Secangkir Kopi

139 6 0
                                        

Pada sebuah meja dengan empat kursi kosong kupesan secangkir kopi panas beraroma kafein yang sangat pekat. Duduk pada sebuah kursi yang terletak disudut ruangan. Mengingatkan pada kenangan yang mulai terilusikan dalam segelintir ingatan.

Dulu, kita saling tanpa pernah ingin berpaling. Selalu bertahan tanpa pernah ingin meninggalkan. Kemudian, masa mengambil orangnya pun waktu mulai mengubahnya. Kau memilih puan tanpa menuntaskan apalagi menjelaskan. Pergi, lalu menjadi orang asing lagi.

"Mbak ini kopinya". Suara itu mengacaukan imajinasi yang sedang berilusi hingga tersadar bahwa ruang hati sudah mulai dehidrasi. Tak ada yang mengisi, bahkan sudah hilang kunci dan tak ingin memulai lagi.

Kemudian aku terus mencaci pada secangkir kopi "kenapa rasanya pahit?"  hingga ego mulai mencabik dengan tega dan berkata "lalu kenapa kau memesannya? Bahkan kau menyukai aromanya?".

Tamparan dari dan untuk diri sendiri. "Aku memesan dan menginginkan kopi, aku suka hangat dan aromanya dan ternyata aku tidak menyukai rasanya".

Ya, semua ada maknanya :
"Kau yang memilih, kau yang juga harus siap mengetahui apa yang akan terjadi. Karena selalu; yang terlihat baik pun pasti memiliki hal yang membuatmu merasa kecewa dan tak lagi bermakna."

- HNF
(@haginuansaf)

Purwakarta, 11 Januari 2019

Cerita SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang