Tiga

42 4 0
                                    

Saat jam menunjukkan pukul 5 sore, Cira beranjak dari meja favoritnya di kedai tersebut. Ia berpamitan dengan Bintang.
"Tang, aku balik ya."
"Eh mendung Ra, nanti aja baliknya, entar kamu kehujanan lagi."
"Nggak papa kok Tang. Aku takut Bi Wati nyariin, kan biasa pulang jam segini."
"Yaudah deh, hati-hati Ra. Kalo hujan neduh dulu ya, kabarin Bi Wati biar nggak khawatir sama kamu."
"Iya Tang. Semangat ya kerjanya."

Cira keluar dari kedai sahabatnya dan menaiki sepeda kesayangannya itu dan memulai perjalanannya menuju rumah.

Awan, jangan hujan dulu. Aku takut.

Entah hal apa yang mengganggu pikirannya sehingga membuat Cira tidak fokus mengendarai sepeda kesayangannya itu. Kejadiaan yang terjadi di ruangan dosen pagi tadi atau ia takut hujan akan turun. Cira mengayuh sepedanya dengan cepat untuk menghindari hal yang ia takutkan.

Sayangnya, titik-titik air mata itu mulai turun dari langit. Cira semakin panik.

Aku mohon semesta.

Karena Cira panik dengan tetesan hujan yang mulai turun, ia tidak sadar bahwa di depan jalan yang sedang ia lalui ada lubang yang cukup besar. Roda ban sepeda Cira mengenai lubang tersebut tanpa menarik rem sedikitpun karena panik. Lubang tersebut membuat sepedanya oleng dan akhirnya Cira dan sepeda kesayangannya terjatuh ke samping.

"Aduh!"
Cira mengaduh saat dengkul dan sikunya bercumbu dengan aspal jalan yang ia lalui. Tepat pada saat Cira terjatuh, hujan turun semakin deras. Cira berusaha berdiri dan mendirikan sepedanya lagi. Sambil memegang stang sepedanya, ia melihat ke arah langit.

Langit, kenapa harus aku yang melihat kamu menangis? kenapa aku selalu mendapatkan hal buruk pada saat kamu menitikkan air mata?

Cira pasrah, seluruh badannya basah dan ikut menangis bersama awan. Ia membiarkan lukanya yang ada pada lutut dan dengkulnya mengeluarkan cairan merah. Cira menangis bukan karena lukanya perih atau rasa sakit setelah jatuh dari sepedanya, tapi ia menangis karena semesta selalu saja tidak mau memihak dengan kemauannya.

Lalu ia menuntun sepedanya menuju rumah. Cira sadar jarak rumahnya masih cukup jauh, tapi ia memang sengaja berlama-lama di bawah rintik hujan agar ia bisa merasa puas untuk mengeluarkan kesedihannya yang sudah lama sekali ia bendung. Kesedihan akan selalu kehilangan seseorang yang berharga. Kesedihan akibat menutup pintu kehidupannya untuk orang-orang di sekitarnya. Semakin sakit rasanya ketika ia ingin merasa dekat dengan seseorang, tetapi sebenernya kedekatan menjadi jurang yang harus ia siap loncati untuk bunuh diri.

Cira berjalan tidak terburu-buru, takut yang ia rasakan sedaritadi, hilang entah kemana. Seperti hilang terbawa aliran hujan yang turun sangat deras. Ia sampai di depan rumah dengan badan sedingin es dan bibir yang seputih tembok.

Saat ingin membuka pagar rumahnya, Bi Wati sudah menunggu kepulangan Cira dengan terpampang gambar kekhawatiran di kanvas wajahnya. Saat Bi Wati menyadari bahwa Cira sedang berusaha membuka pagar, ia berlari kecil ke arah Cira untuk membantunya.

"Yaampun Non. Kenapa hujan-hujanan? Lutut dan sikunya kenapa Non?"
"Tidak apa Bi, saya hanya jatuh tadi."
"Yaudah, ayo cepat masuk dulu. Ganti baju dan saya bantu bersihkan lukanya."

Cira langsung masuk ke dalam kamarnya, mengganti bajunya yang basah dan mengeringkan rambutnya. Lalu Bi Wati masuk ke kamarnya sambil membawa baskom berisi air bersih, lap kecil, dan kotak P3K.
"Duduk dulu Non, saya bersihkan lukanya."
Cira hanya menurut dan duduk di pinggir kasurnya.

Bi Wati membersihkan luka Cira dengan sangat cekatan seakan ia terbiasa mengobati luka-luka kecil seperti itu. Sentuhan terakhir, Bi Wati menempelkan handsaplast pada lutut dan siku Cira yang sudah dibersihkan dan diberi obat oleh Bi Wati.
"Nah sekarang, Non makan ya? setelah itu istirahat biar lukanya cepet sembuh."
"Aku nggak laper Bi. Cira pengen tidur aja sekarang. Boleh?"
"Makan dulu Non nanti sakit."
"Tapi Cira nggak laper. Tolong Bi, Cira mau tidur aja."
"Yaudah. Kalo laper Bibi udah siapin makanan di dapur ya Non."

Bi Wati akhirnya keluar kamar Cira dengan membawa rasa kekhawatirannya. Kekhawatirannya yang dibawa itu hanya bisa ditelannya bulat-bulat karena Bi Wati sangat mengerti bahwa Cira membutuhkan waktunya untuk sendiri.

Setelah Bi Wati keluar dari kamarnya, Cira merebahkan dirinya di kasur dan memakai selimutnya sampai dadanya ikut tertutup. Kantuk tidak kunjung menghampiri matanya karena yang ada di pikirannya adalah Mamanya. Ia rindu sosok Mamanya yang selalu menemaninya saat hujan turun, saat petir membuatnya takut, Mamanya akan selalu memeluknya dan menenangkannya.

Cira ingat, dulu Mamanya sering memberi tahunya bahwa hujan turun itu karena orang-orang yang tinggal di atas langit bersedih. Orang-orang itu bekerjasama dengan langit bahkan semesta, untuk menurunkan tangisannya yang sudah tidak terbendung di awan-awan. Petir berbunyi sangat nyaring itu karena mereka berteriak, entah teriakan untuk memberitahu kesedihannya atau berteriak karena mereka sangat merindukan orang-orang yang mereka tinggalkan di bumi. Anehnya Cira masih percaya dengan apa yang dikatakan Mamanya saat itu.

Ma, Mama baik kan di atas sana? Maaf aku belum sempat berkunjung. Mama hari ini sedih ya mangkanya turun hujan? maaf Cira selalu bikin Mama sedih.

Pembicaraan yang ada di pikirannya itu terus berlanjut hingga kantuk membuat matanya tertutup.

SUN AND MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang