11

5.2K 391 7
                                    


Aku masih berdiri di tangga saat mendengar suara itu. Dia datang! Dia datang! Dengan semangat aku melompati dua tangga sekaligus karena akhirnya seseorang yang ku tunggu akhirnya muncul juga, aku sudah semangat dan gugup untuk malam ini. Aku sudah menyiapkan semuanya, semua yang ku butuhkan untuk bertatap muka dengannya.

Aku yakin dia sudah membaca suratnya. Tidak mungkin dia tidak membacanya karena dengan norak amplop surat itu berwarna merah mudah dan berbau harum dengan sangat menyengat, terimakasih untuk saran Mila yang tentu konyol tapi tetap ku ikuti. Katanya aku masih sangat amatir untuk hal seperti ini. Yeah terserah, karena Mila memang sangat senior untuk hal ini, sudah tidak terhitung jumlah kakak kelas yang dia berikan surat cinta. Jadi kali ini aku tentu mengikuti saran bodohnya, walau ku tahu isi lah yang paling penting bukan covernya, tapi sudah lah sudah terlanjur, aku hanya tinggal menunggu hasilnya. Malam ini di acara ulang tahun opa Rafael, karena aku tahu pria itu datang, bahkan keluarganya juga.

Aku mengintip dari balik pintu dapur, melihatnya berdiri di sana dengan senyum mengembang, aku bisa merasakan jantung ku memompa denga brutal. Aku khawatir sebelum mengajaknya bicara aku sudah pingsan duluan. Tidak! Itu tidak boleh terjadi, aku sudah terlalu lama berkutat dengan perasaan yang menyiksa ini, kalau aku tidak tersiksa seperti ini, mungkin aku akan diam saja. Tapi tidak, sekarang atau tidak sama sekali, aku harus memberanikan diri.

Aku masih berdiri selama 30 menit di sana sebelum Mila datang dan terus mendesak ku, dia bahkan mendorong ku. Sialan! Mila sinting, tingkahnya benar-benar menyebalkan.

"Sana bego! Jangan sia-siain waktu. Mumpung acara belum mulai sana samperin dia, tanya soal surat itu, tanya dia, mau nggak jadi pacar lo." Aku menoleh kaget pada Mila, dia sepertinya belum paham juga.

"Seingat gue bukan itu tujuan akhirnya deh, perasaan gue udah ngasih tau lo. Ini cuman murni menyampaikan perasaan, bukan nembak. Gue ajak dia ngomong bukan untuk nanya soal mau atau nggak jadi pacar gue tapi buat nanya pendapat dia mengenai surat dan perasaan gue, dan minta dia untuk nungguin gue."

"Lo kira ini apa pake minta pendapat segala? Ini bukan musyawara mufakat Anna. Lo pintar tapi kadang gue ngarasa otak lu kadang nggak di kepala." Mila kalau bicara memang suka menyakitkan, tapi aku sudah terbiasa, cenderung tak peduli. Tapi entah mengapa kali ini mau tidak mau aku juga memikirkannya. Apa benar aku hanya akan meminta pendapatnya saja, ku rasa sangat munafik jika aku tidak memiliki keinginan untuk menjadi kekasih pria itu. Toh aku juga sudah tujuh belas tahun, kami hanya berbeda lima tahun, lumayan jauh jarak umurnya tapi kan masih bisa, dia masih dua puluh dua tahun, itu masih tergolong mudah.

"Sekarang kesempatan lo untuk ngomong sama dia, surat itu udah kita selipin dari seminggu yang lalu di dalam tas kerjanya pas dia mampir di acara ulang tahun lo, mustahil kalau dia belum baca. Now or never!" Dengan dorongan kuat dari Mila, aku mendekat ke arah pria itu.

Dia tengah terlibat pembicaraan dengan ke dua kakak laki-laki ku, di sana juga ada opa Rafael dan beberapa om ku. Aku terus mendekat, sembari meremas jemariku, aku menoleh ke belakang sekedar untuk mendapat semangat dari Mila. Tapi sebelum aku mencapainya suara berat yang ku kenal sebagai suara milik ayah Samuel, om Evan menghentikan langkah ku, bukan hanya aku karena semua orang-orang yang berada di ruangan yang sama dengan ku juga beralih fokus menatap om Evan yang sudah berdiri di tengah ruangan.

"Selamat malam semuanya. Saya minta waktunya sedikit, karena ada hal penting yang ingin saya sampaikan selaku seorang ayah yang ingin menyampaikan niat baik putranya." Aku gugup, mendadak saja perut ku mulas, jadi ini berkaitan dengan Samuel? Ada apa?

"Saya pikir ini waktu yang pas, karena semua keluarga Duber juga sedang berkumpul. Jadi tidak ada salahnya jika saya menyampaikan niat baik kami di sini, oh.. Dan tentu saja atas persetujuan opa Rafael." aku berbalik menatap opa, dia tersenyum sumringah, sesuatu membuatnya bahagia, dan ku rasa ini berkaitan dengan apa yang akan disampaikan oleh om Evan. Aku semakin gelisa.

"ini berkaitan dengan salah satu putri keluarga Duber. Sejujurnya saya juga bingung bagaimana harus menyampaikannya tapi karena desakan dari putra saya yang kelewatan semangat jadi mau tidak mau saya harus menyampaikan walau belum siap harus berbicara apa." ruangan seketika dipenuhi suara tawa, tapi tidak untuk ku yang kehilangan kemampuan bicara.

"Jadi, dua hari lalu secara mendadak putra saya mengaku pada saya tengah jatuh cinta pada seorang gadis dari keluarga ini. Dia mengaku tertarik sejak awal melihat gadis ini, dan setelah setahun berlalu dia semakin tidak sabar dan ingin meresmikan dan menjadikan gadis ini miliknya. Semangat masa mudah yang membarah membuat saya tidak bisa menolak permintaanya." Ruangan semakin berisik bukan hanya tawa tapi seruan keterkejutan datang dari berbagai sisi ruangan, dan aku seperti orang bodoh tetap berdiri mematung, otak ku mendadak beku, tidak bisa berpikir.

"Sebagai seorang ayah, saya mewakili anak saya Samuel meminta pada keluarga Pak Kristian untuk melamar Nia secara resmi untuk menjadi calon istri Samuel, dan kelak dengan persetujuan Tuhan dan tentunya keluarga menjadikan mereka sepasang suami dan istri." setelah kalimat itu selesai, aku merasa seperti ada yang ditarik paksa dari dalam diri ku, sesuatu menganga dengan lebar di dalam sana. Aku hancur, benar kecurigaan ku. Seharunya aku tidak sepercaya diri ini. Aku terbang terlalu tinggi dalam angan-angan dan ketika jatuh semuanya hancur, tidak tersisah.

Suara terkesiap terdengar, aku menatap ke arah kak Nia dan ternyata dia melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan sampai kak Nia membuka suara dan membuat semua orang terkejut dan dengan spontan mengalihkan perhatian mereka pada ku.

"Maaf tapi saya nggak bisa. Bukannya lamarannya salah sasaran? Seharusnya bukan saya tapi adik saya, Anna. Anna yang jatuh cinta dengan tulus pada kak Samuel, bukan saya." sesaat mengatakan itu ruangan mendadak sunyi. Semua orang menatap ku penasaran dan ketika mata ku menangkap sosok itu, yang bisa ku lihat hanya tatapan kebencian. Samuel membeci ku mulai saat itu. Tatapannya menghujam ku, seolah mampu membunuh ku hanya dengan tatapan itu. Sementara aku sendiri, aku sudah bisa menebak apa jawaban dari surat cinta ku. Dia tidak menyukai ku dan sekarang bertambah membenci ku, dengan sangat dalam.












Part ini meyangkut apa yang terjadi enem tahun lalu yaa. Semoga kalian suka hoho. Tidak lupa minta vote dan komennya. 😘😘😘😘😘❤❤❤❤❤❤❤😍😍😘😘😘😘

Terimakasih.

13 Reason Why I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang