam lo sampai di Indonesia"

Piiip..

Dendy mematikan ponselnya dengan sepihak. Rasanya dia ingin marah. Coba jika darahnya dengan mama sama, dia akan langsung menyumbangkan darahnya. Tanpa harus meminta kakaknya pulang dari Singapore.

"Dok , golongan darahnya apa?" Tanya Kirana yang baru bisa berbicara.

"Golongan darahnya AB"
Kirana terdiam. Dia memikirkan sejenak tindakan yang akan dilakukan.

"Bolehkah saya mendonorkan darah saya? Kebetulan goldar saya AB"

"Kir , Lo serius?"

"Ok, kalau begitu kita akan periksa di lab darah anda" Kirana mengangguk. Ini adalah resiko besar yang Kirana hadapi. Dia akan menahan phobianya agar nanti tidak kambuh.

"Kir, thanks" Kirana tersenyum. Walaupun Dendy dengan wajah yang masih tegang, dia melihat senyuman kecil di wajah Dendy. Kirana akan merasakan panik juga jika berada di posisi Dendy.

.........

"Hmmz..."

"Batalin aja, gue gak tega lihat elo"

"Jangan , gue mau nolong nyokap lo" akhirnya Dendy kembali duduk. Lucu juga bisa melihat Dendy menjadi panik.

"Hehe, gue heran PMR kok  phobia darah?" Kekeh Dendy yang duduk di sebelahnya. Dan Kirana hanya tersenyum menanggapinya sambil menutup mata erat erat agar dia tidak melihat cairan kental berwarna merah yang keluar dari tangannya melalui selang.

"Gara gara gue juga , lo gak bisa kencan sama Rangga"

Seketika Kirana membuka matanya dan memandang sebelah kiri. Tempat Dendy duduk menemaninya melakukan pendonoran darah. Dan Dendy menunjukan ponsel Kirana yang penuh dengan notifikasi yang bernama Rangga. Mulai dari pesan maupun panggilan. Kirana hanya mengangguk.

"Gue gak pa-pa, asalkan mama lo sembuh"

"Sorry ngrepotin elo lagi" Kirana terkekeh. Lucu juga waktunya menegerjai Dendy.

"Asalkan gue dibayar sih?" 

"Hehe, lo minta bayaran apa?"

"Apa ya...  Kasih gue tiga permintaan dong. Biar kayak jin yang keluar dari teko" Dendy malah tertawa.

"Bukan teko Kir, lampu ajaib"

"Kan kalau disini kayak gituan dinamain teko. Rumah gue buat tempat air"

Lagi lagi Dendy tertawa. Dia mengacak rambut Kirana. Sedangkan sang empunya hanya bisa mendengus karena kelakuan Dendy.

"Thanks ya"

"Den , gue kan minta tiga permintaan bukan kata thanks lo doang"

"Iya-iya, lo mau minta apa?"

"Nanti malem anterin gue pulang ya, soalnya gue ke rumah lo pakai ojol. Lagi pula uang gue juga pas pasan"

Dendy mengangguk. "Ada lagi?"

"Hmmz , itu aja dulu. Karena gue lelah buat mikir" ucap Kirana yang bergaya seperti berfikir.

"Karena kapasitas otak lo itu kecil"

Kirana melotot. Sedangkan orang yang dipelototi malah tertawa.

kelas koplakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang