5. The Medusa Tour

803 183 33
                                        

This chapter will be written using the author's point of view.






















"Even though Medusa is so Greek, and we – Italian, did not believe about that crap," ujar Darren, tour guide kami. "We actually name this place after her, Medusa," lanjutnya.

Darren mengilustrasikan bagaimana tempat yang dipenuhi dengan batu yang terbentuk dengan indah secara alami tersebut sampai bisa diberi nama Medusa's Lair.

Pada zaman dahulu, konon katanya jika salah satu atau kedua pasangan yang ingin langgeng maupun bersama selamanya datang kemari dan menyentuh batu berbentuk wanita terbesat di Gua itu secara bersamaan, pasti akan bersama dalam jangka waktu yang lama.

Rombongan SC #10 yang masih setengah mengantuk pun tidak mengindahkan mitos setempat tersebut. Mereka hanya menganggukkan kepala mereka, dan sesekali melihat kanan-kiri sambil melemparkan senyum kepada satu sama lain.

Terlebih lagi Rosé dan Chris yang berdiri paling belakang. Mata mereka setengah terbuka, tetapi pikirannya masih di alam bawah sadar.

Dan lagi-lagi Rosé harus berdiri di belakang bersama Chris karena mereka berdua terlambat masuk kedalam Gua. More like, terlambat untuk masuk kedalam Gua karena Chris meninggalkan tasnya didalam bus, sehingga mereka berdua harus tertinggal rombongan untuk sementara.

"Any questions?" tanya Darren kepada Rombongan SC #10 yang langsung dihadiahi gelengan yang dilakuan secara bersamaan oleh Rombongan SC #10.

Darren mengulum bibirnya dan memberi gesture untuk Rombongan SC #10 mengikutinya ke sebuah tempat yang lebih dalam lagi.

Tetapi belum sempat membenarkan posisi beridirinya, Rosé sudah dibuat kehilangan keseimbangan karena Chris dengan tidak tahu dirinya membuat pundak Rosé sebagai alat tumpunya untuk berdiri dari posisi santainya.

Tekstur tanah yang berada di dalam Gua pun agak licin seperti Gua pada umumnya.

Dengan 1001 doa yang dipanjatkannya, Rosé sudah pasrah kalau memang tubuh ringannya itu akan berakhir di tanah lembab yang dipenuhi serangga tersebut.

Sebelum betul-betul terjatuh, tangan Rosé sempat menyentuh batu yang yang berada di sampingnya sebagai bentuk dari penyelamatan diri versinya.

Tiba-tiba saja sebuah tangan yang cukup kekar (Iya, Rosé bisa membedakan) melingkar di pinggulnya, membuat adegan jatuh tersungkur di tanah lembabnya buyar seketika dan berganti scene menjadi adegan romantis.

Dan sialnya, si penolong tersebut memegang tangan Rosé yang berada di batu tersebut untuk membantunya agar tidak jatuh juga.

Sialnya lagi, Chris yang sudah siap membuka mulutnya untuk meneriaki nama Rosé kini sudah mengatup bibirnya dan bertepuk tangan. Bertepuk tangan didalam Gua.

"Bravo, brother. Bravo! Lo baru aja menyelamatkan teman gue yang paling teledor ini," ujar Chris, masih menepuk tangannya dengan ekspresi menyebalkan di wajahnya.

Kalau saja Rosé berjalan duluan bersama Darwin atau Lisa, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi. Teledor? Bahkan Chris yang membuat Rosé kehilangan keseimbangannya.

"Lo ngga apa-apa?" tanya si penyelamat.

Rosé merapihkan jaketnya dan menarik tangannya yang sedang diistirahatkan di batu–ya, tangannya yang sedang ditindih dengan tangan laki-laki penyelamat itu. Setelah sukses menjaga jarak dengan si penyelamat, akhirnya Rosé menganggukkan kepalanya singkat sebelum menoleh kearah Chris.

Tidak habis pikir saja dengan jalan pikiran Chris.

That's it. Rosé pun membiarkan Chris menatapnya dengan tatapan penuh tanya, lalu berbalik menghadap si penyelamat, "Terima Kasih banyak banyak atas kesediaan..?" Rosé mendongakkan kepalanya sehingga mata mereka bertemu.

PaviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang