Delapan

19 4 0
                                    

Janu sudah mengendarai sepeda motornya lagi, ditemani Cira yang duduk di boncengannya. Mereka dalam perjalan pulang. Janu dan Cira hanya terdiam dengan pikirannya masing-masing. Janu dengan pikirannya yang memutarkan kembali kejadian pada saat ia melihat Cira menangis. Cira dengan pikirannya yang tiba-tiba membuatnya sangat merindukan Bulannya.

"Ra." Kata Janu memutuskan kesunyian yang tersambung antar mereka.
"Hmm?"
"Kok diem?"
"Emang harusnya gimana Nu?"
"Mendung Ra. Mau minggir dulu nggak?"
"Lanjut aja."

Janu mengurungkan niatnya untuk meneduh. Namun semesta selalu tidak berpihak dengan kemauan Cira, sore itu turun hujan seakan mengerti hati Cira yang bersedih perlu ditemani oleh tangisan dari langit. Gerimis mulai turun perlahan.
"Gerimis Ra."

Bertepatan dengan perkataan Janu, Cira memegang bagian samping kaus yang sedang digunakan oleh Janu dengan begitu kencangnya. Terlihat Cira begitu takut ketika rintik hujan turun dari langit.
"Ra? kenapa?"
Pertanyaan Janu tidak diberikan jawaban sama sekali.

"Ra kita neduh dulu ya." Akhirnya Janu memutuskan untuk meneduh di halte bus. Motornya ia relakan terselimuti dengan hujan sore itu. Janu dan Cira berteduh di bawah halte bus. Cira duduk di kursi halte tersebut dan menundukkan kepalanya, seperti menyembunyikan sesuatu. Janu menemani Cira duduk di sebelahnya.

Janu yang di sebelah Cira, mulai sadar bahwa Cira menangis. Janu mengetahuinya dengan merasakan lengannya yang menempel dengan bahu Cira. Janu merasakan bahu Cira bergetar, seolah Cira berusaha untuk menyembunyikan suara tangisannya darinya. Janu menyampirkan jaket ke pundak Cira. Untungnya Janu mengeluarkan jaket itu di jok motornya pada saat ia turun dari motornya.

"Keluarin Ra. Jangan ditahan-tahan, semakin lu tahan semakin sakit."
Hujan semakin deras menjatuhkan diri dari langit. Petir ikut menemani hujan sore itu. Cira yang takut sekali dengan petir berusaha untuk tidak terlihat takut. Janu menyadari Cira menyembunyikan hal itu darinya. Setiap suara petir terdengar, tubuh Cira tegang seketika.

Janu merasa tidak enak dengan Cira, ia merasa bersalah karena mengajaknya pergi saat itu. Di pegangnya kepala Cira dan ia sandarkan kepalanya ke pundaknya.
"Takut ya Ra?"
Cira hanya memberi anggukan sebagai jawaban.

Janu mengusap-usap kepala Cira dengan lembut sambil bercerita untuk mengalihkan fokus Cira.
"Ra. Lu tau nggak kenapa gue suka banget sama anak kecil, apa lagi anak-anak yang tadi kita temuin."
Cira tidak menjawab, tapi Janu mengerti bahwa Cira mendengarkan apa yang ia ceritakan.

"Dulu gue punya adek cewek Ra. Rinjani namanya. Dia ceria, bahkan keceriaannya nggak runtuh dalam situasi apapun. Walaupun dia lagi sakit keras sekalipun. Bahkan waktu itu dia masih kecil banget, yang harusnya umur segitu dia lagi asik-asiknya main sama temen-temennya Ra."
Suara Janu memang tidak seperti orang yang sedang menangis sedih, tapi Cira mengerti dalam suaranya yang berat itu, ia menemukan kesedihan yang sangat dalam di sana. Kesedihan akan kehilangan.

"Sekarang gue jadi anak semata wayang lagi semenjak Rinjani udah nggak ada. Mungkin sekarang dia udah bebas main di atas sana Ra. Setiap gue ngeliat anak kecil yang seumuran sama Rinjani saat itu, itu membuat gue keinget dia. Gue ngerasa harusnya anak kecil itu nggak perlu mikirin apa-apa selain waktu bermainnya, mereka belum pantas memikirkan hal-hal yang harusnya dipikirkan. Mangkanya gue ngebantu anak-anak jalanan yang tadi kita temuin. Gue berharap dengan bantuan gue yang sedikit bisa ngilangin beban mereka buat mikirin hal-hal yang harusnya mereka belum pikirin."

Cira mulai mengerti mengapa Janu terlihat sangat senang sekali pada saat bertemu dengan anak-anak di bawah pohon itu, karena pada saat Janu bermain dengan mereka, Janu merasakan seperti sedang bermain dengan adiknya.

"Gue ngajak lu tadi ikut bukan buat pamer. Gue pengen ngebantu selesain masalah lu Ra. Gue berharap banget saat lu ngeliat keceriaan mereka, hal itu akan tertular ke lu juga."
Cira lalu memandang ke arah Janu. Ia melihat ketulusan tergambar dari matanya.
"Kenapa lu mau bantu gue Nu?"
"Nggak tau kenapa Ra. Rasanya setiap ngeliat lu sedih, gue mau jadi orang pertama yang tau itu, gue mau jadi orang yang bisa ngelindungin lu."

Entah kenapa saat itu, hujan dan petir tidak membuat Cira ketakutan. Dan itu pertama kali hujan turun dengan tidak membawa kejadian yang membuat Cira menangis. Cira merasa aman dengan adanya Janu.

"Ra, kita ngomongnya aku kamu aja ya. Kan sekarang kita bukan orang asing lagi."

Tapi Nu, kamu nggak boleh masuk ke kehidupan aku.

"Nggak!"
"Kenapa?"
"Ya pokoknya nggak aja Nu."
"Yaudah, aku aja yang pake aku kamu."
"Dih yaudah sana. Gue tetep nggak."
"Kenapa sih? Takut dibilang pacaran?"
"Sekali lagi ngomong gitu gue tonjok."
"Hahaha"

Hujan sore itu ternyata tidak membawa tangisan bagi Cira. Namun pikiran dan hati Cira memiliki pendapatnya masing-masing. Hatinya berkata bahwa Janu membuat ia nyaman namun pikirannya berkata bahwa tidak boleh ada lagi orang yang masuk kedalam hidupnya.

SUN AND MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang