Satu

99 7 4
                                    

"Bi aku berangkat dulu ya."

Cira Saluna, mahasiswa semester 3 jurusan psikologi di kampus ternama di kota yang penuh dengan lukisan gedung-gedung tinggi di atas langitnya, yaitu Jakarta. Perempuan yang takut oleh tangisan awan itu hanya tinggal serumah dengan Bi Wati yang merupakan asisten rumah tangga. Bi Wati sudah bekerja dengan keluarga mereka sejak Cira kecil. Bi Wati sudah seperti Mama kedua bagi Cira.

Cira mengayuh sepedanya menuju kampusnya sambil mendengarkan lagu yang ada di handphonenya dari earphone sebelah kanannya. Rambut pendeknya yang bergelombang, ia tutup dengan kupluk jaket hitam yang sedang ia pakai. Di dalam jaket ia menggunakan kaos putih polos dipadu dengan jeans belel, tidak lupa dengan convers kesayangannya yang sudah pudar warnanya.

Jarak kampus dengan rumahnya hanya 3 kilometer, dapat ditempuh dalam waktu 30 menit jika menggunakan sepedanya. Namun, Cira bukanlah mahasiswa yang cukup baik di kampusnya, ia kadang tidak memperdulikan jadwal yang mengaturnya untuk datang tepat waktu, teguran dari dosen mengenai pakaian yang digunakannya, bahkan nilai-nilainya tidak cukup bagus. Cira berkeharusan datang ke kampusnya karena ia bosan berdiam diri di rumahnya.

Setelah ia sampai di area parkir kampusnya, Cira memarkirkan sepedanya dekat tiang lalu menguncinya dengan rantai. Setelah itu ia berjalan dengan santai ke arah ruang kelasnya.

Ketika Cira masuk kelas, semua tatapan teman-temannya seolah berkata 'masih ada niat masuk dia?' tertuju padanya. Cira langsung menduduki kursi kesayangannya, yaitu 2 baris paling belakang samping tembok. Baris kursi yang Cira duduki tidak pernah diisi oleh siapapun. Di barisan paling belakang hanya diisi oleh seorang laki-laki tepat dibelakang Cira. Entah kenapa laki-laki itu tidak takut oleh Cira, terlihat bahwa laki-laki tersebut berani duduk di dekat Cira.

Laki-laki itu adalah Janu Mahanta.

Janu berbicara pelan agar hanya Cira yang dapat mendengarkan.
"Pagi-pagi jangan cemberut terus, nanti di datengin alien loh"

Cira hanya diam, tidak memperdulikan kata-kata yang keluar dari mulut Janu.

Selang beberapa menit, dosen yang mengajar kelas tersebut masuk. Namun Cira malah memasang earphone sebelah kirinya yang belum terpasang sedari tadi, lalu memperkeras suara musik yang tersambung dari handphonenya.
"Baik kita mulai pelajaran hari ini. Sebelumnya akan saya absen satu-satu."

Ketika dosen tersebut memanggil nama Cira, Cira tidak tahun dan hanya diam. Dosen tersebut melihat mahasiswanya untuk mengecek, ia melihat Cira tidak mendengarkan dengan baik. Lalu ia hampiri Cira dan menarik earphone yang Cira gunakan hingga lepas.
"Keluar dari kelas saya"
"..." Cira hanya diam, karena bingung dengan apa yang terjadi.
"Saya bilang, keluar dari kelas saya sekarang!"
Dengan tidak ada rasa bersalah, Cira keluar dari kelas tersebut.
Janu yang duduk di belakang Cira hanya diam sambil melihatnya. Janu merasa ada sesuatu hal yang aneh pada diri Cira.

Memang melihat kejadian yang mengawali kelas pagi itu bukanlah kejadian yang tidak biasa. Melihat Cira dikeluarkan dari kelas sudah seperti makanan sehari-hari bagi teman-teman kelas mereka, sampai-sampai mereka lebih senang jika perempuan itu tidak masuk kelas agar mood dosen yang mengajar kelas mereka tetap baik.

Cira langsung pergi dari kampusnya dengan sepedanya, menuju kedai kopi yang selalu ia kunjungi seusai kelas.

Singkat cerita, Cira langsung masuk kedai kopi tersebut. Kedai kopi tersebut milik sahabat perempuan Cira, yaitu Bintang. Bintang dan Cira telah bersahabat sejak mereka SMA. Bintang tidak hanya sebagai pemilik di kedai kopi tersebut tetapi dia sebagai barista yang kerja secara full time setiap hari di kedai tersebut. Bintang tidak melanjutkan kuliah setelah tamat SMA, ia memutuskan untuk membuka kedai kopi tersebut.

"Tang, yang biasa dong."
"Eh... udah selesai kelasnya Ra?"
"Belum"
"Loh terus kenapa kamu di sini?"
"hehehe"
"Yaampun, mau sampe kapan sih Ra?" Kata Bintang sambil membuatkan cafe latte untuk Cira.
"Nih diminum."
"Makasih Tang."
Bintang melihat Cira mengeluarkan buku jurnal yang selalu ia bawa kemana-mana.

"Kenapa Tang kamu ngeliatin aku gitu banget"
"Nggak ada peluang buat kamu suka frappuccino lagi Ra?"
"Cira yang itu udah hilang Tang."
"Bukan hilang Ra, kamu aja yang selalu sembunyi."
"Memang waktunya untuk berubah Tang."
"Tapi bukan berubah seperti sekarang Cira."
"Yaudah Tang ih, terima aja Cira yang sekarang. Nggak bisa juga kamu maksa untuk mengulang keadaan Tang."

Bintang hanya terdiam. Ia kenal bahwa Cira yang saat ini, Cira yang berantakan, Cira yang galak bukanlah Cira yang ia kenal. Cira yang menyukai frappuccino telah berubah menjadi Cira yang menyukai cafe latte, karena Cira saat ini lebih bisa menerima kepaitan dalam hidupnya.

"Yaudah Ra. Aku lanjut kerja ya? maaf nggak bisa temenin, lagi rame nih."
"Santai aja Tang. Oiya, aku sampe sore ya di sini, kayak biasa."
"24 jam terbuka buat kamu kok Ra."

Lalu Cira tenggelam pada tulisan-tulisannya yang ia tulis di buku jurnalnya itu.

SUN AND MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang