Empat Belas

24 4 0
                                    

Pintu rumah Cira diketuk oleh seseorang. Bi Wati mendengar bunyi ketukannya, ia langsung bergegas membukakan pintu. Saat pintu terbuka, terlihat Janu berdiri di sana.

"Eh Mas Janu."
"Eh Bi Wati."
"Nyari Non Cira ya?"
"Iya dong."
"Non Ciranya lagi keluar Mas."
"Kemana Bi?"
"Nengokin Mamanya."
"Dimana Bi?"

***

Cira duduk di sebelah nisan. Ia membersihkan daun-daun kering yang ada di sana. Setelah itu ia menatap nisan itu lekat-lekat. Cira memegang batu nisan Mamanya, mengelus-elus seakan itu adalah pipi Mamanya.

"Apa kabar Ma?" Hening tidak ada jawaban. Cira tau bahwa setiap pertanyaannya selalu tidak mendapatkan jawaban, bahkan setiap ceritanya tidak akan ada tanggapan. Namun entah mengapa ia merasa lega setiap bercerita di sebelah nisan Mamanya. Seakan ia merasa bahwa Mamanya bisa mendengar setiap cerita-ceritanya.

"Cira baik di bumi. Bagaimana dengan warga langit? Tolong sampaikan pada mereka jangan turunkan hujan terlalu sering." Cira tersenyum manis saat mengatakan hal itu. Ia memang hanya bisa diajak bercanda dengan Mama dan bulannya.

"Maaf Cira baru bisa berkunjung sekarang. Hari ini Cira mau cerita tentang seseorang yang selalu berusaha untuk membuka pintu itu Ma. Pintu hidup Cira. Padahal kuncinya hanya dimiliki orang-orang yang Cira sayang. Sekarang malah ada orang baru yang ingin mempunyai kunci itu."

Angin berhembus. Seakan semesta ikut menyahuti cerita yang Cira lontarkan.
"Orang baru itu namanya Janu. Pasti dia bukan manusia. Karena setiap Cira memberikan penolakan, dia malah semakin mendekat."

Saat Cira terlalu asik bercerita pada Mamanya, Janu datang. Ia tidak menghampiri Cira, hanya melihat Cira dari kejauhan. Namun Janu merasa Cira yang sedang berbicara dengan seseorang disayanginya itu, sedikit berbeda dengan Cira yang biasa ia lihat.

Cira yang ia lihat saat itu terlihat mudah tersenyum walaupun ada sedikit kesedihan dan kerinduan yang terpancar di matanya.

Ternyata senyumnya manis. Kapan Ra senyuman itu akan selalu terlihat di bibirmu?

Pandangan Janu tidak bisa lepas dari Cira yang terlihat begitu cantik hari itu. Cukup lama Cira berbicara dengan Mamanya. Pagi itu matahari bersinar dengar semangatnya. Janu khawatir Cira akan kepanasan. Ia ambil payung yang selalu ada di jok motornya, lalu ia mendekati Cira dan memayunginya.

"Panas Ra, nanti item loh." Kata Janu ketika ia sudah di sebelah Cira.
"Janu!"
"Kaget ya? haha."
"Tau dari mana kalo gue di sini?"
"Semesta yang nuntun aku kok."
"Nggak usah ngeles, nggak mempan."
"Pulang yuk? Kan hari ini jadwal kita belajar bareng."
"Tapi gue belum mau pisah Nu."
"Yaudah aku temenin ya?"

Cira tidak melanjutkan pembicaraannya. Karena Janu melihat Cira tidak berbicara lagi, gantian ia yang mengeluarkan suara.

"Halo tante. Kenalin saya Janu, teman Cira." Cira kaget ketika Janu memulai pembicaraan dengan Mamanya.
"Tante pasti cantik banget ya? jadi anaknya bisa kayak gini haha. Ibarat langit, Cira itu langit sore yang mulai terbenam. Orang menyebutnya senja." Janu terdiam sebentar. Lalu melanjutkan perkataannya.

"Harusnya Cira bisa saja tan membuat semua orang menyukainya, tapi senja yang ada pada dirinya selalu ditutupi dengan awan mendung, jadi orang-orang nggak bisa melihatnya. Jadi, saya minta izin untuk mengembalikan senjanya ya?"

Cira melihat Janu dengan mata yang ingin meneteskan hujan di sana. Bukan sedih, bukan juga terharu. Namun, ia merasa sangat membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menerima perasaan yang dimiliki Janu.

Kenapa semesta mengirimkan kamu ke aku Nu?

"Walaupun saya tidak mendapatkan izin dari Cira, saya dapet izin dari tante." Kata Janu melanjutkan perkataannya.
"Kamu ada yang mau di- loh Ra! kok kamu nangis?" Janu kaget ketika ingin menanyakan suatu hal ke Cira, ia melihat Cira meneteskan air mata.

"Nggak kenapa-kenapa. Gue kelilipan aja."
"Masa kelilipan sampe kayak gitu banget Ra. Coba jujur Ra, Mama kamu bakalan sedih juga kalo kamu nggak jujur."
Kesunyian menyelimuti mereka. Cira membenarkan perkataan Janu dalam pikirannya. Lalu tiba-tiha Cira menceritakan semua masalah yang selama ini ia sembunyikan.

"Kehidupan keluarga aku hancur Nu."
Janu kaget ketika Cira memulai pembicaraan menggunakan aku-kamu. Namun ia sembunyikan agar tidak merusak cerita yang ingin Cira keluarkan.
"Papa dan Mama waktu dulu sering berantem. Entah masalahnya apa karena aku masih kecil saat itu. Karena pertengkaran-pertengkaran itu Mama jadi memiliki gangguan jiwa berat yang berujung melakukan percobaan bunuh diri berkali-kali. Setelah berkali-kali mencoba ternyata yang terakhir ini berhasil. Mungkin karena aku yang bodoh tidak bisa menjaganya."

Sebenarnya Janu sudah mengetahui cerita itu dari Bi Wati secara singkat, namun mendengarkannya lagi dari Cira merupakan hal yang berbeda baginya. Bi Wati hanya menceritakan keadaan, sedangkan Cira menceritakan perasaan.

"Bukan salah kamu Ra, itu memang pilihan Mama kamu. Dan mungkin itu pilihan yang membuat Mama kamu tidak merasakan sakit yang lama."
Cira tidak mampu menahan air matanya ketika membicarakan hal itu. Akhirnya hanya suara tangisan yang ia keluarkan, tidak ada lagi kata-kata yang mampu ia ucapkan.

Janu menarik Cira dalam pelukkannya. Ia memeluknya bukan karena merasa kasihan melihat Cira harus menangis, namun Janu tidak bisa melihat Cira menangis di depan matanya. Janu sengaja memeluk Cira agar ia tidak melihat Cira meneteskan air matanya itu.

"Sudah Ra, jangan menangisi yang sudah terjadi." Kata Janu berusaha untuk menenangkan Cira.
Langit siang itu tidak menurunkan hujannya, karena mata Cira menggantikan langit yang tidak menangis hari itu.

SUN AND MOONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang