Vater

3.5K 667 104
                                    

.

Perfume is the key to our memories

Kate Lord Brown, The Perfume Garden

Pukul delapan malam, jam makan malam selesai. Tiga anggota keluarga Park kembali pada kegiatan mereka masing-masing. Biasanya Park Chanyeol dan Park Bogum akan masuj ke ruang kerja mereka masing-maaing di lantai tiga dan empat penthouse, dan Jimin akan kembali ke kamarnya di lantai dua untuk belajar, berlatih koreografi baru di depan cermin besar kamarnya, atau bermain dengan Chimmy untuk mengusir sepi.

Tapi rasanya ketiga kegiatan yang biasa Jimin lakukan tidak bisa mengembalikan mood-nya yang berantakan akibat kata-kata sang Ayah saat makan malam tadi.

Jimin tahu Ayahnya benar. Sang Ayah hanya tidak ingin hal buruk terjadi pada Jimin. Jimin paham betul kalau semua yang dilakukan ayah dan kakaknya adalah untuk melindunginya, tapi Jimin juga tidak bisa membohongi diri sendiri dengan mengatakan dia tidak apa-apa mendengar keputusan final sang ayah.

Tidak menemui Taehyung, tidak menyebut namanya, bahkan tidak memikirkannya. Tidak berusaha mencintainya, sebaliknya malah berusaha lari menjauh dari seseorang yang Jimin rasa menjadi salah satu sumber perasaan tenang dan aman baginya belakangan ini, hanya dengan mengingat aroma tipis dan senyum persegi panjangnya.

Hati Jimin terluka, dada dan kepalanya terasa sakit kala memikirkan dia harus melenyapkan Taehyung dari sana.

Mata Jimin menatap ponselnya nanar, membaca pesan terakhir balasan Taehyung dari pesan singkat berisi kesan Jimin tentang kencan mereka sore menjelang malam tadi.

'Begitukah? Aku senang kalau kau juga senang, Jimin. Mungkin kita nonton film lain minggu depan? Atau kau mau ke tempat lain?'

Jimin sedang tersenyum menahan pahit dan air mata, ketika pintu kamarnya diketuk pelan dari luar.

"Masuk," Jimin setengah berseru, agak orang yang berada di luar bisa mempersilakan diri sendiri untuk masuk.

"Ah, hyung."

Bogum melangkah dengan hati-hati, mendekati Jimin yang sedang bergerak untuk duduk di kasurnya. Dengan hati-hati pula Bogum duduk di tepi kasur Jimin, sambil terus memandang mata sang adik, enggan memutus kontak dan terus mengobservasi keadaan Jimin.

"Kenapa, hyung?" Jimin bertanya dengan suara lemah. "Maksudku.... Aku mengerti kenapa Ayah sampai seperti itu. Tapi kukira... Kukira Ayah akan mengerti. Kukira Ayah memang akan membiarkan aku memilih seseorang yang kurasa sesuai, bagaimanapun keadaannya."

Bohong kalau Bogum tidak merasakan sakit yang Jimin rasakan. Meskipun jarak usia mereka cukup jauh dan sedari kecil keduanya tidak sangat sangat dekat karena Bogum sibuk dengan pendidikan dan training dari perusahaan milik Chanyeol, Bogum tetap berusaha untuk menyediakan waktu untuk Jimin. Menjadi sedikit pengganti untuk sosok ayah yang tidak selalu ada di sana untuk memeluknya, menjadi pengganti sosok ibu untuk mendengarkan keluh kesahnya.

"Aku tidak mengerti, hyung. Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiran Ayah," Jimin mulai terisak. Bogum tertegun, ini kali pertamanya melihat Jimin menangis, sejak hasil tes Jimin lima tahun lalu keluar dari laboratorium.

Dengan refleks, Bogum menarik tubuh Jimin ke dalam pelukannya, membiarkan air mata Jimin turun di sana dan membasahi kemeja kerja yang masih menempel di tubuhnya. Sesekali mengelus helai legam Jimin dengan lembut, membiarkan Jimin menghirup bergamot, tarragon, harum cabai, dan bubuk cokelat sampai adiknya benar-benar tenang. Jimin membalas pelukan sang kakak, sedikit mencakar kemeja sang kakak dengan rasa frustrasi yang meletup-letup.

✔️| Scent [kth x pjm]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang