13

6.7K 1K 180
                                    

Tok. Tok. Tok.

"Kaasan ...." Menma memanggil sembari mengetuk pintu kamar yang ditempati oleh Naruto di kediaman sang Kepala Desa--yang bertepatan berada di depan kamarnya.

Dikatakan Naruto tidak keluar kamar sejak sore; sejak meninggalkan Menma begitu saja di laboratorium, dan belum makan sejak meninggalkan rumah ketika akan menemuinya. Hampir satu hari. Sekarang sudah malam dan jam makan malam telah lewat. Tadi ... mereka berempat makan dengan suasana yang tidak nyaman. Hening, tanpa berbicara sepatah kata. Semua mempunyai hal yang dipikirkan--khususnya mengenai jati diri si pemuda Uchiha, siapa sebenarnya Naruto dan hubungan mereka.

Ah, siapapun tak akan tenang jika belum benar-benar menyelesaikan masalah.

"Kaasan ...," dan kembali mengetuk pintu. Masih belum ada jawaban dari dalam. Sebenarnya Menma ingin mendobrak, ingin memaksa masuk dan menemui sang ibu, tapi ... hal itu hanya akan menambah rumit keadaan. "Kaa--"

"Kaasan janai!" Suara Naruto.

Rasanya ... tenggorokan Menma tercekat. Jemarinya terhenti di udara saat hendak mengetuk pintu, serta bibir yang terbuka tanpa mengeluarkan suara. Dia diam. Menatap kosong pintu di hadapannya. Apa ... tidak bisa?

Di dalam kamar yang gelap, tanpa penerangan karena memang disengaja tak dinyalakan, di balik gundukan selimut, Naruto bersembunyi di dalamnya menatap photo di tangan yang sedari tadi di pandangi. Meski gelap, dia masih bisa melihat jelas lembar photo tersebut. Karena isinya tersimpan di ingatan; di kenangan; di kepala. Mengusap lembut tepat di wajah seorang pria bersurai raven di photo, Naruto berusaha menyembunyikan air mata yang bakal menetes dan menarik kedua sudut bibir membentuk senyum tipis.

"Kaasan janai yo. Kaasan, Menma janai. Menma akachan, kaasan ... Ne, teme?" Dia bukan ibu Menma (dewasa yang ia dengar memanggil-manggil), tetapi ibu dari Menma yang adalah bayinya. Bayi yang dia gendong di photo.

Mengapa Menma (dewasa) memanggilnya ibu? Naruto tidak mengerti. Menma bukan bayinya. Menma bukan bayi yang dia lahirkan, Menma bukan anaknya dan si teme. Mengapa Menma (dewasa) yang memanggilnya ibu? Mengapa Menma (dewasa) berbohong? Menma (dewasa) bukan anaknya! Bukan bayinya!

Naruto tidak tahan, bulir bening mengalir di pipi. Yang dia rindukan adalah bayinya, adalah orang yang dia sayangi, bukan Menma (dewasa). Mengapa yang datang padanya adalah seseorang yang bukan dia inginkan? Meski Naruto peduli, tapi ... tapi Menma bukanlah orang yang dia tunggu! Bukan ....

"Teme ...."

.

.

.

Menma menyerah. Rasanya sakit sekali. Sakit yang tak pernah dia rasakan. Sakit yang membuat matanya terasa panas. Sakit yang membuat ia ingin lari; menjauh, meninggalkan tempat ini. Tapi, jika dia pergi, sama saja kabur dan permasalahan ini tak akan pernah selesai. Dia mencoba tenang meski di dada sangat sesak. Menma beranjak dari tempat ia berdiri dan berjalan menuju ruang dimana semua orang--penghuni rumah--berada.

Mereka tak bisa tidur. Semua masih berkumpul. Terlebih cukup khawatir karena Naruto yang tak mau keluar kamar. Menma menempatkan diri di sebelah Kiba. Di hadapannya ada pasangan pemilik rumah. Dia menggeleng kepada Tsunade ketika perempuan berambut pirang tersebut menatap dengan kening mengernyit; bermaksud bertanya--karena dia baru dari depan kamar Naruto.

"Doushiyo?" Tsunade tampak makin cemas.

Si pemuda juga khawatir. Sangat malah, tapi dia tak ingin membuat semakin rumit. Cara satu-satunya adalah membawa Naruto keluar dan menjelaskan dengan detil dan membuatnya paham--sekarang. Namun ... si pirang bahkan tak mau bertemu siapapun dan memilih mengurung diri.

The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang